Kita tidak bisa tidak berkomunikasi, segala hal yang kita lakukan pada hakikatnya memiliki makna komunikasi, mulai dari kalimat yang terucap, tatapan mata, ekspresi wajah, gerakan tangan, bahkan diam juga merupakan komunikasi. Pertanyaannya, komunikasi seperti apa yang dimaksud? Jika komunikasi hanya diartikan sebagai proses ngomong, maka tidak perlu dibahas panjang lebar, toh setiap orang normal pasti bisa ngomong. Namun apabila dimaknai secara lebih mendalam, komunikasi yang berdampak secara signifikan, maka komunikasi menjadi sebuah hal yang menarik untuk didiskusikan.
Saya kuliah dengan jurusan ilmu komunikasi di salah satu PTN di Kota Malang, pilihan saya sendiri, dengan cita-cita nantinya menjadi orang televisi, bayangan saya saat itu menjadi reporter, kereen, berkeliling memburu dan meliput berita, melaporkannya, mungkin kalau kejadian, bisa saja menjadi anak buahnya Om Gatot Triyanto di Trans Corp, dengan seragam hitam terpasang di badan dan ID card tergantung di saku. Saat itu saya termotivasi karena ingin berkeliling Indonesia, berpetualang, dengan diongkosi, plus Indonesian dream lain yakni populer dan nongol di media massa, pikir saya itu sudah super keren untuk seorang anak kampung dekil dari kota Jombang, Ayah Ibu pasti cukup bangga dengan sepak terjang anak sulung laki-lakinya.
Perjalanan hidup berkata, bahwa ternyata menjadi orang media memang pernah saya rasakan, namun tidak menjadi profesi saya kemudian. Tiga tahun saya bergelut dan beretorika menjadi radio announcer di Mitra FM Kota Batu, sebuah radio yang bersahaja, dengan segmentasi pendengar yang fanatik dan niche pembahasan yang spesifik dalam semangat, optimisme, dan peningkatan kualitas secara spiritual dalam bingkai radio keluarga. Ini sebuah tantangan, bagi seorang anak muda berusia dibawah 20 tahun, berinteraksi, setiap hari, dengan orang-orang yang lebih matang baik secara usia mapupun pengalaman. Tantangannya tidak berhenti hanya disitu, narasumber yang didatangkan dan diajak interaksi pun orang-orang yang hebat dengan keilmuan yang pantang diragukan.
Dengan akses secara online yang saat itu mulai memberikan pengaruh dalam sistem dan tata siaran radio, saya bersyukur mendapat kesempatan ngobrol dalam talkshow dengan Muliaman D. Hadad, Anton Apriantono, M. Fauzil Adhim, Iman Supriyono, Akbar Muzakki, Bambang Heri, Untung Endro Cahyono, Zakaria Subiantoro, Shofwan Al Banna Choiruzzad yang sedang berada di Jepang, Muslina yang sedang berada di Toronto Kanada, Wan Zuraini Amir dari Malaysia. Interaksi dengan orang-orang hebat ini membuat saya gemas dan penasaran, dengan sumberdaya manusia kelas wahid begini, harusnya Indonesia tidak sekedar survive dalam percaturan dunia, tapi punya bekal lebih dari cukup to be the champion.
Dengan bekal ilmu kuliahan yang dilengkapi dengan sangat berlimpah dari praktek di lapangan, selepas dari radio, saya sempat beberapa tahun menggeluti profesi bidang pemasaran, menjadi marketing manager di sebuah sekolah dasar berstandar internasional yang baru dibuka di Kota Malang, dengan diskusi langsung dengan sang owner Om Endro Pradono dan arahan intensif dari Mr. Edward Angstrong selaku konsultan, banyak hal baru yang saya petik dari profesi yang satu ini, menantang sekaligus penuh kejutan. Pada fase berikutnya, ternyata pilihan profesi menuntun saya menjadi seorang motivator, hasil dari pertemuan dengan seorang pebisnis kawakan, mantan Astra, Om Syam Machfoedz, beliau memiliki pemikiran-pemikiran yang menarik sekaligus non-konvensional, apabila kita sering bicaara mengenai “thinking out of the box”, Om Syam ini malah sepertinya tidak pernah punya “box”. Dengan sedikit pembicaraan dan arahan, beliau mampu secara meyakinkan meleading pemikiran saya, bahwa passion dan kompetensi saya adalah sebagai seorang : Motivator.
Begitu mendengar kata motivator, saat itu tentu pemikiran saya langsung menuju pada nama-nama besar yang sudah menjadi mainstream dalam profesi sebagai seorang motivator : Andrie Wongso, Mario Teguh, Tung Desem Waringin, Jamil Azzaini. Seketika bibit mental block saya muncul : “Apa ya bisa saya menjadi seperti mereka?” Ini harus ditangani dengan seksama, masa saya mau jadi motivator tapi tidak termotivasi, mereka juga pasti memulainya juga dari awal, dari bawah, dari proses, mana ada orang yang begitu lahir jadi motivator? Lahir ya jadi bayi, ya kan? James Gwee saja yang sekali bikin public event diikuti ribuan orang, awalnya hanya diikuti 7 orang, saya pun juga meniru caranya, awal saya tampil, tidak mendapat bayaran, justru harus membayar audiensnya agar tetap betah dan tidak meninggalkan lokasi sebelum materi saya selesai, wehehe, alamaak!
Nah, pertanyaan berikutnya yang harus saya jawab adalah, apa yang dilakukan oleh motivator? Pastinya tugas seorang motivator adalah memotivasi, tidak aneh, seperti inspirator kegiatannya menginspirasi, dan kolektor kegiatannya mengkoleksi. Namun bagaimana caranya memotivasi? Melalui apa? Ternyata kemudian saya pahami bahwa proses motivasi ini dilakukan melalui komunikasi. Bentuk komunikasinya bagaimana? Komunikasinya harus komunikasi yang memotivasi, yang mencerahkan, yang memberdayakan, yang menggerakkan untuk bangkit dan meraih peningkatan. Artinya sebelum memotivasi orang lain, mau tidak mau, suka tidak suka, mood atau tidak, yang namanya motivator ya harus semangat! Tantangannya pun tidak sampai disitu, motivator dituntut tidak hanya sekedar sebagai konseptor, namun harus menjadi praktisi dari bahan materi, “Walk the Talk” kalau kata kolega saya Herutomo, pencetus “Three Positive Attitude” yang terlebih dulu melanglang buana menjadi langganan mengisi training di berbagai perusahaan.
Komunikasi yang memotivasi, itu tantangannya, lebih dari sekedar bicara dan ngomong, tapi ini bicara dan ngomong yang memberi semangat, menggugah, menggetarkan, dan mampu memunculkan potensi terbaik dari seseorang. Motivator faktanya bukanlah orang hebat, tapi motivator adalah orang-orang yang mengambil sebuah komitmen, melakukan sebuah peran, dan memegang penuh tanggung jawab untuk menjadi katalis dan booster dalam rangka memunculkan kehebatan orang lain. Saya masih ingat sebuah tagline yang dipampang dalam Pesta Wirausaha di Malang bersama komunitas Tangan Di Atas pada 2011 di taman Indie Resto, dihadiri dedengkot TDA Pusat seperti bang Jay Terorrist yang mengingatkan dengan karakter kuat Danny DeVito, Kang Nukman Luthfie yang gantengnya tidak kalah sama George Clooney, Om Ade Aan yang tenang seperti Keanu Reeves, serta Bang Fauzi Rachmanto yang 11-12 sama John Travolta. Ada satu tagline Pesta Wirausaha yang melekat di benak saya sampai sekarang :
“Pemikiran Bisa Menginspirasi,
Perkataan Bisa Memotivasi,
Namun hanya tindakan yang mampu membawa kita selangkah lebih dekat neraih mimpi.”
Kenapa saya masih ingat? Karena dari acara tersebut saya dapat suvenir mug yang mencantumkan tulisan itu, yang selalu berganti ini dari teh dan kopi menemani proses menulis komunikasi yang memotivasi, wehehe. Disinilah ranah motivator, dalam membangun sebuah pemikiran dan memberikan motivasi dari perkataan. Yang merubah nasib, yang menentukan hasil akhir adalah masing-masing person, sang pemain, kita sendiri masing-masing. Maka kalau menyimak nama saya, Faizal Alfa MBA, tiga huruf di belakang itu bukanlah gelar akademik, namun memiliki dua makna. Makna yang pertama adalah karena muka dan profesi saya, MBA = Motivator Berwajah Arab, sehingga kalau mencari saya mudah, kalau orangnya tinggi, hitam, keriting, hidung mancung, dan jenggot Wolverine, pasti Faizal Alfa. Nah, kalau makna kedua, merupakan singkatan sekaligus spirit dasar saya mantap memilih menjadi seorang Motivator. MBA = Motivation Become Action. Motivasi tanpa aksi tidak ada artinya, tidak akan merubah nasih, Cuma berujung pada komentar di bibir : “Iya ya, bener juga ya, ooo begitu..” tapi selama tindakannya tidak berubah, aksinya masih tetap begitu-begitu saja, haqqul yakin, dijamin, nasibnya juga akan begini-begini saja.
