Guru mengambil bagian dalam masa depan murid. Sukacita guru adalah ketiaka melihat anak didiknya kelak jadi orang. Dalam arti itu guru memanusiakan manusia muda dalam arti terlibat dalam hominisasi dan humanisasi (Driyarkara, Tentang Pendidikan). Itulah sebabnya guru identik dengan kata “pendidik” bukan hanya pengajar.
Pendidikan adalah sebuah jalan memasukkan manusia ke dalam proses pendewasaan potensi-potensinya untuk hidup sebagai manusia (hominisasi), sekaligus menjadi manusia yang beradab, manusia yang berkarakter (humanisasi).
Kisah tentang pengeboman Hiroshima dan Nagasaki mungkin dapat menjadi sebuah contoh nyata. Setelah pengeboman itu, pemerintah Jepang fokus mengumpulkan guru, mendidik mereka, mengirimkannya ke luar negeri untuk kemudian mengajari masyarakat Jepang, agar menghasilkan Sumber Daya Manusia berkualitas. Hasilnya, dalam waktu satu dekade saja, Jepang mampu bangkit.
Kondisi ini menggambarkan betapa kuatnya pengaruh guru. Maka sebaiknyalah seorang guru yang digerakkan oleh visi pendidikan memakai seluruh potensinya untuk tujuan yang mulia itu. Tak sesederhana mengajarkan materi yang kemudian bisa “ditangkap” oleh murid lewat nilai ulangan yang tak lagi merah, ketercapaian bahan ajar ataupun ketika murid lulus 100%.
Mengasah Pena
Sekali lagi, guru tak sekadar pengajar. Guru harus mampu menghasilkan insan terdidik. Dan untuk mencapai tujuan itu tentulah ia harus seorang yang terdidik pula. Terdidik bukanlah orang yang serba tahu.
Terdidik berarti pembelajar. Ingin terus belajar, meningkatkan pengetahuan dan menyesuaikannya dengan perkembangan zaman. Guru harus selalu siap menjadi dengan jawaban-jawabannya. Bahkan sekalipun harus dengan jawaban pengakuan ketidaktahuan. Dan pengakuan itu tentu harus membawanya pada ambisi untuk tahu. Bukan berkilah dengan menjadikannya sebagai pekerjaan rumah si murid.
Jika seorang guru menemukan diri masih kurang dan belum berhasil dalam mendidik, baiklah ia menyediakan waktu utnuk belajar dari orang lain. Sebaliknya bila untuk beberapa hal telah membuahkan hasil, baiklah pula ia berbagi. Persoalan yang bagi seseorang sulit untuk dipecahkan, mungkin hal yang mudah bagi yang lain karena sudah mengerjakan hal serupa. Sebaliknya masalah yang bisa ia urai dan selesaikan, belum tentu bisa bagi yang lain.
Untuk itu, guru perlu berbagi. Saling bertanya dan bertukar pikiran. Di zaman yang serba canggih seperti sekarang ini, berdiskusi tak lagi harus tatap muka. Atau malah sampai meninggalkan kelasnya demi “ngerumpi” dengan guru di kelas lain. Tidak.
Disinilah guru perlu mengasah ketajaman penanya. Ya, menulis. Dengan menulis, kita bisa berbagi. Diskusi tentang masalah kurikulum, berbagi pengalaman bagaimana menangani siswa bermasalah, atau ide-ide kreatif bagaimana membuat agar siswa aktif di kelas.
Tanoto Foundation telah membuktikannya. Lewat tulisan-tulisan guru yang dipublikasikannya, guru-guru yang lain dimotivasi untuk kreatif. Agar menjadi sekolah terbaik.
Selain itu, menulis juga mengajari kita untuk bersikap kritis. Misalnya menyampaikan pandangan betapa sulitnya kurikulum 2013 diaplikasikan. Atau betapa tidak relevannya pemberlakuan Ujian Nasional dengan ide pendidikan karakter yang tengah digadang-gadang itu. Lebih baik lagi kalau ada solusi. Dalam negara yang menganut sitem demokrasi seperti negara kita, semua orang bisa bersuara. Kebebasan berserikat ini perlu dimanfaatkan sebaik-baiknya untuk memberi tekanan kepada pemerintah pengambil kebijakan agar serius membenahi pendidikan bangsa. Agar seperti Jepang yang melalui pendidikannya terlahir sumber daya-sumber daya unggul di bidangnya masing-masing.
Jadi walaupun guru merupkan praktisi pendidikan yang domainnya bukan di level kebijakan, ia tetap bisa memberi pendapat untuk mempengaruhi kebijakan itu. Soal diterima atau tidak, itu perkara lain.
Semua Orang Bisa Menulis
Tidak perlu berkilah bahwa tidak semua guru bisa menulis. Malah logikanya, seorang gurulah yang paling ‘bermodal’ dalam menulis. Bukankah ia yang mengajar murid baca tulis? Bukankah sehari-hari ia berbicara di depan kelas? Lantas, apa sulitnya menuliskan kembali apa yang kita ucapkan, kita rasakan, atau kita alami? Tidak ada yang sulit jika alasan untuk berkata “tidak” sudah tidak ada. Guru memilik pena yang sangat tajam. Tinggal menunggu kapan pena itu digoreskan.
Pun, tak usah mempersulit diri bahwa tulisan-tulisan kita harus seperti milik mereka yang sering muncul di media-media nasional, yang bahasanya ‘njelimet.’ Yang penting adalah gagasannya. Dan tujuannya. Tulisan tak harus terbit di koran. Bisa dimana saja. Yang penting ada pembacanya, agar ide kita bukan hanya untuk konsumsi pribadi. Salah satu media yang paling riuh saat ini adalah Kompasiana. Disana banyak pembaca dan penulis dari berbagai kalangan, mulai dari warga biasa hingga menteri. Yang memungkinkan ide, kritik, atau persoalan kita dibaca oleh banyak orang. Tak menutup kemungkinan akan dibaca langsung oleh orang atau pihak terkait. Bahasa yang santai serta tanggapan-tanggapan hangat akan membuat kita merasa didengarkan.
Selain itu, saya yakin bahwa Tanoto Foundation yang sudah lama bergerak dalam visi pendidikan juga akan dengan senang hati menerbitkan tulisan-tulisan guru yang bernas, agar terbaca oleh lebih banyak orang.
Lagi pula, apakah kalian tahu, ternyata Butet Manurung yang mengabdikan dirinya sebagai guru di Suku Anak Dalam Jambi, bukan satu-satunya guru yang pernah mengabdikan diri disana. Bukan juga yang pertama. Ada guru yang sudah mengabdikan diri jauh sebelum Butet datang kesana. Namun, kenapa Butet yang dikenal orang? Karyanya yang ditiru orang? Karena apa? Ya, sekali lagi karena dia MENULIS. Sedangkan yang lain tidak.
Maka, untuk itu, mari guru-guru, kita tunjukkan kepada dunia, selain kita lihai mengajar dan mendidik di dalam kelas, kita juga memiliki pena yang tajam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H