[caption id="attachment_81265" align="aligncenter" width="150" caption="Bermaksud Menjenguk, Yang Aku Temui adalah Foto ini"][/caption]
Pascal mungkin bukan salah satu orang terkenal, dari sisi positif maupun negatif. Kematiannya mendapat porsi pemberitaan Metro TV karena dia memang seorang jurnalis TV dengan posisi terakhir sebagai produser di stasiun TV News swasta pertama di Indonesia itu. Namun dia bukan orang biasa, Pascalis Lesek adalah seorang pribadi yang luar biasa dan karena itu secuil kepribadian pria bertubuh kurus namun berjiwa besar ini ingin saya share pada teman2 kompasianers. Minimal tulisan ini bisa menjadi kenangan yang lebih awet dari kelemahan memori manusiawiku.
Pascal sudah terbaring di peristirahatan kekal dan tidur dalam kebebasan sejati. Ya, tidur dalam kebebasan adalah salah satu kekhasannya. Berbaring seenaknya di lantai , di atas tikar, karpet atau kasur dengan kaki yang diselonjorkan terbuka, dan tangan yang terentang bebas, sesuatu yang jamak terlihat sebelum penyakit perlahan-lahan merenggut warnakebebasan itu sejak empat tahun silam. Dia sudah terbaring selamanya, bukan dalam posisi idealnya karena sekarang tangannya dikatupkan di dada, tapi dalam simbolisasi makna yang sama: kebebasan dan kedamaian. Bukan hanya itu, saya kira. Ada ekspresi keterbukaan yang terselip di sana.
Lebih dari sekedar ekspresi, keterbukaan terhadap orang lain adalah kesehariannya. Di mana pun dia tinggal, di sana pula adik-adik dan saudara-saudaranya disertakan. Bukan hanya mereka, tempat tinggalnya selalu terbuka untuk semua teman dan kenalan. Rumahnya adalah tempat membuang penat bagi mereka yang tergerus kesibukan kerja. Rumahnya adalah tempat bersenda gurau saat teman-teman lama bertemu. Rumahnya adalah naungan sementara bagi mereka yang menganggur dan pondokan bagi mahasiswa. Kediamannya adalah saksi berbagai cerita perjuangan teman-teman yang mencoba bertahan hidup di Ibukota. Kediamannya adalah tempat pertemuan dan pertautan suka dan duka, keseriusan dan kejenakaan, permainan dan strategi, kopi dan rokok, dan berbagai hal kontraris lain yang saling melengkapi. Yang pasti, rumahnya adalah ruang kebersamaan. Keterbukaan dan rasa kebersamaan itu yang membuat kontrakannya jauh dari sepi. Bisa dibilang almarhum telah memperoleh perbagai kelengkapan immaterial dari hidup berkeluarga, meskipun hingga ajal menjemput ia masih tetap memilih hidup single.
[caption id="attachment_81267" align="alignleft" width="150" caption="Artikel Terakhir Sumbangan Pascal untuk Majalah Tombokilo"]
Keterbukaan dan kebersamaan jugalah yang merupakan sisi personalitas Pascal yang menjadikan dirinya Sang Jembatan, tanpa bermaksud menyamakan dia dengan Barack Obama (The Bridge adalah judul biografi Barack Obama yang merepresentasikan sosok presiden AS pertama dari kalangan Afro-Amerika). Ia menjadi jembatan relasi sosial antara teman, tanpa perlu memiliki akun Facebook (Akun twitter-nya dibuat dan diisi oleh salah seorang teman produser Metro TV). Ia menjembatani kepentingan ekonomi saudara-saudara seasal pun yunior yang kekurangan. Ia juga menjadi link yang menghubungkan kalangan senior dan yunior dan konektor berbagai kepentingan karena style khasnya yang menjadi access card untuk dekat dan masuk ke kedua poros secara natural. Tentu, teman-teman aktivis ’98 dan organisasi mahasiswa yang pernah diikutinya, PMKRI, lebih paham kelebihan Pascal yang satu ini. Dan, pekerjaannya sendiri sebagai awak media sudah menjadi point of reference, betapa besar arti temanku ini sebagai mediator berbagai berita bagi jutaan pemirsa TV.
THE NEWS MAKER
Laiknya, mereka yang merasa kehilangan orang yang dicintai, salah seorang saudaranya mempertanyakan mengapa orang sebaik Pascal begitu cepat dipanggil Yang Ilahi, sementara begitu banyak orang jahat yang seakan-akan dikaruniai umur panjang, kesejahteraan melimpah, dan bisa juga ditambah dengan kemasyuran. Pertanyaan retoris ini sudah kerap kita dengar. Saya pun pernah berteriak mempertanyakan hal yang sama saat ibuku meninggal dunia 5 tahun lalu, seakan ingin ikut bersama Corliss Lamont dalam diskursus humanismenya untuk mencari titik temu antara kontingensi manusia dan kebebasan manusia di satu sisi serta determinisme ilahi di sisi lainnya.
Saat pertanyaan tersebut diarahkan padaku setelah 2 pekan kematian temanku ini, sudah ada jarak antara sentimentalitas dan rasionalitas, ada ruang antara kesedihan dan kenangan akan kebesaran pribadi Pascal dalam memoriku yang menyisakan kans untuk berpikir rasional. Berita Gayus yang melintas sekilas di layar TV menjadi inti jawaban saya yang sekenanya tapi cukup rasional menurut mereka. Saya sadar sesadar-sadarnya bahwa saya juga manusia dengan segala aspek kontingensinya yang tak layak menjustifikasi personalitas manusia lain sebagai jahat atau baik, juga tanpa bermaksud ’beriman’ pada ajaran Nietzsche mengenai afirmasi hidup.
Kondisi psikologis, kerap disebut situasi kebatinan, sangat berperan dalam menentukan kesehatan seseorang. Menurutku, ”orang baik” biasanya memiliki pertarungan kebatinan yang lebih dalam, perang psikologis antara idealisme spiritual dan realitas sosial & manusiawi. Ibarat baju putih yang akan lebih muda terlihat nodanya, setiap pilihan sikap adalah keputusan yang diambil berdasarkan sinkronisasi ’dua unsur berjarak dua jengkal’, otak & hati, keseimbangan rasio dan rasa. Singkatnya, orang baik sering dianggap banyak pertimbangan antara ego dan socius, antara aku/kami dan dia/mereka, antara tenggang rasa dan tega.
Konkretnya lebih mudah dipahami dalam perbandingan dengan orang terkenal seperti The News-Maker, Gayus Tambunan. Orang seperti Gayus akan tetap terlihat ceria dalam persidangan mega kasus pajaknya sekalipun. Tak ada yang terlalu membebani pikiran, pilihan sikap, dan keputusannya. Baginya, ada tawaran datang untuk menyelesaikan kasus pajak secara simpel. Pihak sebelah tidak terlalu dirugikan bahkan bisa dikatakan untung, dan saya/kami pun tidak terlalu direpotkan (urusan birokrasi hukum hingga administrasi). Apalagi, ini yg penting, transfer miliaran menjadi imbalan. Setelah menjadi terdakwa pun rasa bersalah dan tanggung jawabnya pun belum terlihat. Ia masih sempat menikmati aksi suap-menyuapnya dengan pelesiran ke Bali.
Mungkin sesederhana itu Gayus memandang hidup. Take it easy, tak perlu pikir panjang, ibarat memesan makanan di restoran cepat saji atau pun menyantap mie instan. Statusnya sebagai aparat (apparatus=alat) negara yang mengemban tugas negara, yang artinya merepresentasikan urusan dua ratusan juta rakyat Republik ini, apalah itu. Semuanya terlalu ideal. Dan, yang ideal biasanya dipandang tidak riil, kurang konkret, kurang aktual, lack of objectivity. Yang paling obyektif adalah tujuan terdekat, saya bekerja untuk mendapatkan duit dan dengan duit segala urusan hidup lainnya beres. Soal dari mana duit itu, halal atau tidaknya, itu masalah moral – religius. Soal legal, ilegal atau extra legal-kah proses kerja dan pendapatan yang saya peroleh, itu hanyalah masalah hukum yang bisa diatur kemudian.
Di situlah letak perbedaan produk budaya populer dalam diri Gayus dan produk diskusi analitik dalam diri Pascal, buah dinamika oportunisme pada Gayus dan humanisme pada Pascal. Pascal dibesarkan di jalur formasi aspek moral yang kuat, formasi kepribadian berupa disiplin diri & kemandirian yang mengakar, serta formasi intelektual yang kritis melalui diskusi-diskusi ilmiah. Ketiganya aspek tersebut membentuk kepribadian Pascal.
Lebih dari itu, ada hal yang paling membedakan Pascal dan Gayus: penampilan keseharian keduanya. Kesederhanaan Pascal tak ada duanya. Yang mengenal Pascal tentu tahu hal ini. Anda tak akan percaya dia seorang produser Metro TV bila berpapasan dengan sosok bertubuh kurus dalam balutan baju singlet dan celana pendek atau bila bertemu dalam angkot. Jarang terlihat barang berharga, barang mewah berharga premium menghiasi dirinya. Ia minimalis dalam arti orisinil. Entahkah dia pengikut Naomi Klein dengan No Logo Movement-nya, ataukah dia pernah membaca salah satu tulisan Klein, Shock Doctrine dan No Logo? Saya tidak tahu persis. Yang saya tahu, kesederhanaan itu sudah ditunjukkan sedari masa saya mengenalnya, di saat ia memulai pendidikan SMP pada 1989. Maksudku, penampilan kesehariannya tetap sederhana walaupun ia mampu untuk menonjolkan diri secara lebih wah. Tentu keluarga, terutama kedua orang tua, sebagai lingkup awal & peletak dasar watak serta pola tingkah laku berperan besar dalam sisi kepridaan Pascal yang satu ini.
Dia adalah orang yang tahu diri tanpa perlu ada kontrol sosial berlebihan dari pihak lain.Dengan level karir saat ini dia sadar bahwa ada hal-hal yang tidak masuk di akal atau tidak layak jika dipergunakan atau ditampilkannya, tanpa perlu ada kontrol sosial pihak lain. Lebih dari itu, indokrinasi tidak dibutuhkan Pascal untuk benar-benar menghayati pengetahuan dasar ekonomi: apa itu kebutuhan primer, sekunder & tertier. Baginya, yang sekunder dan tertier tidak bisa didahulukan di atas kebutuhan primer dan bahwa pemenuhan kebutuhan tertier dst perlu pertimbangan aspek sikon sosial. Apa artinya bila saya bergembira tapi saudara-saudara dan orang di sekitarku masih memperjuangkan hal-hal dasariah. Ini sesuatu yang sangat natural & manusiawi.
Lain halnya Gayus dan rekan-rekan sejawat yang tetap pandai memanfaatkan rendahnya kesadaran sosial dan pembiaran masyarakat Jakarta akan status ekonomi. Tanpa malu-malu Gayus dan teman-temannya memamerkan apa yang tidak layak atau tidak masuk di akal bila dipakai PNS dengan golongan dan eselon seperti dia. Empati sosial, kesadaran akan realitas hidup mayoritas masyarakat Jakarta yang ada di depan mata seolah hilang oleh aroma lembaran rupiah. Soal kesadaran sosial, saya yakin orang seperti Gayus tidak sepenuhnya buta. Mereka pasti pernah berbagi dengan pengemis, pengamen dll. Hanya motifnya yang mungkin perlu menjadi pertanyaan. Sekedar untuk mendapat pujian, apreasiasi, ikut terlibat ataukah suatu kesadaran yang natural dan manusiawi layaknya Alm. Pascal. Inilah faktor yang menjadikan keduanya bak langit dan dasar bumi.
Pascal bukan seorang altruis. Tapi dia sadar akan realitas sosialnya sebagai manusia. Hidup adalah perjuangan untuk memenuhi kepentingan dirisambil membuka ruang bagi orang lain untuk berkembang dan berkreasi. Pemenuhan ego tak perlu mengorbankan orang lain. Sebaliknya, harmonisasi antara kedua unsur tersebut sangat menentukan level humane, tingkat kesejatian eksistensi kemanusiaan kita. Pascal telah mendekati level itu walaupun di sisi lain ia harus mengorbankan hal lain, yang membuatnya terlihat tak normal, anomali bagi kebanyakan warga Jakarta. Ia membuktikan dalam hidupnya bahwa ia tak mungkin menjadi Gayus bila berada dalam posisi dan kesempatan yang sama. Sementara itu, kita, saya & Anda, mungkin hanyalah ”gayus-like” , tanpa kesempatan dan posisi seperti dirinya.
Salut Pascal & Beristirahatlah dalam Kedamaian Abadi bersama-NYA
Requiescat inPace
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H