Lebih jauh menelisik mengenai komunikasi yang memotivasi, dalam tulisan ini, kita akan memperdalam komunikasi dari satu sisi yang menarik, yakni bagaimana caranya kita menerapkan komunikasi yang memotivasi, artinya, ini sebagai vice-versa, agar kita tidak melakukan komunikasi yang menggembosi. Bahayanya, ternyata mayoritas dari kita tanpa sadar telah menjadi praktisi handal dalam hal komunikasi yang tidak menggembosi. Dasarnya adalah sebuah rumus motivasi klasik, yakni K+R=H, Kejadian + Respon = Hasil. Apapun kejadian yang kita alami, ternyata masih dipengaruhi oleh variabel kedua yang namanya respon, sehingga menjadi kesimpulan yang kita sebut hasil. Contoh = kejadian handphone hilang. Kita bisa merespon dengan menyesal sejadi-jadinya, meratapi kontak yang hilang, menangisi dokumen, fotom dan video yang tersimpan di dalamnya, bercerita pada setiap orang yang kita temui tentang kemalangan yang kita alami. Hasilnya? Kita semakin sedih dan handphone tetap hilang. berbeda hasil jika kita memberikan respon berbeda, Kita segera urus ke operator untuk mendapat penggantian kartu seluler, mengumpulkan kembali kontak yang hilang, memberi kabar ke rekan-kolega penting agar tidak kesulitan menghubungi kita, segera mencari dan menggunakan handphone sementara, dan bekerja giat – sistematis untuk mendapat handphone yang baru. Hasilnya berbeda 180 derajat.
“Mudah diomongkan, tapi diterapkan ya susah…..”
Ini termasuk salah satu praktek umum dari komunikasi yang menggembosi, pemikirannya memegang rumus “Mungkin sih, tapi sulit!”, maka sulitnya yang melekat, kata yang terakhir yang menempel dan terinternalisasi dalam diri kita. Ada sebuah hadist qudsi yang bisa dijadikan landasan :
“ Aku turuti prasangka hamba-Ku terhadap-Ku”
Kita tahu berprasangka itu gratis, tidak perlu bayar, dan kita bebas memilih untuk berprasangka yang bagaimana, maka mengapa memilih prasangka yang menggembosi, mengapa memilih prasangka yang melemahkan? Pilih seksama prasangka yang memberdayakan, komunikasi yang memotivasi. Sudah dapat rumusnya bukan? Jadi kalau selama ini hidup kita penuh dengan prahara, derita, dan nestapa, jangan-jangan bukan karena orang lain yang menjadi penyebab dan bukan keadaan luar yang jadi pemicu, tapi kita introspeksi, jangan-jangan prasangka kita yang memunculkan dan membuat itu semua terjadi, “thoughts become things”.
Maka untuk menerapkan komunikasi yang memotivasi, tinggal membalik rumusnya, “Memang menantang, tapi mungkin dilakukan.” Simak, ada modifikasi dalam hal pemilihan kata dan urutan. Kata “menantang” tentu lebih memotivasi daripada “sulit”, dan mungkin dilakukan tentu memberikan energi untuk kita mencari cara, mencari solusi, dan mendapatkan apa yang kita cari. Bagaimana caranya? Mekanisme manusia yang luar biasa akan berproses dan memunculkan berbagai alternatif dan pilihan cara, serta segera melakukannya, gak pake’ lama.
Maka, sebenarnya komunikasi yang memotivasi itu prakteknya sederhana, apapun kondisi dan kejadiannya, mau untung-rugi, berhasil-gagal, mendapat-kehilangan, itu semua adalah proses, jangan terpuruk karena larut dalam penyesalan dan meratapi yang sudah terjadi. Jangan menambah rasa kecewa dengan berharap kejadiannya tidak begitu, karena faktanya, sudah terjadi dan itulah kejadiannya. terima dengan lapang dada dan muka tegak, kalau bahasanya anak jaman sekarang, move on! Jangan biarkan hati terkotori dengan kata-kata penjebak seperti andaikan, jikasaja, apabila, harusnya dan membuat kita lemah karena meratapi yang sudah terjadi. Mari menjadi praktisi komunikasi yang memotivasi dengan berani mengambil tanggung jawab atas diri sendiri, sepenuhnya dan seutuhnya atas setiap kejadian yang kita alami, sehingga kita bisa lantang berkata :
“OK, inilah situasinya, mari kita susun langkah selanjutnya
Salam Istimewa!
Ditulis di Kota Malang
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H