Suatu minggu disebuah gereja di Bandung, saya yang duduk sebagai jemaat tamu mengikuti dengan tertib ibadah pagi itu, dan jemaat juga kelihatan memenuhi seluruh gedung gereja, saya sungguh kagum melihat ketaatan jemaat disini. Seorang pendeta muda memulai khotbahnya dengan memperkenalkan dirinya terlebih dahulu, ternyata beliau pendeta tamu dari daerah lain dalam rangka pertukaran berkala pengkhotbah. Pendeta itu sangat santai dan bisa membuat jemaat lepas dari kekakuan. Ditengah-tengah khotbahnya pendeta itu mangatakan: “ saudara-saudara sekalian, saya yakin sekali semua saudara disini sangat rajin dan tekun beribadah, karena saudara semua ingin masuk sorga, bukankah begitu?” dan jemaat dengan serta merta manjawab: “betul pak pendeta”, ada yang bilang “iya benar”, dan pendeta itu juga melanjutkan: “begitu juga bapak ibu penatua, semua juga ingin masuk sorga, bukankah begitu?”, kembali jemaat danpara penatua dengan riang menjawab setuju. Pendeta itu tersenyum dan mengatakan lagi: “ sekarang siapa yang mau masuk sorga coba acungkan tangannya” kembali jemaat semuanya mengacungkan tangan. Tiba-tiba pendeta itu bertanya dengan suara yang lebih keras: “ sekarang saya mau tanya, siapa yang ingin berangkat kesorga sore ini, coba acungkan tangannya”, gereja itu menjadi hening, para jemaat saling berpandangan, dan tidak satupun terlihat tangan yang teracung.
Sesaat kemudia pendeta itu tertawa, dan berkata: “ saya juga tidak, nah itulah kita, semua ingin masuk ke sorga, tapi kalau berangkat maunya kloter terakhir saja”, sambil terus tersenyum-senyum, dan jemaat cuma bisa meringis malu.
Kisah ini mungkin terjadi disebuah gereja, namun tidak tertutup kemungkinan terjadi juga hal yang hampir sama pada kepercayaan yang lainnya, dan ini menggambarkan betapa banyak diantara kita yang terjebak dalam hipokrasi walau bukan dalam pengertian negatif, banyak umat yang takut absen dari ibadah bukan karena takut kalau nantiTuhan kecarian dia,tetapi lebih takut kalau nanti dicari dan ditanya oleh sesama jemaat, beribadah bukan mencari pembenaran Tuhan tetapi lebih kepada pembenaran manusia lainnya, agar dianggap orang yang alim, taat, saleh, tapi bukankah peraturan atau hukum juga merupakan kesepakatan mayoritas masyarakat yang diberlakukan untuk semua? Jadi mungkinsituasi yang mewabah seperti ini lebih tepat dikatakan “hipokrasi berjamaah”, sehingga mungkin dapat dibenarkan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H