Saya telah membahas banyak mengenai mengapa Jokowi/Ahok tidak mungkin melontarkan isu SARA terhadap mereka sendiri di bagian II di atas. selain daripada itu saya ingin menambahkan beberapa hal.
Pertama sebagai korban kampanye SARA, Jokowi/Ahok akan menuai simpati masyarakat. Tetapi tidak ada bukti bahwa simpati akan membuat masyarakat mengubah hak pilihnya. Rakyat memilih berdasarkan berbagai alasan, tetapi simpati bukanlah salah satunya. Jumlah golput 37% dari total, daripada memilih berdasar simpati, lebih baik golput, tidak perlu repot2 datang ke TPS.
Kedua, tiap2 isu yang menerpa mempunyai dampak bagi Jokowi/Ahok, ada yang kecil ada yang berdampak besar. Walaupun Jokowi/Ahok sepertinya selau bersikap positif, tetapi dampak isu itu saya percaya ada, tetapi sulit diukur secara kuantitas. Kalau dibagi berdasar jenis isu dan dampaknya:
Isu Besarnya dampak
- isu agama (Ahok) kecil - sedang
- isu ras (Ahok) tidak ada - sangat kecil
- isu aliran politik tidak ada
- isu daerah (Jokowi) tidak ada
- isu komitment (Jokowi) tidak ada - kecil
- isu prestasi (Jokowi) tidak ada - sangat kecil
- isu pengalaman tidak ada - kecil
Yang dimaksud dampak adalah perubahan sikap pemilih karena pengaruh isu. Sedangkan besarnya dampak di atas adalah perkiraan saya yang hanya berdasar atas kira2 (jangan terlalu ditanggapi secara serius).
Jadi pandangan analis politik bahwa Jokowi/Ahok kebal isu (atau black campaign terhadap Jokowi/Ahok menguntungkan mereka atau seolah olah selalu backfire) saya rasa tidak benar, dasarnya adalah dampak isu sulit diukur kuantitasnya jadi analisa tsb patut dipertanyakan. Kalau kita melihat dari kaca mata tim Jokowi/Ahok, misalnya mereka mau melakukan black campaign ke arah mereka supaya Foke dituduh dan Jokowi dapat simpati, mereka harus lebih dulu mengukur apa dampak negatif black campaign, seberapa besar simpati dapat membawa suara pemilih, kedua hal itu sulit untuk diukur. Jadi kalau tidak bisa dianalisa, buat apa dilakukan, bisa jadi dampak negatifnya lebih banyak daripada simpati yang didapat, dan belum tentu simpatisan menjadi pemilih. Bila Bung GL mempunyai metode mengukur dampak black campaign tentu tuduhan anda akan lebih kuat, tapi kalau hanya berdasar asumsi bahwa black campaign menguntungkan Jokowi/Ahok tanpa anda bisa membuktikan bahwa asumsi anda benar, maka tuduhan anda tidak ada dasarnya.
Tuduhan kedua dari Bung GL didasarkan pada hasil survey exit poll LSI yang dapat anda temukan di http://www.lsi.or.id/riset/421/LSI_Quick_Count_DKI_JKT.
Apakah benar ada unsur pemilihan berdasar SARA di antara etnis Cina dan umat Protestan/Katolik?
Methodology Survey
- Survey diadakan di 410 TPS yang dipilih secara acak dan tersebar di seluruh DKI.
- di tiap TPS diambil secara random satu laki2 atau perempuan pada jam 8:00 dan satu perempuan atau laki2 pada jam 9:00, jadi ada dua respondent (laki2 dan perempuan) dari tiap TPS yang dipilih untuk mengisi formulir pertanyaan exit poll
- Jadi seharusnya ada 820 responden, tetapi karena ada yang tidak berhasil diwawancarai, jumlah responden akhir adalah 797 orang.
- Survey mempunyai margin error ± 3.5% dan tingkat kepercayaan 95%. Artinya bila misalnya 60% responden memilih jawaban A berarti bila diterapkan ke seluruh populasi, maka ada 95% kemungkinan bahwa antara 56.5% - 63.5% populasi memilih jawaban A.
- Jumlah responden berdasar agama/ras:
Betawi (36.6%) = 292
Jawa (35.1%) = 280
Cina (3.7%) = 29
Sunda (11.3%) = 90
Batak (2.6%) = 21
Minang (3.9%) = 31
Islam (89.2%) = 711
Protestan (5.6%) = 45
Katolik (3.3%) = 26
Jumlah total pemilih adalah 4.336.486 (lihat http://pilkada.tempo.co/).
Dalam suatu survey, tingkat kepercayaan dan margin error ditentukan oleh banyaknya sample yang diambil. Dengan referensi dari situs http://www.surveysystem.com/sscalc.htm#one , jumlah sample yang dipakai oleh LSI sudah cukup memadai untuk margin error dan tingkat kepercayaan ±3.5% dan 95%. Jadi sebagai contoh: bila 45.1% responden merasa Jokowi paling peduli rakyat berarti ada 95% kemungkinan bahwa ada 41.6% - 48.5% pemilih yang percaya bahwa Jokowi peduli rakyat. Hasil di atas adalah akurat untuk mewakili pemilih jakarta, tetapi bila pemilih kemudian dipecah pecah berdasar ras/agama maka margin error-nya juga akan berbeda. Misalnya untuk ras Cina, sampel yang berjumlah hanya 29 orang akan membuat error margin menjadi ±18.2%, jadi bila 100% responden Cina memilih Jokowi/Ahok, maka akan ada 95% kemungkinan bahwa antara 81.8% - 100% pemilih dari etnis Cina akan memilih jokowi/Ahok.
Hal lain yang harus diingat mengenai survey adalah korelasi bukan berarti sebab akibat. Bila anda melihat exit poll LSI bagian basis dukungan, maka anda akan menemukan korelasi sebagai berikut. Saya memakai basis dukungan gender (karena tidak banyak perbedaan) sebagai baseline (Foke 33%, Jokowi 42%, HNW 12%):
- Jokowi/Ahok didukung etnis Jawa (55%), cina(100%), umat Kristen/Katolik(77%), dan partai PDIP/Gerindra(79%)
- Foke/Nara didukung etnis Betawi(48%), Sunda/Priangan(43%), dan partai Golkar(45%) dan Demokrat(55%)
- HNW/Didik didukung partai PKS(49%)
Dari hasil di atas tentu kita akan cepat melihat basis dukungan Jokowi dan Foke. Tetapi apakah basis dukungan tersebut adalah berdasar etnisitas, agama, partai ataukah berdasar elektabilitas? Kita tidak dapat mengetahui itu secara pasti.
Dalam pemilihan pasti ada pemilih yang memilih berdasarkan alasan agama/etnis/partai, untuk mengetahui apakah etnis Cina dan umat Kristen/Katolik memilih berdasar etnisitas/agama ada beberapa hal yang bisa dilakukan.
1. Di hasil survey ada bagian "Popularitas dan Citra Calon". Mungkin bisa meminta LSI mengeluarkan criteria ini berdasarkan etnis/agama responden. Kalau hasilnya mempunyai sebaran yang sama maka kriteria mereka memilih dapat diketahui. Atau paling tidak bisa mengetahui berapa % yang memilih berdasar etnis/agama dan berapa persen yang berdasar popularitas/citra.
2. Menambah pertanyaan khusus buat etnis Cina dan umat Kristen/Katolik untuk mengetahui motivasi mereka memilih. Saya bisa buat satu pertanyaan: "Kalau Jokowi/Ahok diganti oleh Ruhut/Suhu Acai apakah kalian akan memilih pasangan ini?" Kalau etnis Cina dan umat Kristen/Katolik masih memilih Ruhut/Suhu Acai, maka saya bisa pastikan mereka memang memilih berdasar ras/agama bukan berdasar kemampuan calon.
Dari hasil exit poll bagian kriteria "Sosialisasi", "Citra Calon" dan "Evaluasi Incumbent" didapat hasil sbb:
Dari satu bulan terakhir kandidat mana yang paling sering dilihat/didengar/ditemui di:
jokowi Foke HNW
Koran 27.5% 48% 5.5%
TV 34% 46.5% 6.1%
Radio 18.2% 34.4% 6.1%
Iklan di jalan 18.9% 50.7% 17%
Muka dgn muka 12.8% 30.5% 10.5%
(sayang LSI tidak mempunyai data sosialisasi melalui internet)
Citra Calon
jokowi Foke HNW
Perhatian pd rakyat 45.1% 38.1% 10.4%
Paling mampu memimpin 38.1% 37% 10.1%
Paling dipercaya 40.7% 32.4% 13.5%
Paling bersih korupsi 38% 23.7% 17.6% (10.1% menjawab tidak tahu)
Rata2 40.4$ 32.8% 12.9
Perolehan Suara 42% 33% 12%
Evaluasi incumbent
Kinerja cukup/sangat puas 50.9%
kurang/tidak puas 47.9
Kondisi ekonomi tidak ada perubahan 41.5%
lebih buruk 24.5%
lebih baik 33.3%
Dari hasil di atas, bisa dilihat bahwa responden banyak mendapat informasi dari media tentang Foke lebih banyak daripada tentang Jokowi, tetapi banyaknya informasi yang diterima tidak membuat Foke mendapat citra yang positif atau lebih positif dibanding dengan Jokowi (dapat dilihat pada tabel "Citra Calon" di atas). Walaupun lebih dari 50% responden mengaku puas dengan kinerja foke dan hanya 24.5% yang merasa kondisi ekonomi lebih buruk di bawah Foke, tetapi faktor penentu pemilih adalah citra Jokowi. Hal ini terlihat dari tabel "Citra Calon", persentase responden yang merasa Jokowi punya citra baik sebanding dengan persentase perolehan suara Jokowi(saya ambil dari perolehan suara berdasar basis gender). Jadi di sini dapat disimpulkan bahwa hampir semua pemilih memilih berdasarkan citra Jokowi bukan berdasarkan alasan primordialisme seperti yang dituduhkan oleh Bung GL.