kesehatan terbesar dan menjadi penyebab utama kematian di dunia. Pengobatan utama penyakit infeksius adalah antimikroba (Reygaert, 2018). Penggunaan antimikroba di masyarakat sudah berkembang pesat dikarenakan akses yang mudah dan harga yang murah (Sinto, 2020). Pada dasarnya penggunaan antimikroba dilakukan secara rasional dengan pemahaman yang tepat mengenai dosis obat, interval waktu pengunaan dan kesesuaian dengan penyakit yang dialami individu (Naylor et al., 2018). Namun, dikarenakan kurangnya pengetahuan dan kepatuhan masyarakat serta rendahnya upaya promosi edukasi mengenai pengunaan antimikroba, menyebabkan terjadinya suatu permasalahan yaitu Antimicrobial Resitence (AMR) (Arrang et al., 2019). Antimicrobial Resitence adalah penurunan kepekaan mikroorganisme penyebab penyakit infeksius terhadap obat antimikroba (WHO, 2020).
Penyakit infeksius merupakan salah satu masalahWorld Health Organization (WHO) menyatakan bahwa AMR merupakan salah satu dari 10 ancaman kesehatan global. Hal ini dikarenakan apabila permasalahan AMR tidak mendapatkan suatu intervensi yang tepat, maka dapat menyebabkan beberapa dampak negatif bagi kesehatan yang pada akhirnya berkontribusi pada peningkatan angka morbiditas dan mortalitas di populasi (WHO, 2020). Menurut laporan Centers for Disease Control (CDC), lebih dari 2,8 juta individu mengalami AMR di Amerika Serikat setiap tahun dan mengakibatkan lebih dari 35.000 orang meninggal dunia. Selanjutnya, CDC juga memperkirakan pada tahun 2050, angka kematian akibat AMR mencapai 10 juta dan 4,7 juta diantaranya merupakan penduduk Asia (CDC, 2019). Permasalahan AMR di Indonesia sendiri telah menjadi perhatian pemerintah dan para peneliti. Hasil penelitian Antimicrobial Resistance in Indonesia (AMRIN) membuktikan bahwa dari 2.494 orang, 43% bakteri Escherichia coli resisten terhadap berbagai jenis antimikroba seperti ampisilin, kotrimiksazol dan kloramfenikol. Selain itu, penelitian AMRIN yang dilakukan di rumah sakit Surabaya dan Semarang menjelaskan bahwa sudah terdapat mikroorganisme multiresisten yang membahayakan di Indonesia seperti Methicillin Resistant Staphylococcus aureus (MRSA) (Parathon et al., 2017).
Adanya permasalahan AMR membuat WHO mengambil tindakan untuk mengkoordinasi kampanye global mengenai pengaruh AMR terhadap kesehatan manusia. Hal ini dilakukan untuk meningkatkan kesadaran dan perilaku masyarakat terhadap penggunaan antimikroba (WHO, 2020). Selain dilakukannya kampanye tersebut, upaya pengendalian AMR di masyarakat dapat dilakukan dengan mencegah penyebaran mikroorganisme resisten. Salah satu tindakan paling awal yang dapat dilakuakan dalam pencegahan penyebaran mikroorganisme resisten adalah dengan budaya cuci tangan pakai sabun (CTPS) (Hestiyani et al., 2021). Hal tersebut juga dinyatakan oleh CDC bahwa budaya CTPS adalah cara terbaik dan paling efektif untuk mengurangi penyebaran mikroorganisme patogen di masyarakat (CDC, 2019). Pada tahun 2017, WHO telah mencanangkan program “Aksi Cuci Tangan-Melawan Resistensi Antibiotik” dimana WHO mengharapkan setiap orang untuk melakukan aksi cuci tangan sebagai salah satu pencegahan terhadap permasalahan AMR (WHO, 2020).
Namun disisi lain, budaya CTPS ini belum sepenuhnya menjadi suatu kebiasaan bagi masyarakat di negara maju maupun negara berkembang seperti Indonesia. Adanya fasilitas yang tidak memadai, pengetahuan dan sikap individu yang rendah dan kondisi lingkungan sosial yang tidak mendukung merupakan beberapa kendala yang dapat mempengaruhi budaya CTPS di masyarakat. Berdasarkan uraian diatas, maka terdapat suatu garis yang menghubungkan antara AMR dan budaya CTPS sehingga tujuan dari artikel ini adalah untuk mengkaji lebih dalam peran budaya CTPS dalam mengurangi dampak negatif AMR di Indonesia serta menjelaskan faktor-faktor yang perlu menjadi perhatian sehingga budaya CTPS dapat efektif dalam pencegahan AMR di Indonesia.
Keberadaan antimikroba di masyarakat seperti pisau bermata dua. Pada satu sisi memberikan dampak yang baik, yaitu sebagai perawatan utama dalam penyembuhan penyakit infeksius. Namun pada sisi lainnya, jika tidak digunakan dengan tepat, antimikroba dapat menyebabkan AMR (CDC, 2019). Adanya AMR bukan berarti tubuh manusia tahan terhadap antimikroba, melainkan mikroorganisme yang ada di tubuh manusia yang mengembangkan kemampuannya untuk mengalahkan antibiotik (Rukmini et al., 2019). Tanpa disadari, setiap individu sebenarnya memiliki risiko untuk mengalami AMR, terutama pada individu yang sedang melakukan perawatan kesehatan dan individu yang tinggal pada lingkungan yang mudah terpapar infeksi. Hal ini dikarenakan pada lingkungan tempat tinggal manusia, terdapat jutaan mikroorganisme yang mampu beradaptasi dengan cepat pada kondisi lingkungan yang baru (Dwinta et al., 2021).
Adanya AMR di masyarakat akan memberikan dampak negatif bagi kesehatan manusia seperti: mutasi mikroorganisme menjadi lebih pathogen, menghambat pembentukan imunitas tubuh, memperpanjang lamanya penyakit, meningkatkan biaya pengobatan, serta berkurangnya efektifitas pengobatan yang berdampak pada peningkatan angka morbiditas dan mortalitas di masyarakat (Reygaert, 2018). Berdasarkan hal tersebut maka perlu dilakukannya pencegahan terhadap AMR di masyarakat secara komprehensif dan multisektor. Sejauh ini pemerintah Indonesia sudah berupaya melakukan tindakan pencegahan salah satunya dengan edukasi dan promosi penggunaan antimikroba yang tepat (Handayani et al., 2017). Namun hal ini menjadi kurang efektif jika tindakan penyebaran infeksi mikroorganismenya sendiri tidak dapat dicegah sedini mungkin. Langkah awal yang perlu dilakukan dalam mengurangi dampak negatif dari antimikroba adalah dengan mengkontrol penyebaran infeksi mikroorganisme. Langkah awal ini dapat dimulai dengan menumbuhkan budaya budaya CTPS di masyarakat Indonesia (Lestari, 2019).
Budaya CTPS memiliki peran dalam membunuh dan mengurangi jumlah mikroorganime patogen di tubuh sehingga penyebaran mikroorganime tersebut juga akan berkurang. Selain itu, adanya budaya CTPS merupakan suatu hal sederhana namun sangat penting sebagai salah satu upaya mencegah penyakit infeksius akibat mikroorganime seperti diare, infeksi saluran pernapasan atas (ISPA), flu burung dan COVID-19 (Dwinta et al., 2021). Apabila penyakit infeksius dapat dicegah sejak langkah awal, maka permasalahan AMR dapat dihindarkan dan masyarakat tidak lagi memiliki ketergantungan terhadap pengobatan antimikroba. Budaya CTPS di Indonesia sendiri masih cukup rendah yang disebabkan oleh beberapa faktor antara lain kesadaran masyarakat mengenai Water, Sanitation and Hygiene (WASH), ketersediaan air bersih dan sabun, serta dukungan sosial dari keluarga (family and environmental health) seperti yang ditunjukan oleh gambar 1.
Water, Sanitation and Hygiene adalah adalah upaya kesehatan untuk mencegah penyebaran mikroorganisme penyakit yang diakibatkan kurangnya kebersihan individu maupun masyarakat (Dwinta et al., 2021). Kesadaran terhadap WASH bertujuan untuk mewujudkan lingkungan yang bersih dan sehat sehingga dapat mencegah penyakit infeksius ataupun AMR. Kesadaran masyarakat mengenai WASH dapat ditanamkan melalui pendidikan sejak dini, seperti di rumah ataupun di sekolah (Susiati et al., 2017). Usia 4-6 tahun merupakan masa paling efektif dalam kehidupan manusia untuk mengembangan berbagai potensi yang dimiliki serta kemampuan belajar yang sangat cepat. Oleh karena itu, program promosi kesehatan mengenai WASH sebaiknya juga menyasar pada lingkup prasekolah dan beriringan dengan program edukasi WASH yang menyasar orang tua terutama pada ibu (Gambar 2). Hal ini selaras dengan teori modeling Bandura yang menyatakan bahwa anak belajar dari bagaimana orang dewasa memperlakukan mereka dan akan mempelajari apa yang mereka lihat dan dengar (Setyobudi et al., 2020).
Berdasarkan teori Bandura juga dapat dikatakan bahwa dukungan sosial dari keluarga dapat mempengaruhi tindakan yang dilakukan oleh suatu individu. Penelitian doria (Doria, 2010), menyatakan bahwa tindakan individu lebih dipengaruhi oleh informasi impersonal yaitu dari keluarga dibandingkan dengan informasi interpersonal seperti media massa. Selanjutnya, hasil dari penelitian (Setyobudi et al., 2020) didapatkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara pendidikan, pekerjaan, pendapatan, pengetahuan dan sikap orang tua terhadap budaya CTPS, dimana semakin tingi tingkatannya maka terdapat kecenderangan mengimplementasikan budaya CTPS dalam kehidupan sehari-hari. Keluarga yang memiliki dukungan terhadap kesehatan lingkungan seperti budaya CTPS akan lebih terhindar dari penyakit infeksisus sehingga risiko untuk mengalami dampak negatif dari AMR juga dapat terhindarkan.