Memperlihatkan nilai kebersamaan yang tinggi, hal ini juga muncul melalui tempat tidur yang sama untuk semua siswa Kolese Kanisius. Kobong dengan alas karpet yang hanya menutupi setengah dari permukaan ruang tersebut, tanpa bantal maupun selimut. Menghadapi dinginnya malam bersama hangatnya kebersamaan dalam kobong.Â
Perhentian ketiga, puasa sunah. Puasa sunah sudah menjadi kebiasaan bagi keluarga besar Pondok Pesantren Al-Marjan. Puasa ini tidak diwajibkan bagi siswa Kanisius, hanya sebagai sebuah tantangan untuk lebih meresapi kehidupan pada pondok pesantren. Kala itu hari kamis, pukul tiga pagi.Â
Santri-santri membangunkan siswa Kanisius yang tertidur lelap di kobong untuk berbuka puasa. Mata rasanya sangat berat dan badan menolak untuk bangun, tapi tanpa makan, hari pasti akan lebih melelahkan.
Kebanyakan dari siswa Kolese Kanisius gagal melakukan puasa. Mereka batal saat makan siang, ketika dalam perjalanan ke suku Baduy luar. Kamis siang, siswa Kolese Kanisius diagendakan untuk melihat suku Baduy luar, menempuh 1 jam perjalanan dari Pondok Pesantren Al-Marjan menggunakan mobil pick up. Di sana mereka diajak untuk melihat kentalnya budaya yang sangat terjaga dari pengaruh dunia luar. Menambah pengalaman dan pengetahuan atas keberagaman budaya di Indonesia.
Perhentian keempat, mengajar santri Pondok Pesantren. Sebelum pergi untuk melihat suku Baduy luar, siswa Kolese Kanisius mengajar santri Pondok Pesantren yang terbagi dari kelas 7-12. Mereka saling bertukar budaya belajar dan mencari inspirasi satu dengan yang lainnya. Siswa Kolese Kanisius mengajarkan mata pelajaran yang kurang dikuasai santri, begitupun sebaliknya. Kebanyakan pembelajaran di sana terikat dengan agama Islam, misalnya pembelajaran ekonomi Islam.
Perhentian kelima, perpisahan. Siswa Kolese Kanisius hanya menghabiskan 3 hari dalam studi mereka. Waktu itu berjalan dengan baik karena santri dan siswa Kanisius saling bertukar informasi terkait budaya maupun kebiasaan mereka yang berbeda.Â
Sebagai hadiah perpisahan, santri banyak memberikan hadiah kepada siswa Kolese Kanisius, ada yang memberi boneka, gelang, kalung, cincin, dan baju. Semua ini membuat pengalaman studi lebih menarik dan lebih diingat.Â
Sebagai tamu, siswa Kolese Kanisius mendapatkan sambutan yang luar biasa. Kebersamaan di Pondok Pesantren Al-Marjan sungguh erat, mereka tidak memandang agama, suku, dan ras. Semua santri di sana fokus untuk mengajarkan ajaran agama Islam yang salah satunya adalah toleransi. Surah Al-Baqarah (2:256): "Tidak ada paksaan dalam agama; sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat..."
Pengalaman siswa Kolese Kanisius meratifikasi pemahaman bahwa segregasi yang dilakukan pada masa kolonialisme Belanda sudah pudar. Banyak orang, bahkan instansi yang mendukung toleransi antar umat beragama. Sedikit yang menolak dan melakukan pemberontakan terhadap hal itu.Â
Perbedaan ibaratkan bumbu kehidupan, itu yang membuat hidup kita lebih berwarna. Agama, sebagai bentuk tanggapan iman dari Tuhan seharusnya bisa menjadi penggerak ajaran toleransi dalam masyarakat. Dengan demikian, Indonesia bisa merdeka, dan nyatanya memang benar demikian.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H