Mohon tunggu...
Motulz Anto
Motulz Anto Mohon Tunggu... Freelancer - Creative advisor

Pemerhati Kebijakan | Wacana Sosial | Pengamat dan Penikmat Kreativitas, Pelaku Kreatif | Ekonomi Kreatif | motulz.com | geospotter.org | motulz@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Mimpi Demokrasi dan Menunggu Satria Piningit

13 Januari 2014   11:34 Diperbarui: 24 Juni 2015   02:53 130
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sebuah kata yang menjadi urutan pertama impian sejak lama penghuni republik ini adalah DEMOKRASI, urutan selanjutnya adalah SATRIA PININGIT. Dua hal yang bertolak belakang dalam faktanya. Makin hari makin kentara, sejak puluhan tahun hidup dalam kebebasan berkehidupan politik lewat pintu reformasi. Namun kenyataan harapan dari lubuk hati yang terdalam bangsa ini masih bertumpu pada mimpi yang lain, yaitu sosok Satria Piningit.

Legenda Satria Piningit ini memang sudah kadung tertanam di dalam kisah cerita hampir semua rakyat Indonesia. Sebuah sosok manusia unggul, datang tak terduga dari kerumunan rakyat jelata. Mencelat masuk ke dalam ruang pemerintahan negeri ini, lantas dengan tangan dingin pamungkas, hati yang lega, dan pemikiran yang mengangkasa, ia mampu mengubah kehidupan dan nasib bangsa dalam satu gebrakan.

Konon sosok ini pernah ada, yaitu pada seorang Sukarno. Ia muncul dalam kegelapan negeri ini, berdiri tegak melawan kesengsaraan yang berkepanjangan. Melakukan perlawanan lewat akal pikirannya, menyentuh hati tiap masyarakat dengan budi pekertinya. Santun dalam menyapa, namun garang dalam melawan para penjajah.

Sukarno sudah kadung menjadi legenda, cerita, dan kisah orang-orang tua yang menjadi saksi sang piningit ini. Cerita mereka terus mengalir dari generasi ke generasi. Cerita di warung kopi, pangkalan becak dan bemo. Pembahasan di ruang-ruang kelas, obrolah di ruang kerja, bahkan sebagai dongeng orang tua pada anak-anaknya sebelum tidur. Sebuah kekuatan penyebaran pesan yang dahsyat, menancap bukan cuma ke kepala tapi juga ke hati. Tidak cuma logika tapi juga perasaan dan rasa percaya yang terdalam, yang sering kita sebut dengan rasa keyakinan (faith).

Bagaimana dengan sistem demokrasi? sebuah sistem yang paling logis digunakan sebagai alat memilih seorang pemimpin? Mengumpulkan tiap suara hati masyarakat demi mencari sosok pemimpin yang dapat membawa perubahan dan kehidupan bangsa? Sebuah sistem yang mustinya membawa perubahan besar dalam cara berfikir dan bekehidupan sosial - politik bangsa ini sejak rezim Orde Baru tumbang dan lahirnya masa pembebasan yang dicatat sebagai era reformasi?

Nampaknya kisah dan cerita lama tentang Satria Piningit jauh lebih diyakini mayoritas bangsa ini. Mindset yang sudah kadung terbentuk dan tumbuh generasi demi generasi. Dibanding sistem demokrasi yang dalam kenyataannya terlihat hanya sebagai "mainan" para kaum oportunis saja dalam mengelola kekuasaan negeri. Bagi-bagi kursi, bagi-bagi kekuasaan, lahirnya raja-raja kecil, menebar janji mencuri mimpi, menjual keyakinan dan agama, membunuh nalar lalu mencuri uang-uang rakyat demi janji yang entah apa.

Demokrasi adalah patungan gagasan, cara ideal mencari seorang pemimpin dengan mengumpulkan suara untuk memunculkan sosok yang punya kapabilitas memimpin. Logikanya, gagasan-gagasan ini selayaknya bisa lahir jika semua rakyat pemilihnya memiliki kesetaraan dalam berfikir. Paling tidak kemapanan pendidikan yang layak. Bagaimana mungkin demokrasi bisa berjalan jika tingkat pemahaman dan pendidikannya tidak rata? Wajar jika akhirnya demokrasi ini hanya dijadikan alat bagi kaum-kaum oportunis tadi.

Bagi masyarakat yang rendah pendidikan dan lemah pemahamannya atas sebuah sistem itu, tumpuan dan harapan mereka hanya datang dari sebuah keyakinan. Keyakinan yang sudah tertanam dalam sekali di lubuk hati mereka. Keyakinan yang pernah terjadi di jaman orang tua dan leluhur mereka dulu. Keyakinan akan datangnya seorang manusia, yang mulia, santun, bersahaja, dapat dipercaya dan legawa membawa perubahan bagi mereka. Sebuah keyakinan yang sebetulnya adalah sikap pasif dalam proses perubahan. Sikap menunggu tanpa bertindak. Sikap menerima apa adanya dan cuma menjadi penonton saja. Hanya duduk dan berdoa.

Akan datangkah perubahan jika sikap menunggu dan menonton itu yang kita pilih? Sikap pasrah dan tidak berbuat? Saat muncul sosok baru yang menjanjikan perubahan, maka kita semua hanya duduk terpana, melihat dia bekerja untuk kita. Ketika dia gagal, kita hanya menggerutu sambil berbisik "ternyata dia tidak bisa, dia sama saja, dia bukan sang Satria Piningit".

Celakanya, sikap menunggu sang pengubah ini pun terjangkit pada tingkatan yang lebih sempit, yaitu tingkatan kota, gurbenur atau walikota misalnya. Ketika kota yang mereka tinggali penuh sesak dengan masalah, warganya cukup percaya pada sosok sang piningit sebagai inti solusi. Mereka masih yakin bahwa semua masalah kota ini bisa selesai oleh dia seorang. Warga cukup fokus dengan kesibukannya tanpa peduli sang piningit berbuat apa. Warga beranggapan bahwa masalah kota adalah tanggung jawab pemimpin kota, warga cukup duduk manis menunggu datangnya perubahan.

Saat masalah kota tetap terjadi dan sang piningit dianggap gagal, mereka cukup kembali sibuk mencari uang sambil melengos dan menggerutu "ah.. ternyata bukan dia sang piningit.."

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun