Mohon tunggu...
Monique Rijkers
Monique Rijkers Mohon Tunggu... profesional -

only by His grace, only for His glory| Founder Hadassah of Indonesia |Inisiator Tolerance Film Festival |Freelance Journalist |Ghostwriter |Traveler

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Antara Pin Lenin dari Turkmenistan, Komunis Tur di Praha dan Tugu Tani di Jakarta

11 Mei 2016   09:09 Diperbarui: 11 Mei 2016   09:43 1095
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pin Eks Uni Soviet Dari Turkmenistan. Foto Monique Rijkers

Foto di atas bukanlah foto mendukung paham komunisme atau Leninisme yang hingga sekarang masih dilarang di Indonesia. Foto di atas adalah koleksi pin yang saya beli di Ashgabat, ibukota Turkmenistan pada tahun 2011. Sebagai bekas negara pecahan Uni Soviet, Turkmenistan tentu tidak asing dengan komunisme. Pin yang saya beli dengan harga sekitar 1-2 USD itu dijual di toko sovenir di hotel tempat kami tinggal selama dua hari.

 Saya bertanya kepada penjual, “Mengapa pin-pin itu dijual?” Rupanya banyak turis dari negara-negara non komunis yang tertarik membeli sisa keruntuhan komunisme sebagai bagian dari sejarah dunia. Pin yang saya pilih saat itu, memang sengaja yang bergambar Lenin atau palu arit  dan saya menganggapnya bukan sebagai bentuk ketertarikan pada komunisme namun sekadar cendera mata dari eks Uni Soviet.

 Salah satu koleksi yang menurut saya langka adalah pin memperingati hari lahir Lenin yang ke-100 pada 1870-1970 dan pin itu masih bisa ditemukan di tahun 2011. Toh kapan lagi saya bisa ke Turkmenistan, negara yang sangat tertutup dan xenophobia ini?

fullsizerender-61-57328fc7f3967346048b4569.jpg
fullsizerender-61-57328fc7f3967346048b4569.jpg
Tur Era Komunis di Praha. Foto Monique Rijkers

Lalu November 2015, di Praha, ibu kota Republik Ceko malah tersedia tur era komunis. Sayang kami tak sempat mengikuti tur era komunis ini dan memilih Jewish Tour. Salah satu lokasi yang menjadi bagian tur era komunis adalah ke Jan Palach Square yang sempat kami datangi. Jan Palach adalah mahasiswa yang membakar dirinya sebagai aksi protes saat Uni Soviet masuk ke Cekoslovakia (saat itu). Lokasi ia membakar diri berada di Wenceslas Square, sebuah kawasan bisnis di tengah kota namun untuk mengenangnya sebuah lokasi di depan Gedung Kesenian Praha diberi nama Jan Palach Square.

fullsizerender-60-57329104b67e61c31122c59c.jpg
fullsizerender-60-57329104b67e61c31122c59c.jpg
Jan Palach Square, Praha. Foto Gerry Rijkers

Jadi, jika di negara eks komunis saja bisa menjual pin Lenin untuk turis dan memasukkan tur era komunis guna menarik turis asing, bukankah sekarang ini Indonesia kebablasan paranoid? Apakah si penjual pin di Turkmenistan dapat dituduh menyebarluaskan ajaran Lenin? Atau tour guide di Praha ditangkap polisi karena mengajarkan tentang kejayaan era komunisme? Justru semuanya itu bisa terjadi di Indonesia. 

Boro-boro bikin tur mengenang Peristiwa ‘65 di Indonesia, penjual kaos bergambar palu dan arit kini bisa ditangkap. Mengapa masyarakat Indonesia begitu alergi terhadap isu komunisme dan takut PKI hidup lagi? Bukankah tidak ada ancaman yang nyata jika dibandingkan dengan radikalisme agama yang terang-terangan berbahaya dan sudah menelan korban jiwa dan materi?

Bagaimana seharusnya bangsa Indonesia menyikapi isu komunisme saat ini? Pertanyaan ini mengemuka setelah berulang-ulang terjadi aksi menggeruduk diskusi soal Peristiwa ’65 atau membubarkan (hanya sekadar) pemutaran film terkait Peristiwa ’65. Berbagai kelompok dengan beragam nama tampil menolak kembalinya komunisme di Indonesia. 

Bahkan awal Mei lalu, pimpinan DPR sempat menerima audiensi dengan Tim Anti Komunis Indonesia. Kecanggungan generasi tua yang mengalami masa-masa kelam 1965 bisa menjadi alasan bagi mereka dan keluarga untuk diam, tak bersuara menghadapi polemik Peristiwa ’65. Bayangkan, meski PKI dahulu termasuk partai yang berhasil meraup suara pemilih dan meraih kursi di DPR pada Pemilu 1955, toh hampir tidak ada yang terang-terangan mengaku sebagai pendukung PKI atau keluarga mantan anggota DPR mewakili PKI, misalnya.

Padahal hasil Pemilu 1955, PKI mendapat 32 kursi DPR atau berada di urutan keempat.  Sedangkan untuk kursi Konstituante, PKI berhasil mendapat 80 kursi.

Pembahasan soal Peristiwa ’65 kembali mengemuka pasca Reformasi yang sudah mencapai tahun ke-18. Pemerintahan yang silih berganti tampak gagal membuka ruang rekonsiliasi dan penuntasan kasus secara hukum. Gus Dur menjadi satu-satunya perbedaan karena ia ingin mencabut larangan penyebaran ajaran komunisme. 

Mungkin Gus Dur menganggap masyarakat Indonesia sudah melek demokrasi sehingga tak lagi mujarab dishir oleh romantisme usang Blok Timur. Bagi mereka yang menjadi korban, beberapa di antaranya masih hidup dan generasi muda yang berpihak pada korban tentu cuma kesampaian berdiskusi, menonton film dan melanjutkan kehidupan dengan damai tanpa intimidasi dan teror. 

Kini, alih-alih memberikan keadilan terhadap kejahatan atas kemanusiaan yang terjadi pada tahun 1965, kemarin Presiden Joko Widodo malah menginstruksikan Kepolisian Indonesia untuk menindak tegas siapa pun yang mencoba membangkitkan kembali paham komunis. Kapolri Badrodin Haiti mengatakan, Presiden juga menginstruksikan untuk memeriksa masyarakat yang menggunakan atribut atau menjalankan aktivitas yang menunjukkan identitas Partai Komunis Indonesia (PKI). 

Saat pemilu presiden lalu, Joko Widodo sendiri merasakan betapa gawatnya isu yang menimpa dirinya ketika dihajar dengan isu komunis. Tentu agak mengherankan kalau sekarang instruksi di atas malah  keluar dari “korban” yang pernah merasakan pahitnya tuduhan tersebut. Pelan-pelan pupus kedewasaan dan kewarasan pada pemerintahan sekarang ini. 

Mungkin tak lama lagi kita akan mendengar ada kelompok masyarakat yang meminta Patung (Tugu) Tani di kawasan Gambir, Jakarta Pusat dirobohkan karena patung itu adalah karya seniman Uni Soviet yang komunis. Patung tersebut bisa dikategorikan berbahaya karena inspirasi membuat patung tersebut jelas-jelas muncul setelah Presiden Sukarno kembali dari Uni Soviet.  

Jadi sebelum paham komunisme bangkit karena saban hari melihat Patung (Tugu) Tani, sebaiknya patung itu diselubungi kain penutup saja (saya berharap pembaca memahami pernyataan saya ini). Semoga akal sehat masih ada. []

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun