"Kamu tinggal pilih. Kamu tetap mau menjadi aktivis sosial atau kerja sambil kuliah?"
Aku kaget dengan ucapan ayahaku. Aku tahu aku bisa kuliah sambil kerja dan sekaligus menjadi seorang aktivis sosial tapi aku belum tertarik untuk kuliah. Kerja? Sarjana aja banyak yang menganggur apa lagi aku yang hanya lulusan SMA? Hatiku sudah bulat untuk menjadi aktivis sosial.
"Jawab?" bentak ayahku dengan nyaring dan penuh ketegasan.
"Tara tetap dengan keputusan Tara untuk menjadi aktivis sosial," ucapku sambil melihat ibuku yang tertunduk menahan air matanya.
"Kalau begitu, kamu bisa tinggalkan rumah ini. Malam ini juga!"
Bagaikan petir di siang bolong menyambar hatiku mendengar ucapan ayahku. Aku tahu ayahku tidak akan mengubah keputusannya. Aku tahu jika beliau sudah mengatakan A maka yang terjadi harus A. Hanya Tuhan yang sanggup mengubah keputusan itu. Mungkin satu-satunya kesamaan yang aku punya dengan ayahku adalah kami sama-sama keras kepala. Sepertinya hanya itu yang aku warisi dari ayahku. Selebihnya dari ibuku apa lagi bentuk fisik seperti warna kulit dan rambut lurus.
Aku beranjak meninggalkan ruang tamu dan masuk ke kamar untuk mengemasi bajuku. Ibuku menyusul masuk ke kamar.
Dengan spontan aku memeluknya.
"Kamu mau tinggal dimana?"
"Ma, ngga usah kuatir, aku akan baik-baik saja. Aku hanya butuh doa mama. Hanya itu."
"Besok, mama akan bilang apa kalau adik-adikmu mencari kamu?"