Mohon tunggu...
Moses JaidenKwan
Moses JaidenKwan Mohon Tunggu... Pelajar Sekolah - Pelajar

Math

Selanjutnya

Tutup

Ruang Kelas Pilihan

Merdeka Itu Nyata, Tapi Nyatanya?

21 November 2024   23:04 Diperbarui: 22 November 2024   03:07 1089
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

dokpri
dokpri
Merdeka setelah 79 tahun, Indonesia masih belum bisa lepas dari pengaruh kolonialisme Belanda. Kolonialisme Belanda mensegregasi Indonesia menjadi beberapa bagian berdasarkan suku, ras, budaya, dan agama. Segregasi ini berhasil membuat Indonesia terpecah menjadi berbagai kubu dan mempersulit bangsa Indonesia menjadi satu kesatuan yang utuh. 

Merdeka, bukan berarti lepas bebas karena kebebasan dalam beragama masih sering dihambat. Banyak sekali aturan main aneh yang dibuat oleh orang yang mengaku beriman, tapi membenci sesama. Mempersulit agama lain dan menjadi percikan pertama dari api konflik antar agama.

Pengalaman sebagai minoritas dalam negara yang fanatik terhadap suatu agama memberikan rasa ngeri yang berlebihan. Sering kali orang dijatuhkan karena alasan agama, tidak ada sangkut paut dengan reputasi yang diberikan oleh orang itu. Ini dirasakan oleh korban aksi represif pada masa transisi kepemimpinan pasca kemerdekaan. Tapi, bukankah seharusnya ini tidak menjadi masalah bagi masyarakat di masa kini?

Sekelompok siswa dari Kolese Kanisius dengan mayoritas beragama Katolik diterjunkan dalam lingkungan pondok pesantren yang kental dengan ajaran Muslim. Latar belakang yang berbeda antara kelompok siswa Kanisius dan santri pondok pesantren menjadi bagian dari studi dan pemahaman yang harus dilakukan oleh kedua belah pihak. 

Kolese Kanisius adalah sekolah Katolik yang memiliki pedoman Santo Ignatius Loyola, sedangkan Pondok Pesantren Al-Marjan adalah pesantren NU yang tergolong tradisional. Menggunakan logika sederhana, latar belakang dari kedua tempat sudah menunjukkan ketidakselarasan dan menunjukkan adanya perbedaan signifikan.

Hidup dalam kehidupan yang dijalani orang lain bukanlah hal yang mudah. Kebiasaan dibangun pada aktivitas yang dilakukan secara repetitif, hampir setiap hari. Masuk dalam alam bawah sadar manusia dan terkadang tidak sadar apabila aktivitas atau aksi itu dilakukan. Hadir dalam tempat yang memiliki kebiasaan jauh berbeda, pasti menimbulkan sesuatu yang mengganjal dalam pikiran dan hati.

Melakukan kebiasaan yang berbeda dan meninggalkan kebiasaan diri sendiri untuk sementara waktu adalah tugas yang berat bagi siswa Kolese Kanisius di Pondok Pesantren Al-Marjan. Mereka pergi di pagi hari dan sampai disambut dengan teriknya matahari. Tanpa ada waktu mempersiapkan diri, disaat mereka menginjakkan kaki, mereka sudah sampai di tempat asing. Memulai perhentian nol mereka dalam studi yang dilakukan. 

Perhentian pertama mereka adalah pengajian. Pengajian adalah kegiatan yang sering dilakukan oleh santri pondok pesantren. Pada Pondok Pesantren Al-Marjan, pengajian dibedakan menjadi beberapa kelas yang diajar oleh uztad dan uztadzah yang berbeda. Pengajian dilakukan untuk mempelajari Al-Qur'an dan ini dilakukan oleh santri Al-Marjan dengan kitab kuning. 

Melakukan observasi dan mengikuti pengajian ibaratkan menempatkan diri pada hutan belantara tanpa sinyal, peta, dan petunjuk arah, ini yang dirasakan oleh siswa Kanisius saat melakukan pengajian. Kali pertama bagi mereka mengikuti pembelajaran agama dengan cara yang berbeda dan materi yang berbeda dari agama mereka yang mayoritas adalah Katolik.

Substansi yang ada di dalam materi pengajian sulit dipahami karena kebanyakan dari siswa baru pernah membaca dan mencoba berbicara bahasa Arab saat melakukan pengajian. Halangan kemampuan bahasa mempersulit memahami apa yang sebenarnya diajarkan dan dipelajari dalam proses pengajian. Siswa Kanisius berusaha memahami dengan bertanya kepada santri yang mengikuti pengajian.

Perhentian kedua, makan dan tidur. Nampan, nasi, tempe, sayur, dan telur. Media makan dan makanan yang dikonsumsi pada pondok pesantren. Mereka makan berempat empat, tanpa sendok dan garpu, hanya menggunakan tangan. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ruang Kelas Selengkapnya
Lihat Ruang Kelas Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun