Mohon tunggu...
Moses JaidenKwan
Moses JaidenKwan Mohon Tunggu... Pelajar Sekolah - Pelajar

Math

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Mencari Terang di Tengah Gelap: Suara Pers Indonesia

17 Mei 2024   16:59 Diperbarui: 17 Mei 2024   17:11 686
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sejak UU no 40 tahun 1999 disahkan, tidak ada larangan penyiaran terhadap karya jurnalistik. Jurnalis dibebaskan untuk meliput berita dan melakukan jurnalistik investigasi. Seorang jurnalis dapat berkarya tanpa adanya halangan tahapan SIUPP yang rumit.

Pada tanggal 27 Maret 2024, dikeluarkan RUU tentang Pers. RUU ini merubah beberapa regulasi terhadap kebebasan seorang jurnalis. Salah satunya yang muncul dalam Pasal 50 B ayat 2 huruf (c) yaitu "Selain memuat panduan kelayakan Isi Siaran dan Konten Siaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1), SIS memuat larangan mengenai: larangan penayangan eksklusif jurnalistik investigasi." Larangan ini diberikan agar tidak ada irisan materi antara investigasi jurnalistik dengan pihak aparat penegak hukum yang sedang menjalankan proses investigasi. Dengan demikian, investigasi oleh pihak aparat penegak hukum dapat berlangsung dengan lancar.

Namun, rancangan ini bertentangan dengan kemerdekaan pers yang tertulis dalam UU no 40 tahun 1999. Kemerdekaan mengeluarkan pikiran dan pendapat seorang jurnalis dibatasi oleh RUU ini. Sebagai negara yang demokratis, kemerdekaan pers menjadi unsur yang sangat penting untuk kehidupan masyarakat. Mengurangi kebebasan sama saja dengan mengurangi aliran udara demokrasi.

Pelarangan investigasi jurnalistik menunjukkan bahwa pemerintah tidak memberikan kebebasan kepada pers untuk memberi tahu kepada masyarakat apabila ada pihak yang menutupi kebenaran atau berbohong. Salah satu contoh nyata dari investigasi jurnalistik adalah investigasi tim Tempo tentang pembantaian warga sipil tak bersenjata oleh pasukan militer di Blora, pada tahun 1977. Melalui investigas ini, tim jurnalis Tempo berhasil meningkatkan kesadaran masyarakat tentang pelanggaran HAM dan pentingnya akuntabilitas seorang pemerintah. Dengan kata lain, masyarakat akan semakin kritis terhadap informasi yang mereka terima.

Jika RUU ini disahkan, jurnalis dan masyarakat akan mengalami kerugian besar. Informasi akan terhambat dan terbatas hanya dari satu sumber saja. Ini bisa menjadi bibit dari otoritarian rakyat terhadap pemerintah. 

Tentu saja, sejarah tidak boleh terulang kembali. Pemerintah tidak boleh mengambil kuasa penuh atas penyaluran informasi kepada masyarakat. Perlu adanya kebebasan untuk bersuara, sebagaimana Indonesia yang adalah negara Demokratis. Maka, pengesahan RUU tersebut akan memberangus kebebasan pers dan mengancam demokrasi di Indonesia.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun