Peluncuran Kurikulum Merdeka di Indonesia telah membuka lembaran baru dalam sistem pendidikan nasional. Kurikulum ini dirancang untuk memberikan kebebasan bagi sekolah dan guru dalam merancang pembelajaran yang sesuai dengan karakter dan kebutuha
n siswa. Sejak penerapannya, banyak pihak mulai merasakan dampak langsung dari perubahan ini, baik dalam metode pengajaran, keterlibatan siswa, maupun evaluasi. Namun, di tengah gegap gempita "Merdeka Belajar," muncul pertanyaan: apakah benar kebebasan ini memberikan ruang bagi semua pihak untuk berkembang, atau justru menjerat dalam paradigma yang belum siap diterapkan di setiap sudut negeri?
Jika kita membandingkan penerapan kurikulum di Finlandia, yang juga menekankan pada kemandirian dan fleksibilitas dalam pembelajaran, ada satu hal yang mendasar membedakan penerapan Kurikulum Merdeka di Indonesia. Di Finlandia, para guru dipersiapkan dengan baik melalui pelatihan intensif yang menjamin mereka mampu mengimplementasikan kurikulum dengan optimal.Â
Sebaliknya, di Indonesia, masih banyak guru yang merasa terbebani karena kurangnya pelatihan yang memadai dan infrastruktur yang mendukung. Kesenjangan ini memperlihatkan bahwa kebebasan dalam pendidikan tidak cukup tanpa adanya dukungan yang kuat terhadap sumber daya pendidik.
Bayangkan seorang guru di daerah terpencil di Indonesia. Di tengah keterbatasan fasilitas, ia dituntut untuk menerapkan Kurikulum Merdeka yang menekankan pada kemandirian siswa. Sayangnya, akses ke materi pembelajaran yang berkualitas, pelatihan pedagogis, dan teknologi modern masih menjadi impian bagi banyak guru di daerah tersebut.Â
Guru tersebut mungkin saja ingin mengimplementasikan metode pembelajaran yang inovatif, namun tanpa dukungan nyata, ia akan kesulitan dalam memberikan pendidikan yang merdeka secara sesungguhnya bagi para siswanya.
Contoh yang konkret bisa dilihat di beberapa sekolah unggulan di kota-kota besar yang telah berhasil menerapkan Kurikulum Merdeka. Di sana, siswa diajak untuk berpikir kritis, berkolaborasi, dan mengeksplorasi kreativitas mereka.Â
Di sekolah-sekolah tersebut, hasil pembelajaran tidak lagi hanya diukur berdasarkan angka, tetapi juga melalui keterampilan yang dikembangkan siswa selama proses belajar. Ini menunjukkan potensi besar yang bisa dicapai ketika kurikulum ini diterapkan dengan baik. Namun, apakah pencapaian ini berlaku untuk seluruh Indonesia? Tentu tidak.
Secara pribadi, saya merasa bahwa Kurikulum Merdeka masih jauh dari kata sempurna. Meskipun niatnya baik, implementasinya tidak merata dan seringkali membebani para pendidik. Guru-guru di daerah terpencil, misalnya, kerap kali merasa terisolasi karena mereka tidak mendapatkan pelatihan yang sama dengan rekan-rekan mereka di perkotaan.Â
Kurikulum ini mungkin baik dalam teori, tetapi realitanya masih banyak tantangan yang harus diatasi sebelum kebebasan belajar ini bisa dirasakan oleh semua lapisan masyarakat.
Jika diibaratkan, Kurikulum Merdeka bagaikan kapal besar yang ingin berlayar ke lautan kebebasan pendidikan. Namun, kapal ini masih membawa beban-beban berat yang membuatnya sulit bergerak cepat dan efisien. Beban itu adalah kesenjangan infrastruktur, pelatihan yang tidak merata, dan perbedaan akses di berbagai daerah. Tanpa mengurangi beban ini, kapal pendidikan kita mungkin akan terombang-ambing di tengah samudra yang penuh tantangan.