[caption id="attachment_82067" align="alignleft" width="300" caption="Antusiasme Penonton tidak diimbangi sistem penjualan tiket yang memadai"][/caption] Sebuah berita terkait perbandingan harga tiket final AFF Cup yang layak membuat miris hati kita disajikan kompas.com beberapa hari lalu(baca ). Harga tiket final di Stadion Bukit Jalil ternyata jauh lebih murah dibanding harga tiket final yang dijual Panitia Penyelenggara Indonesia. Fakta yang lebih menyakitkan adalah berita mengenai sistem penjualan tiket yang amburadul yang memicu keributan. Fakta-fakta tersebut layak membuat kita kembali mempertanyakan kapabilitas Nurdin Halid and the Gang dalam mengorganisir persepakbolaan Indonesia serta mempertanyakan motivasi mereka untuk tetap melanggengkan rezim PSSI N2N (Nurdin-Nugraha) hingga saat ini.
Masyarakat Malaysia nota bene memiliki daya beli rata-rata satu level di atas masyarakat kita. Namun, panitia pertandingan mereka sangat paham keberhasilan Malaysia menembus hingga babak Semifinal Asian Games dan Final AFF Cup tidak perlu dijadikan mesiu yang mampu meledakkan ketamakan mengeruk keuntungan ekonomi dari posisi mereka di dalam organisasi sepakbola. Tiket final pertandingan Stadion Bukit Jalil dijual dengan harga yang terjangkau, bahkan oleh TKI sekalipun, suatu fakta yang jelas berbeda dengan Panpel Indonesia.
Peningkatan antusiasme supporter Indonesia untuk menyaksikan langsung kiprah para bintangnya dimanfaatkan “dengan sebaik-baiknya” oleh pengurus PSSI, yang terkenal pandai memanfaatkan mementum untuk meraup profit komersial. Meningkatnya nasionalisme buah dari lolosnya Timnas Indonesia ke babak Final AFF patut diberdayakan alias dikomersilkan. Harga tiket yang dijual Panpel PSSI meningkat dari babak ke babak. Harga tiket Final terendah di Gelora Bung Karno bahkan hampir sama dengan harga tiket termahal di Malaysia (baca juga ), sesuatu yang sangat kontras dengan Panpel Malaysia, bukan?
Namun, peruntukan profit organisasi tersebut sepertinya hanyalah prosedur formal di kepala kita.Otak pengurus PSSI telah memperhitungkan matang agar yang masuk ke kantong pribadi masing-masing mereka cukup besar. Kesuksesan dan antusiasme yang melahirkan nasionalisme di Indonesia selalu di lihat sebagai ceruk market yang potensial, secara ekonomi maupun politik. Secara ekonomi sponsor lebih mudah didatangkan.
Sepak bola yang adalah olahraga rakyat juga menjanjikan keuntungan politik. Pengurus PSSI jelas paham benar sikon ini. Sokongan sponsor baru jelas mengurangi beban ekonomi PSSI sementara dukungan mereka yang mencari popularitas demi keuntungan politis dengan menunjukkan perhatian kepada Timnas yang sedang menjadi sorotan utama jelas mendatangkan inspirasi untuk memperoleh kontribusi berupa sumbangan finansial.
Inilah poinnya. Momentum nasionalisme masyarakat yang melonjak karena faktor sepak bola dipergunakan dengan tepat oleh pengurus PSSI. Mereka paham benar hukum ekonomi, permintaan meningkat akan equal dengan harga yang turut mengalami lonjakan. Apalagi kali ini lonjakan permintaan melebihi persediaan, kapasitas Stadion GBK. Ini jelas patut dimanfaatkan untuk memperoleh keuntungan ganda: sumbangan dari donatur yang melimpah ditambah keuntungan tiket yang juga meningkat. Soal bagaimana mengelola manajemen penjualan agar tidak tercipta kekisruhan yang sudah bisa diprediksi – peminat nonton langsung jauh melebihi kapasitas stadion – tidak menjadi prioritas pemikiran NH cs.
Add.link: http://bolagoalnet.blogspot.com/2010/12/antrian-tiket-di-gelora-bung-karno.html
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H