[caption id="attachment_92233" align="aligncenter" width="340" caption="Abah Akeu bersama istri di bengkel sepeda"][/caption] Derap pembangunan dan kemajuan sebuah kota idealnya berbanding lurus dengan kesejahteraan warganya. Namun, fakta sering berbicara lain. Kisah Koe akeu, 76, bersama isterinya Mariam, 71 tahun, bisa menjadi gambaran sisi lain kemajuan kota metropolitan, seperti Jakarta. 52 tahun telah berlalu sejak pertama kali ia membuka bengkel sepeda sederhana di Jalan Raya Palmerah. Tak sekalipun terpikirkan oleh kakek keturunan Tionghoa ini untuk berpindah lokasi maupun beralih profesi. Jalan tanah berlumpur yang menghubungkan Slipi-Kebayoran tahun 50-an telah berganti dua jalur jalan aspal. Sentra konveksi batik yang berjejer sepanjang jalan Palmerah Raya pun telah meredup sejak akhir dekade 80-an. Pasar rombeng, pasar tradisional di wilayah Palmerah, telah berganti rupa menjadi pasar modern, Ramayana Palmerah. Jalanan lengang yang menjadi lintasan mulus sepeda telah berganti lalu lintas yang saban hari diwarnai kemacetan. [caption id="attachment_92238" align="alignright" width="300" caption="Makan siang setelah dapat pelanggan pertama"]
[/caption] Seiring menghilangnya 'bengkel batik', sebutan masyarakat sekitar untuk rumah produksi batik, lenyap pula para karyawan batik yang umumnya bersepeda. Kenyataan ini tentunya menjadi salah satu penyebab utama tergerusnya pendapatan Abah Akeu, sapaan kakek 14 cucu serta 4 buyut ini. Kemajuan teknologi transportasi turut menurunkan laba usaha bengkel sepedanya. "Sekarang orang lebih suka pake motor dan mobil, Pak", kata Ibu Mariam, isteri Abah Akeu yang adalah warga asli Palmerah. Alhasil, dari penghasilan harian yang mampu menyekolahkan ketujuh anaknya hingga pendidikan SLTA, sekarang Abah Akew hanya bisa mengumpulkan rata-rata Rp. 30.000 sehari. "Hari ini baru 10 ribu, Pak!" jelasnya. Padahal waktu sudah menunjukkan sekitar pukul 2.30 sore. "Kemarin malah cuma 2 ribu perak" tambah isterinya. Dua ribu rupiah adalah biaya sekali mengisi angin di bengkel mereka. 2 ribu rupiah tak mungkin cukup untuk untuk membeli makan siang bagi keduanya, apalagi untuk pulang ke rumah mereka di Jombang, Ciputat. Ya, sejak tahun 80-an rumah mereka termasuk lahan yang dibebaskan untuk pembangunan Jalan Arteri Patal Senayan. Ganti rugi yang tidak seberaba mengharuskan mereka mencari tempat tinggal baru di luar kota Jakarta. Di usia lanjutnya Abah Akeu mengalami gangguan pendengaran. Jalannya pun seret karena terjatuh dari sepeda setahun yang lalu. Ibu Mariam terpaksa harus lebih aktif membantu si Abah di bengkel sepedanya. Sudah 52 tahun ia bergelut n menjadi saksi kemajuan Jakarta, khususnya kawasan Palmerah. Debu & lumpur jalan tanah telah berganti asap n kebisingan jalan raya. Peran sepeda telah diambil alih motor n mobil. Peningkatan kualitas jalan raya pun terpaksa memisahkan banyak warga Ibukota dari tanah kelahirannya. Banyak yang menikmati perubahan n kemajuan ini. Tapi, tak sedikit pula yang tersisih bahkan terdepak dari derap kemajuan Abah Akeu dan isterinya Mariam berada dalam kelompok terakhir ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H
Lihat Humaniora Selengkapnya