Mohon tunggu...
Zika Zabila
Zika Zabila Mohon Tunggu... Mahasiswa - mahasiswa

memotret

Selanjutnya

Tutup

Politik

Politikus: Pemimpin atau Selebriti?

2 Oktober 2024   09:00 Diperbarui: 2 Oktober 2024   09:42 60
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

"Siapa yang lebih kita butuhkan, pemimpin yang bijaksana atau sosok populer yang menghibur? Di era digital yang serba cepat, garis antara politisi dan selebriti semakin kabur. Politisi, yang semestinya menjadi pilar demokrasi, kini kerap kali lebih mirip bintang sinetron yang bersaing memperebutkan sorotan publik.

Era digital telah mengubah lanskap politik secara drastis. Media sosial yang begitu masif telah memberikan panggung bagi para politisi untuk membangun citra pribadi yang menarik dan menjangkau audiens yang lebih luas. Namun, di balik popularitas yang instan, muncul pertanyaan mendasar: apakah kita lebih membutuhkan pemimpin yang visioner atau selebriti yang menghibur? Apakah popularitas semata cukup untuk memimpin sebuah bangsa, atau kita membutuhkan lebih dari sekadar senyum menawan?"

Dari Pemimpin ke Selebriti

Dulu, seorang politisi dikenal karena kebijakannya, integritasnya, dan kemampuannya dalam memimpin. Namun, seiring berjalannya waktu, popularitas dan kharisma mulai menjadi aset yang tak kalah penting. Media sosial telah mengubah cara kita mengonsumsi informasi politik. Berita, opini, dan kampanye politik kini tersebar dengan cepat melalui platform digital. Politisi yang pandai memanfaatkan media sosial, dengan konten yang menarik dan visual yang menawan, lebih mudah menarik perhatian publik.

Dampak Media Sosial terhadap Kualitas Kepemimpinan

Namun, popularitas yang didapat melalui media sosial tidak selalu berbanding lurus dengan kualitas kepemimpinan. Algoritma media sosial yang dirancang untuk memaksimalkan keterlibatan pengguna seringkali justru memicu polarisasi dan menghambat dialog konstruktif. Isu-isu kompleks seringkali disederhanakan menjadi narasi yang hitam-putih, dan para politisi pun terdorong untuk mengambil sikap yang populis demi meraih dukungan.

Selain itu, dengan begitu mudahnya menyebarkan informasi, termasuk informasi yang tidak akurat atau bahkan hoaks, masyarakat semakin sulit untuk menilai kapasitas seorang pemimpin secara objektif. Akibatnya, keputusan politik seringkali lebih didorong oleh pertimbangan popularitas daripada kepentingan jangka panjang negara.

 

 
Strategi Kampanye Modern: Mencari Popularitas atau Solusi?

Strategi kampanye politik juga mengalami transformasi. Jika dulu kampanye lebih fokus pada isu-isu substantif dan visi masa depan, kini kampanye lebih didominasi oleh personal branding dan serangan terhadap lawan politik. Politisi semakin bergantung pada konsultan politik untuk mengelola citra mereka di media sosial, yang dapat mengurangi otentisitas dan kedekatan dengan masyarakat.

Dilema yang Dihadapi Demokrasi

Fenomena politisi-selebriti ini menimbulkan dilema bagi demokrasi. Di satu sisi, media sosial telah membuka ruang bagi partisipasi politik yang lebih luas. Namun, di sisi lain, media sosial juga dapat menjadi alat untuk memanipulasi opini publik dan melemahkan institusi demokrasi.

Apa yang Harus Dilakukan?

Untuk mengatasi dilema ini, diperlukan upaya bersama dari berbagai pihak:

  • Meningkatkan literasi digital: Masyarakat perlu memiliki kemampuan untuk mengkritisi informasi yang mereka dapatkan di media sosial.
  • Menguatkan peran media mainstream: Media mainstream perlu berperan lebih aktif dalam melakukan verifikasi fakta dan menyajikan informasi yang akurat.
  • Reformasi sistem politik: Sistem politik perlu diperbaiki agar lebih responsif terhadap kebutuhan masyarakat dan mengurangi pengaruh uang dalam politik.
  • Meningkatkan kualitas pendidikan: Pendidikan politik yang berkualitas sangat penting untuk membentuk warga negara yang kritis dan berpartisipasi.

Kesimpulan

Fenomena politisi-selebriti adalah tantangan serius bagi demokrasi. Kita perlu menyadari bahwa popularitas semata tidak cukup untuk menjadi pemimpin yang baik. Masyarakat harus lebih kritis dalam memilih pemimpin dan media harus lebih bertanggung jawab dalam menyajikan informasi. Hanya dengan demikian, kita dapat membangun demokrasi yang lebih kuat dan berkelanjutan

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun