"Untuk mata pelajaran sejarah setelah bel sekolah".
Dua sekte dari kekayaan yang kita sebut pagi; kemiskinan malam yang tidak pernah kita sebut.Â
Dua sekte kemarin, listrik-listrik mati.Â
Kita gelisah mencari lampu di kaki-kaki waktu purnama.
Kita menangis melihat merahnya senja bak pisau Mahogani.
Dua sekte. Sejarak 2KM dari tangan kita yang dipenuhi bau telur,Â
"Pekak!", kata mereka.
Aku bilang, "Serak."
Sekte bukan lahir dari budaya.Â
Budaya bukan lahir dari sekte.Â
Telur bukan lahir dari sapi.Â
Sapi bukan lahir dari telur.Â
Pekak bukan lahir dari serak.Â
Serak bukan lahir dari pekak.Â
Lain dengan harta. Kalian sebut harta lahir dari merah Mahogani.Â
Tangan kalian disembah panasnya penggorengan senja.Â
Mata kalian hanya sebentang pisau berhala yang hidup menangisi purnama.
Perkenalkan,
Aku adalah sejarah yang lahir dua sekte, jaraknya 2KM dari tulang kedurhakaan ego yang mendustakan listrik kehidupan kalian;Â
mata pelajaran sejarahku lahir dari panggilan berita yang mengenang kematian tubuh manusia, laporan ini hanya ketakutanku untuk awal perkenalan kita;Â
bel sekolahku mencari tangan hari libur dan berteriak memaki kaki-kaki waktuku,Â
"Ibu, jangan ganti bajuku, menu keramahan kita hanya lahir dari secangkir kopi dan sebatang rokok."
Besok aku memasang tiang listrik hingga ke dasar laut, vibrasi dari billboard yang pernah kau hilangkan di secarik kertas online.Â
Aku kembali membangkai masa lalu, memanggil hari libur; seperti telur yang menanam luka di bawah pagiku, mencari obat di atas malammu.Â
Tulangku berdoa layaknya ekstase di kerak sekte-sekte hari Minggu kalian, meminta visa untuk kebebasan berkalimat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H