Percakapan berakhir.
Tarzie mengawali bab terakhir di bukunya dengan ini: "Bagi Jenderal Soeharto jalannya tak mudah. Menjalankan pemerintahan -yang buruk sekalipun- adalah jauh lebih sulit ketimbang merebut kekuasaan." Selebihnya Tarzie mengulas pembentukan kabinet yang baru, lepas dari menteri-menteri yang pro-Soekarno dan bebas PKI. Tampaknya Tarzie berulang kali bertanya mengenai berbagai hal kepada Soeharto sehingga Tarzie paham gaya Soeharto. "Belum" adalah kosa kata yang sering Tarzie dengar sebagai jawaban. Kata lain adalah "Alon-alon asal kelakon." Dari percakapan itu, saya yakin Tarzie bertemu Soeharto ketika berada di Jakarta (sebab di pendahuluan Tarzie mencantumkan "London, Agustus 1966".
Di luar kisah Supersemar, "The Fall of Sukarno" dapat menjadi catatan tersendiri mengenai pembantaian mereka yang dituding sebagai anggota PKI, simpatisan PKI dan lain sebagainya. Sejumlah data disodorkan oleh Tarzie. Ia mengutip perhitungan seorang jurnalis asing mengenai jumlah korban pembunuhan yang terjadi dalam lima bulan di sejumlah wilayah di Indonesia. Tarzie menulis peristiwa 65 menyebabkan kehilangan nyawa jauh lebih banyak daripada perang Vietnam selama lima tahun. Sebagai wartawan, saya menilai tulisan hasil peliputan Tarzie Vittachi sangat menarik untuk menambah referensi buku-buku seputar kejatuhan Soekarno.
Dari pilihan kata yang membutuhkan penjelasan, Tarzie menunjukkan kelasnya sebagai seorang yang banyak membaca dan paham politik banyak negara. Tarzie berhasil menghadirkan Soekarno yang dikenalnya, yang mungkin bisa mengubah pendapat banyak pemuja Soekarno. Tarzie sukses menuangkan babak-babak drama '65 menjadi satu lakon yang runtut dan terlihat masuk akal. Menariknya, tak ada konspirasi CIA dalam buku ini. Bisa jadi karena belum ada pengungkapan di tahun 1967. Apakah tanpa CIA akan membuat buku ini kurang seru? Mari kita baca....[]
Mengapa buku ini perlu untuk dokumentasi sejarah bangsa Indonesia?Â
- Buku ini terbit tahun 1967 di London. Buku ini adalah generasi pertama yang menulis tentang G30S dan Supersemar. Buku ini "murni", masih terbebas dari berbagai teori yang datang belakangan pasca '66.
- Terdapat fakta baru. Benarkah Soeharto masuk dalam daftar penculikan? Dari mana Tarzie memperoleh informasi itu?
- Penulisnya adalah wartawan kredibel dengan reputasi yang baik. Tarzie adalah peraih Ramon Magsaysay pada 1959. Setelah berhenti menjadi wartawan, ia bekerja di UNICEF. Tarzie berada di Jakarta, tempat peristiwa berlangsung. Wartawan Amarzan Loebis mengenal Tarzie ( saya sudah konfirmasi ke ybs).Â
- Saya sudah menanyakan kepada penggemar sejarah (sejarawan Aswi Marwan Adam, JJ Rizal, Fadli Zon, Sulaiman Harahap) mengenai buku ini dan mereka belum pernah mendengar judul buku ini apalagi pengarangnya.
- Anak Tarzie sudah memberikan izin penerbitan secara tertulis kepada saya sejak 2013.
- Nama penerbit di London sudah tidak bisa ditemukan (tidak ada lagi). Informasi berasal dari penelusuran teman saya wartawan Kompas TV ketika berada di Inggris. Di mana saya menemukan buku Tarzie? Di lemari buku Oma saya yang bernama Dien Mandagie (RIP), seorang guru sosiologi di Makassar. Tahun 1967, oma sedang sekolah S2 di Inggris. Proses penerjemahan dilakukan oleh Yustini Jink, teman saya.Â
Buku ini perlu dibaca oleh:Â
- Para wartawan dan pemerhati pers
Penulis buku ini wartawan dan memuat banyak informasi tentang media massa di masa itu. Buku ini dapat menjadi rujukan penulisan sejarah pers di Indonesia. - Para pendukung Soeharto
Fakta baru mengenai rencana penculikan Soeharto yang disebut Tarzie mungkin bisa menarik minat para Soehartois. Jika selama ini Soeharto dikait-kaitkan dalam G30S, dalam buku ini nama Soeharto bersih. - Para Soekarnois
Beberapa sisi Soekarno yang diulas Tarzie boleh jadi menarik bagi para pemuja Soekarno. Buku ini cukup lugas mendeskripsikan Soekarno dari kedua sisi, positif dan negatif. - Pendukung Keluarga SBY dan Bu Ani Yudhoyono
Sarwo Edhie diceritakan secara epic, jadi tak ada masalah. - Korban '65
Angka yang disebutkan dapat memerahkan kuping TNI. Bagi korban, kehadiran buku ini bisa menjadi "alat bukti" guna mendukung fakta-fakta lain yang sudah ada. Para korban termasuk para petani yang masuk BTI karena mengira itu singkatan dari "Barisan Tani Islam". - TNI dan NU
Keduanya disebut-sebut dalam buku ini, masing-masing sebagai korban sekaligus pelaku. Namun tidak ada tulisan Tarzie yang provokatif. Tarzie menulis di bagian akhir buku ini, "Orang yang mengenal dan menyukai Indonesia dan rakyatnya sulit untuk percaya bahwa kebrutalan semacam itu dan dalam proporsi yang demikian luas, dapat terjadi di kepulauan yang indah ini."
#sejarah65
#jurnalis
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H