Mohon tunggu...
Marihot Simamora
Marihot Simamora Mohon Tunggu... -

Wiraswasta

Selanjutnya

Tutup

Film Pilihan

Cahaya dari Utara

29 Oktober 2018   16:17 Diperbarui: 29 Oktober 2018   17:01 401
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cuplikan trailer pra produksi film Cahaya dari Utara. (DOKPRI)

IDE ceritanya sangat brilian. Mengangkat kisah sejarah datangnya ajaran Islam pertama sekali ke Indonesia. Film ini akan dibuat bergenre kolosal. Memadukan adegan religius dan laga yang diwarnai konflik asmara.

Film ini akan menunjukkan visual peradaban titik 0 Islam di Nusantara. Lokasinya di Barus, sebuah kota tua di Provinsi Sumatera Utara. Meski puing-puing kemegahannya telah hilang, tapi sejarah mencatat bahwa dunia telah mengenal Barus sejak ribuan tahun silam.

Trailer pra produksinya telah digarap oleh Ricky Simanjuntak dari Pemuda Pesisir dan Metro26.com bersama Jufni Hutagalung dan Andrian Javanese dari AMG Jakarta. Tetapi menurut penulis, suguhan visualnya belum seapik yang dibayangkan. Mungkin karena biayanya masih terbatas.

Sekilas sinopsisnya memang sangat menarik. Alkisah, pada abad ke-17 Masehi. Para saudagar kaya asal negeri Arab, India dan China banyak melakukan ekspansi hingga ke Benua Asia. Mereka mencari rempah-rempah. Kala itu yang sangat populer adalah kapur barus atau kamper. Kedua komoditi itu sangat berharga untuk dijadikan ramuan pengawet mayat dan obat-obatan bagi para raja dan bangsawan.

Bandar Barus Raya di Pulau Andalas (Sumatera) adalah salah satu pusat perdagangannya. Karena kapur barus dan kamper dari daerah ini adalah yang terbaik di dunia. Itu sebabnya Barus dahulu sempat menjadi kota hebat.

Suatu malam adalah sebuah kapal berlayar menuju Barus. Di antara penumpangnya terdapat seorang syekh dan anaknya. Namun sebelum sampai ke pelabuhan, kapal itu pecah dihantam gelombang tinggi dan petir.

Syekh Sidik dan anaknya kemudian terdampar ke tepi pantai dan ditemukan oleh nelayan lokal. Mereka lalu membawanya ke rumah dan merawatnya.

Selain berdagang, para saudagar yang datang ke Barus juga mengemban misi menyebarkan agamanya.

Tak lama, informasi kedatangan orang asing itu sampai ke telinga seorang saudagar pribumi yang dzolim dan penyembah berhala. Namanya Oloan.

Oloan yang merasa sebagai penguasa daerah itu tak senang akan kehadiran dan aktifitas dakwah Syekh Sidik. Oloan berprasangka Syekh Sidik adalah sebuah ancaman karena ajarannya mulai diterima rakyat jelata.

Rabiah sendiri, istri Oloan, bahkan ikut terpanah akan kharisma Syekh Sidik. Dengan cara licik, ia berusaha merebut hati Syekh Sidik untuk mempersuntingnya.

Oloan lantas murka. Ia kemudian mengutus para pengawalnya untuk mencari keberadaan orang asing tersebut. Ia memerintahkan anak buahnya untuk membunuh syekh itu.

Berhasilkah rencana jahat Oloan?

Bagaimana nasib keluarga nelayan yang pertama sekali memeluk Islam?

Mendengar istilah film kolosal, jadi teringat akan dasyatnya film "300" yang dirilis tahun 2007 lalu. Salah satu film kolosal Hollywood tersukses di awal abad ini. Film perang fiksi historikal garapan Zack Snyder ini mengangkat kisah heroik para prajurit Spartan menghadapi ratusan ribu pasukan Persia pada abad ke-6 Masehi.

Ada lagi film Bollywood berjudul "Baahubali" produksi tahun 2015. Ceritanya mengkolaborasi kisah mitologi India dengan dongeng balas dendam, dimana kebaikan akhirnya mengalahkan kejahatan. Film berbiaya sekitar Rp525 miliar itu sukses menembus Box Office. Karya sutradara SS Rajamouli ini pun disejajarkan dengan film-film Hollywood terbaik yang pernah diproduksi.

Kedua film ini sukses merebut perhatian para penikmat cinema internasional dan meraup keuntungan besar.

Sementara itu film kolosal karya cineas anak negeri terbilang masih langka. Meski ada juga yang keren, seperti "Gendring Sriwijaya" (2013), "Drupadi" (2008), dan "Pendekar Tongkat Emas" (2014). Kemudian yang terbaru "Maipa Deapati & Datu Museng" (2018) dan yang sedang dinanti "Wiro Sableng".

Cost pembuatan film seperti ini memang mahal. Dibutuhkan teknologi cinematografi canggih untuk menciptakan efek-efek khusus yang diperlukan. Settingan suasana lokasi dan propertinya, hingga kostumnya pun mesti dirancang apik sesuai jaman dalam ceritanya. Semakin banyak pemain yang dilibatkan, akan semakin spektakuler pula filmnya.

"Cahaya dari Utara" sebenarnya memiliki kans besar untuk menjadi film kolosal terbaik karya anak negeri. Apalagi sekarang Indonesia telah menjadi negara yang penduduknya adalah penganut Islam terbesar di dunia. (*)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Film Selengkapnya
Lihat Film Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun