Mohon tunggu...
Imanuel More Ghale
Imanuel More Ghale Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Yang menatap realitas tanpa tenggelam.... Yang menerabas fakta tanpa keegoan... Yang menyibak alam tanpa merusak... Yang mempertanyakan metafisik tanpa kelelahan... Memaknai ada-nya dalam tanya... Meretas asa dalam nyata... Menuju Kesempurnaan... Aku More... catatan2 (notes) yang perlu ku bagi sebut saja morenotes

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

In Memoriam Gus Dur: Ketokohan Sejati Seorang Berintegritas Moral

7 Februari 2010   13:41 Diperbarui: 26 Juni 2015   18:03 282
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

40 hari lalu ia berpulang ke rahmatullah. Laporan Metro TV sore tadi, sekitar jam 4.00, jejeran rakyat-peziarah yang ingin menghadiri peringatan 40 hari kematiaanya membludak hingga sepanjang 3 km dari kompleks makam. Laporan Detik Surabaya pada pukul 19.35, meski hujan deras sedang melanda Jombang, jumlah peziarah justru makin membludak menjelang tahlilan.

Fakta ini mengulang apa yang terjadi saat pemakaman figur karismatis ini. Saat itu ada puluhan ribu rakyat dan mungkin jutaan pasang mata pemirsa TV yang mengiringi perjalanan jenasahnya ke liang lahat. Lantunan doa berbagai pemeluk agama dan keyakinan juga menyertai kepergiannya. Itulah bukti sahih yang merepresentasikan aura ketokohan Abdurrahman Wahid di mata rakyat Indonesia.

Tidak hanya itu, aneka gelar kehormatan disuarakan berbagai elemen masyarakat secara formal, bersanding dengan berbagai atribut khusus yang dilekatkan secara pribadi oleh sejumlah tokoh dan kalangan dekat pada mantan Presiden RI ini. Pejuang HAM, Tokoh Pro-Demokrasi, Pahlawan Pluralisme, Sang Humanis Sejati, Pembela Kaum Minoritas, Sang Jendela Dunia, Wali, Manusia Setengah Dewa adalah sebagian kecil dari ratusan gelar dan atribut menyeruakkan fakta bahwa ketokohannya tidak hanya didasarkan pada status mantan Presiden. Lebih dari itu, berbagai diskusi/seminar/dialog diadakan di dalam dan luar negeri membahas ketokohan seorang Gus Dur.

Kharisma dan ketokohannya juga tidak hanya ditautkan pada “Darah Biru NU” yang mengalir pada dirinya sebagai keturunan KH Hasyim Asyhari dan KH Bisri Syansuri. Gelar dan atribut tersebut menjadi rentetan fakta bahwa Abdurrahman Addhakil, nama asli Gus Dur, telah melampaui batas keagamaan oleh nilai-nilai universal yang dibumikan di tanah nusantara.

Rentetan kontroversi sempat mewarnai sepak terjangnya. Di forum akademik, ia adalah salah seorang pendiri Forum Demokrasi (1991) yang kerap meletakkan penggemar lagu-lagu Janis Joplin ini dalam posisi berseberangan dengan tangan kekuasaan Soeharto. Namun ia juga harus berhenti dengan hormat dari forum yang diketuainya hingga 1999 karena menggaungkan Tutut (Siti Hardjanti Rukmana), putri Soeharto, sebagai suksesor ayahnya. Sarat dengan ide-ide demokratis, “Addhakil” (Sang Penakluk) tak ingin kebebasan berpendapat terpasung di negeri ini. Pilihannya mendukung kalangan golput dalam dua pemilu terakhir (2004 & 2009) mengalirkan kecaman deras dari sebagian besar tokoh nasional.

Di level agama, ia tak gentar oleh pandangan miring para kiai karena keberaniannya mengganti salam ”assalamualaikum” dengan ”selamat pagi”. Pada konteks kehidupan beragama jugalah Gus Dur menempatkan ketokohannya pada posisi yang tak tergantikan sebagai sang pluralis sejati. Konghucu dijadikan agama keenam di Indonesia. Saat menjabat presiden, bapak empat putri ini menerbitkan Instruksi Presiden (Inpres) No 6/2000 yang dikeluarkan tanggal 17 Januari 2000 untuk mencabut Inpres 14/1967 tentang agama, kepercayaan, dan adat istiadat China, termasuk menghidupkan kembali tradisi dan atraksi Barongsai. Tahun baru Imlek pun dijadikan libur fakultatif.

Ekstrimitas agama menjadi hal yang ditabukannya. Kesamaan hak dan martabat semua penganut agama dan kepercayaan di bumi nusantara menjadi hal mutlak yang diayomi oleh pandangan inklusifnya. Soal penyimpangan adalah hal lain yang harus ditelaah oleh pihak yang berkompeten. Sedangkan, tindak kekerasan dan main hakim sendiri demi membela agama wajib dieliminasi. Tak heran bila Gus Dur berada pada garda depan penolakan RUU APP pada 2008. Saat itu, cakrawala toleransi yang dikembangkannya mengharuskan tokoh berjiwa pluralis mendukung Aliansi Kebangsaan dan Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (AKKBB) dalam Tragedi Monas 1 Juni 2008, meski ia harus berhadapan dengan FPI, ormas Islam yang ditakuti saat itu. Gus Dur pun berani pasang badan untuk melawan pelbagai tindak anarkis yang dilakukan sejumlah massa dan ormas di Jawa Barat hingga NTB ketika menuntut pembubaran gerakan dan jemaah Ahmadiyah di Indonesia pada periode 2006 hingga medio 2009.

Yang paling controversial pada level ini adalah usulannya untuk membuka hubungan ekonomi dan politik dengan Israel. Selain itu, keterlibatannya sebagai pendiri Shimon Perez Institute for Peace melahirkan tudingan bahwa Gus Dur adalah “antek Zionis-Yahudi”. Sebagai tokoh Islam, corak berpikir Gus Dur ini sulit dipahami kalangannya. Namun ia bergeming pada nilai humanis yang diusungnya.

Pada tataran kenegaraan yang sama, ia adalah tokoh rekonsiliasi nasional. Gus Dur tidak keberatan untuk meminta maaf kepada korban 1965 yang diserang oleh Banser NU (upaya membuka rekonsiliasi). Gus Dur tak sungkan meminta maaf kepada masyarakat Timor Leste atas berbagai penderitaan yang dialami selama di bawah pemerintahan Indonesia. Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi RI-Timor Leste dibentuknya, meskipun tak terlalu sukses. Upaya ini memantik reaksi keras sejumlah petinggi militer. Ia juga memperkuat tautan integritas negara kesatuan dengan mengubah nama Irian Jaya menjadi Papua. Lambang bintang kejora, yang di masa Orde Baru dianggap sebagai simbol pemberontakan, ditetapkan sebagai simbol budaya lokal Papua. So, diskriminasi pusat – daerah dijembataninya dengan apresiasi atas budaya dan simbol local.

Masih seabreg hal besar dan kecil yang telah dibuat figure dengan berbagai gelar internasional ini. Sebagian besar di antaranya melahirkan tanda tanya, kernyitan di dahi hingga cibiran. Gugatan dan celaan bagi Presiden RI ke-4 seolah sudah semestinya berjalan berbarengan dengan pujian dan kekaguman akan langkah, opsi, dan buah pikirannya. Namun, pada akhir hayatnya, penghormatan ribuan orang dan apreasiasi yang datang bergelombang mengiringi kepergiannya menjadi bukti sahih kesimpulan umum yang bisa ditarik dari sang tokoh fenomenal. Kepergiannya pada pukul 18.45 tanggal 30 Desember 2009 telah memprasastikan kesan dan pesan yang jauh lebih positif untuk dikenang dan diteruskan.

Satu hal yang pasti adalah kepribadian unik itu muncul karena keberanian yang bak karang tegar diterjang gelombang. Nyalinya tidak ciut oleh berbagai ancaman Orba demi memperjuangkan Demokrasi dan HAM. Ketegarannya tidak luruh meski harus berjuang seorang diri. Dan, keberanian itu lahir dari integritas atau otonomi moral yang dimilikinya. Nilai otonom itu manjadikannya tetap bersuara tanpa takut, bersikap tanpa kompromi, mengambil keputusan dan pilihan tindakan tanpa dicemari tekanan dari luar diri, satu pribadi yang bebas dalam berekspresi dan menuangkan nilai-nilai kebenaran, kejujuran, dan kemanusiaan secara konkret. Nilai-nilai itulah yang diperjuangkan dan hendak dibagikannya kepada semua orang tanpa sumbatan dan batasan. Pada titik inilah benturan tetap terjadi.

Btw, sekali lagi, penghormatan dan apresiasilah yang akhirnya menjadi point of reference, titik konklusi pertautan pengalaman perjumpaan jutaan orang dengan Gus Dur. Di balik kekayaan khazanah eksistensi semasa hidupnya, terbersit simpul-simpul kecil esensi diri Gus Dur yang bisa ditarik masing-masing kita yang kemudian melahirkan aneka gelar personal maupun public. Bagiku Abdurrahman Wahid adalah seorang tokoh beritegritas moral level atas.

Untuk mencapai level itu, sebesar apa pun kontroversi politik yang pernah melibatkannya - presiden yang dimakzulkan - tidak akan melenyapkan image positifnya di mata rakyat. Integritas moralnya telah dimaknai dengan penghormatan rakyat sepanjang sejarah, tanpa perlu meninggalkan kontroversi berkepanjangan untuk pemberian gelar pahlawan, seperti mantan presiden lainnya. Ia tidak perlu strategi komunikasi pencitraan untuk menciptakan kesan positif. Keberanian dan integritas diri untuk berpihak pada yang benar telah menghadiakan berbagai gelar ketokohan. Itulah ketokohan sejati seorang yang berintegritas moral. Adios Gus Dur…..

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun