Mengkritisi Peran Strategis Indonesia dalam ASEAN
Dielaborasi dari paparan Prof Aleksius Jemadu, Ph.D, Prof Dzainuddin Djafar, Dr. Adriana Elisabeth, M.Soc.Sc dan Perwakilan Direktorat Kerjasama ASEAN, Kementerian Luar Negeri Indonesia dalam Peluncuran Buku “Peran Strategis Indonesia dalam ASEAN dan Dinamikanya.” AJB, FISIP UI, Depok 2012
Pasca Keketuaan ASEAN pada 2011 yang lalu, pemerintah Indonesia begitu antusias dengan proses regionalisasi ASEAN. Beragam inisiatif dan wacana dilemparkan oleh pemerintah untuk memperkokoh proses regionalisasi yang sedang berjalan. Hal ini memang wajar, mengingat pada tahun 2015 ASEAN harus menyelesaikan PR untuk membentuk sebuah komunitas regional yang solid dan kukuh dalam ASEAN Community. Pasca keketuaan Indonesia, negara-negara yang akan bergiliran untuk memegang posisi sebagai ketua adalah Kamboja pada 2012, Brunei pada 2013, dan kemungkinan besar Myanmar pada 2014. Tidak heran jika banyak negara, pengamat, pakar dan juga internal ASEAN sendiri yang mengharapkan Indonesia untuk menentukan patokan dalam proses pembentukan komunitas ini.
Dalam tataran tertentu, semangat untuk memimpin ASEAN perlu mendapat sejumlah kritisi. Kritisi pertama terkait dengan kuatnya faktor sejarah mempengaruhi peran Indonesia di ASEAN. Memang dapat dikatakan bahwa Indonesialah yang membidani munculnya organisasi ASEAN. Pada masa itu nuansa Perang Dingin antara Amerika Serikat dan Uni Soviet yang memunculkan sejumlah proxy war di negara-negara Mekong seperti Vietnam dan Kamboja telah menimbulkan kegelisahan bagi Indonesia.
Selain itu, instabilitas kawasan juga mungkin terjadi sebagai konflik antar tetangga. Indonesia-Malaysia misalnya, pada saat itu tengah bertikai dengan Indonesia mengeluarkan slogan “Ganyang Malaysia.” Negara-negara lain seperti Filipina-Malaysia, Thailand-Malaysia, semuanya juga memiliki konflik perbatasan. Kondisi tersebut tidak kondusif bagi iklim investasi dan pembangunan yang diupayakan oleh Indonesia. Pada masa itu, Presiden Soeharto cenderung pragmatis dalam menggunakan institusi baru ini untuk mendorong terbentuknya stabilitas. Stabilitas kawasan ini diharapkan dapat mendukung wacana Soeharto untuk mendorong pertumbuhan ekonomi.
Hanya saja pertanyaanya sekarang, apakah prioritas penciptaan stabilitas kawasan ini masih rasional jika dijadikan sebagai prioritas utama Indonesia di ASEAN? Konflik antar negara terkait isu perbatasan memang masih ada, hanya saja intensitasnya telah jauh berkurang. Selain itu, negara-negara di Asia Tenggara juga tengah fokus pada isu pembangunan dibanding mempersoalkan masalah perbatasan dan kedaulatan.
Menggaet Raksasa Dunia- Dynamic Equilibrium
Salah satu semangat Indonesia lain yang juga layak untuk dikritisi terkait dengan penggunaan konsep Dynamic Equilibrium. Konsep ini telah digunakan oleh Indonesia sebagai salah satu jargon dalam Keketuaanya pada 2011. Tak ragu, pemerintah mengklaim posisinya dalam Dynamic Equilibirum berhasil dengan hadirnya Amerika Serikat dan Uni Soviet pada ASEAN Summit yang diselenggarakan di Bali. Indonesia tampak berbangga melihat dua negara ini, ditambah China, India, Australia, Selandia Baru, Korea Selatan, dan Jepang masuk dalam jejeran negara yang memiliki minat terhadap Asia Tenggara.
Secara teori, Dynamic Equilibrium berupaya untuk menciptakan sebuah keseimbangan dengan mengakomodasi munculnya kekuatan-kekuatan baru di dunia. Kekuatan baru seperti China memang banyak menjadi wacana terkait dengan dampaknya terhadap stabilitas yang ada. Konsep Dynamic Equilibrium berusaha untuk mengakomodasi kemunculan mereka namun tetap member ruang kekuatan-kekuatan yang telah lebih dahulu ada seperti Amerika Serikat. Di saat yang bersamaan, Indonesia akan mendorong peran “middle power” seperti negara-negara ASEAN.
Mengingat posisi Indonesia sebagai negara dengan kekuatan menengah, pilihan Dynamic Equilibrium dinilai menarik karena ini memungkinkan Indonesia menjadi jembatan antara raksasa-raksasa dunia. Hanya saja penting untuk diperhatikan bahwa pada akhirnya tidak ada kekuatan besar yang tertarik pada situasi equilibrium. Secara strategis dan secara psikologis negara-negara raksasa ini akan lebih tertarik untuk memperlihatkan dan mengupayakan keunggulan mereka.
Dalam situasi aman tentram penuh dialog yang diupayakan oleh Indonesia, negara-negara tersebut akan tetap menggunakan bahasa kekuatan, the language of power. Sikap itu semisalnya saja bisa dilihat dari sikap Cina terkait isu Laut Cina Selatan. Ada kecenderungan bagi Cina untuk tidak mau membawa isu tersebut diselesaikan secara multilateral di tingkat ASEAN. Mereka menolak untuk membahas isu ini dalam East ASEAN Summit yang diselenggarakan Indonesia. Mereka lebih suka dengan pendekatan one on one. Tentu saja pendekatan one on one akan menguntungkan China, mengingat tidak berimbangnya kapabilitas kekuatan dari negara tersebut disbanding negara-negara Asia Tenggara. Hal ini memperlihatkan bagaimana bahasa kekuatan itu masih mendominasi hubungan antara ASEAN dan negara-negara partnernya.