Mohon tunggu...
Monique Rijkers
Monique Rijkers Mohon Tunggu... profesional -

only by His grace, only for His glory| Founder Hadassah of Indonesia |Inisiator Tolerance Film Festival |Freelance Journalist |Ghostwriter |Traveler

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Hikmah Holocaust untuk Peristiwa 65

4 Mei 2016   08:43 Diperbarui: 4 Mei 2016   11:53 904
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

fullsizerender-56-5729518c3fafbdb20f473762.jpg
fullsizerender-56-5729518c3fafbdb20f473762.jpg
Jewish Museum di Munich, Jerman. Foto: Gerry Rijkers

Contoh yang saya paparkan di sini hanya contoh pertama dan terakhir (yang saya ketahui). Jadi bisa dibayangkan jika pelaku Holocaust yang berakhir di tahun 1945 saja masih diburu hingga saat ini dan proses hukum terus berlangsung, permintaan yang sama terhadap pelaku ’65 tentu bukan sebuah hal yang mustahil. Kembalinya memang hanya pada niat. Ada yang bilang, “Waktu akan mengobati semua luka”, ada juga yang bilang, “Waktu akan membantu kita melupakan”. Itu semua betul bisa terjadi, bisa dilakukan tetapi saya kok justru lebih memilih proses yang ditempuh pasca Holocaust. Diawali dengan proses hukum bagi pelaku, lalu pengakuan atas tragedi kemanusiaan dan diakhiri dengan permintaan maaf, syukur-syukur jika ada kompensasi seperti yang diberikan oleh Norwegia. Ketiga tahap ini bisa diterapkan pula di Indonesia agar rekonsiliasi menyeluruh terjadi.

Selain ketiga langkah tersebut, satu hal yang sangat saya kagumi terkait mengenang Holocaust adalah upaya merawat ingat. Semua hal yang menyangkut Holocaust didokumentasikan dengan baik dan disebarluaskan untuk mencegah pembunuhan rasial (genosida) ini terjadi kembali. Para penyintas (survivors) Holocaust, keluarga korban serta lembaga-lembaga independen termasuk negara, melawan lupa kejadian Holocaust dengan merawat ingatan pada peristiwa tersebut melalui dokumentasi kesaksian (audio), rekaman testimonial (visual), pendataan dokumen serta menyimpan seluruh benda-benda memorabilia terkait Holocaust.

Memorabilia menjadi kekayaan sejarah museum-museum Holocaust di seluruh dunia. Pendidikan tentang Holocaust diajarkan kepada generasi muda agar pembunuhan rasial (genosida) tidak terjadi lagi sekarang dan di masa depan. Berbagai tur Yahudi (Jewish Tour) bisa ditemui di negara-negara dengan populasi Yahudi serta study tour terkait Holocaust bisa dilakukan di kamp konsentrasi di berbagai negara. Diskusi-diskusi digelar di setiap kampus, museum dan berbagai tempat demi menggali semua sisi yang berkaitan tentang Holocaust. Tujuannya agar tidak ada yang melupakan Holocaust. Sebaliknya di Indonesia, semua diskusi diberangus. Ribuan buku terkait Holocaust diterbitkan sementara di Indonesia buku-buku ’65 dilarang terbit.

Jika demi mencegah Holocaust terulang kembali, orang-orang memberikan dokumentasi video mereka untuk disimpan, produksi film dokumenter tentang Holocaust saban tahun pasti ada, di Indonesia film tentang ’65 yang merupakan karya seni justru dicegah penayangannya. Demi mengenang korban Holocaust, berbagai film dokumenter atau rekaman sesungguhnya dibuat dan dilestarikan. Bahkan Steven Spielberg mendanai Jewish Film Archive yang menyimpan dan membuatnya dapat diakses secara online agar seluruh dunia dapat menonton hampir 16 ribu judul terdiri dari 9000 film, sisanya video dan format lain. Film tentang Holocaust, kehidupan masyarakat Yahudi pada berbagai kurun waktu hingga tradisi Yahudi semua diunggah menjadi sinema virtual yang bisa dilihat orang banyak. Upaya Spielberg ini merupakan bagian dari merawat ingat agar peristiwa Holocaust tidak dilupakan.

Memaafkan, bisa tapi melupakan jangan berlaku dalam konteks Holocaust karena dengan mengingat tragedi kemanusian di masa modern itu, membuat kita menghargai manusia dan kehidupan.[]

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun