Orang cenderung akan mengeluarkan semua yang diketahuinya tentang keburukan seseorang ketika saling memarahi. Apalagi jika keburukan tersebut dibumbui amarah dan perandaian serta dibalut dengan kata-kata yang jika dilontarkan hanya akan menyisakan rasa sakit pihak lawan bicara.
Ah bicara? Mungkin lebih tepat jika 'bicara' diganti dengan 'teriak meneriaki'. Untuk sesaat sangat enak melepaskan api amarah, namun percayalah hanya akan ada rasa sesal menyertainya kemudian. Apalagi jika yang diajak bertikai, yang sedang dibenci saat ini, adalah orang yang dulu paling dicintai.
Pertikaian, hal yang sangat wajar terjadi dalam sebuah hubungan kerumahtanggaan. Tinggal bagaimana kedua anak adam tersebut menyikapinya. Dibiarkan berlarut, dimaafkan, atau disudahi. Eh, disudahi yang bagaimana ini?
Inilah yang sedang dihadapi nicole dan charles. Mereka memutuskan untuk berpisah, dengan tenang tanpa harus mendatangi konsultan pernikahan lagi. Berpisah baik-baik, mengingat keduanya sudah memiliki seorang putra bernama Henry. Namanya juga plot film, ga seru dong kalo gaada konflik. Konflik dimulai saat Nicole menghubungi pengacara kondang. Mau tidak mau Charles juga harus mengikutinya permainan Nicole dengan menyewa pengacara tandingan.
Alhasil proses perceraian yang dijalani justru semakin membumbui masalah yang ada. Ada momen absurd dimana terdapat tahap pengawasan orangtua terhadap anaknya. Saat Charles dan Henry harus makan malam sambil dipantau seorang dari pengadilan.
Anway, apa yang terjadi terjadilah. Adegan demi adegan hingga kira-kira setahun kemudian Charles mengunjungi Henry, yang tentunya berada di rumah Nicole. Henry sedang belajar membaca sebuah surat kala itu. Lebih tepatnya tulisan berisi hal-hal tentang Charles yang ditulis Nicole saat sesi mediasi zaman dahulu kala. Henry belum terlalu lancar membacanya hingga dioper ke Charles. Charles lanjut membaca hingga berhenti di sebuah kalimat. Ia berhenti tak kuasa menahan tangis. Lalu lanjut membaca sambil di belakangnya ada Nicole yang menangis dalam diam.
Tangis sesal, itukah ia? Entahlah
Entahlah, setahun belakangan, terkadang saya suka main game matematika kecil-kecilan, 2048, tahu kan?. Stacking angka 2 dan 4 sapai sejumlah 2048. Game bodoh sebenarnya, namun sedikit saran jika ingin memainkannya, coba taruh tumpukan paling besar di pojokan, entah pojok kanan atas-kanan bawah maupun kiri atas kiri bawah. Biasanya sih saya akan menumpuknya di bagian kiri bawah. Just like this.
Tantangan game ini terletak pada konsentrasi menjumlahkan tiles sambil menjaga agar tiles paling besar tetap berada di pojok.
Apa yang bisa diusahakan adalah menciptakan redo button imajiner, yaitu memaafkan, melapangkan dada, mengingat kembali kebaikan kebaikan pasangan. Merenungi kembali tentang hal-hal yang membuatmu jatuh hati hingga melakukan penyerahan jiwa raga dalam naungan bernama pernikahan. Dan kembali larut dalam permainan hidup sampai sejauh mungkin bisa bertahan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H