Mohon tunggu...
Moringa Medusa
Moringa Medusa Mohon Tunggu... -

chanel oo

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Sanggurdi

22 Februari 2017   20:30 Diperbarui: 23 Februari 2017   18:29 201
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Untuk mata pelajaran sejarah setelah bel sekolah".

Dua sekte dari kekayaan yang kita sebut pagi; kemiskinan malam yang tidak pernah kita sebut. 

Dua sekte kemarin, listrik-listrik mati. 

Kita gelisah mencari lampu di kaki-kaki waktu purnama.

Kita menangis melihat merahnya senja bak pisau Mahogani.

Dua sekte. Sejarak 2KM dari tangan kita yang dipenuhi bau telur, 

"Pekak!", kata mereka.

Aku bilang, "Serak."

Sekte bukan lahir dari budaya. 

Budaya bukan lahir dari sekte. 

Telur bukan lahir dari sapi. 

Sapi bukan lahir dari telur. 

Pekak bukan lahir dari serak. 

Serak bukan lahir dari pekak. 

Lain dengan harta. Kalian sebut harta lahir dari merah Mahogani. 

Tangan kalian disembah panasnya penggorengan senja. 

Mata kalian hanya sebentang pisau berhala yang hidup menangisi purnama.

Perkenalkan,

Aku adalah sejarah yang lahir dua sekte, jaraknya 2KM dari tulang kedurhakaan ego yang mendustakan listrik kehidupan kalian; 

mata pelajaran sejarahku lahir dari panggilan berita yang mengenang kematian tubuh manusia, laporan ini hanya ketakutanku untuk awal perkenalan kita; 

bel sekolahku mencari tangan hari libur dan berteriak memaki kaki-kaki waktuku, 

"Ibu, jangan ganti bajuku, menu keramahan kita hanya lahir dari secangkir kopi dan sebatang rokok."

Besok aku memasang tiang listrik hingga ke dasar laut, vibrasi dari billboard yang pernah kau hilangkan di secarik kertas online. 

Aku kembali membangkai masa lalu, memanggil hari libur; seperti telur yang menanam luka di bawah pagiku, mencari obat di atas malammu. 

Tulangku berdoa layaknya ekstase di kerak sekte-sekte hari Minggu kalian, meminta visa untuk kebebasan berkalimat.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun