Mohon tunggu...
Monique Rijkers
Monique Rijkers Mohon Tunggu... profesional -

only by His grace, only for His glory| Founder Hadassah of Indonesia |Inisiator Tolerance Film Festival |Freelance Journalist |Ghostwriter |Traveler

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

Henk Rondonuwu, Wartawan yang Dipenjara Oleh Belanda

4 Mei 2016   04:43 Diperbarui: 4 Mei 2016   04:49 628
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Mengenang Henk Rondonuwu: guru, wartawan, politisi dan seniman. 

Opa Henk bersama anak-anak (kiri ke kanan): Rexy, Venny, Ronny Rondonuwu. Foto: pribadi

Dalam rangka Hari Kebebasan Pers Sedunia 3 Mei 2016, saya ingin menulis tentang Opa saya, ayah papi saya Ronny Rondonuwu yang bernama Henk Rondonuwu.

Opa Henk berlatar belakang sebagai guru di Holland Ambonsche School (HIS). Julius Pour dalam biografi AA. Baramuli menulis, "Naldi (panggilan Baramuli) dididik oleh guru nasionalis bernama Henk Rondonuwu, yang selalu memberi nasehat sekaligus mengisi pikiran Naldi bahwa yang harus dilawan adalah penindasan kolonial." Karena berprofesi sebagai guru inilah Opa Henk berkenalan dan bersahabat dengan Alwi Abdul Jalil Habibie, ayah BJ.Habibie.

Dari profesi guru, Opa Henk tanpa sengaja masuk ke dunia jurnalistik. Opa Henk menerbitkan “Pedoman” pada 1 Maret 1947 bersama Soegardo dalam bentuk majalah bulanan. "Pedoman" digagas sebagai pendukung Republik melawan Belanda. Akibat isi "Pedoman", Soegardo dan Opa Henk kerap dipanggil Dinas Rahasia Polisi Belanda hingga akhirnya Soegardo diusir dari Makassar. Pada 17 Agustus 1948 Opa Henk mendirikan “Pedoman Harian” yang terbit dalam bentuk stensilan. Pemberitaannya mengenai kegiatan Republik Indonesia dan berita dari Yogyakarta sehingga Belanda mengeluarkan larangan membacanya (mengutip dari “Menolak Kolonialisme. Menonton Film Barat di Kota Makassar Tahun 1950-an”, penulis Ilham Ambo Tang, arsip Unhas).

koran-pedoman-rakyat-5728ff8065afbd8b0d81fb83.jpeg
koran-pedoman-rakyat-5728ff8065afbd8b0d81fb83.jpeg
Tampilan koran Pedoman Rakyat. Foto: Suharman Musa. 

Namun ada isi koran Pedoman Harian” yang dianggap menghina Belanda sehingga Opa Henk dipenjara selama 3 bulan. Keluar dari penjara, pada tahun 1949, Henk Rondonuwu kemudian mendirikan surat kabar “Pedoman Nusantara” dan “Pedoman Wirawan”. Pada tahun 1950 baru berubah menjadi “Pedoman Rakyat” yang bertahan hingga tahun 2007. Koran "Pedoman Rakyat" termasuk dalam daftar koran tertua di Indonesia yang mampu bertahan hingga lebih dari 40 tahun pada masanya. Slogan koran “Pedoman Rakyat” adalah “Suara Merdeka Untuk Keadilan Sosial”.


Sebagai wartawan, karier Opa Henk membawanya ke Burma sebagai utusan Presiden Soekarno bersama 17 orang lainnya. Ada 4 wartawan selain Opa Henk yang menjalankan misi dari Pemerintah Indonesia di tahun 1952. Tiga wartawan lainnya adalah Rosihan Anwar, wartawan “Pedoman”, Dajat Hardjakusumah, wartawan “Antara” di Bandung dan Mochtar Lubis, wartawan “Indonesia Raya” (wah Opa Henk terpilih untuk pergi bersama dengan nama-nama besar dunia jurnalistik di Indonesia). 

Opa Henk juga sempat menjabat sebagai Ketua Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) di Makassar, Sulawesi Selatan. Salah satu tulisannya berjudul, "Di manakah Letak Batas-batas Rendabilitet Pers Daerah? pada 26 Juli 1955 yang dimuat dalam buku bertajuk "Kedudukan Pers Daerah" yang diterbitkan Yayasan Lembaga Pers dan Pendapat Umum, 1957. Nama Opa Henk juga muncul dalam buku terbitan University of Hawaii Press tahun 1985 dengan judul, "Regional Dynamics of The Indonesian Revolution". Wawancara dilakukan di Makassar pada 9 Juni 1971.

Selain piawai sebagai wartawan, Opa Henk ternyata memiliki jiwa seni.  Opa Henk memimpin Lembaga Seni dan Film Rakyat (LESFIRA), di sini Opa Henk terlibat dalam teater dan film. LESFIRA pun membuat film 35mm berjudul "Prajurit Teladan" (1959). Menurut "Les Films de Fiction Indonesiens Conserves a la Cinematheque de Jakarta" yang diterbitkan tahun 1986, Opa Henk sebagai produser dan penulis skenario bersama Nur Alam.

Rekam jejak Henk Rondonuwu tidak terhenti di sini. Opa Henk adalah Ketua Komite Eksekutif Dewan Pimpinan Permesta. Keterlibatannya dalam politik ia salurkan dengan mendirikan partai bersama Andi Burhanuddin. Ia menjadi Ketua Partai Kedaulatan Rakyat (PKR).

img-5742-jpg-5728fff32423bd470d568f83.jpg
img-5742-jpg-5728fff32423bd470d568f83.jpg
Opa Henk menikah dengan Cecilia van Oers. Foto: Monique Rijkers

Dalam harian “Pedoman Rakyat” 7 Januari 1958, Henk Rondonuwu sebagai Ketua Badan Pekerja Dewan Pertimbangan Pusat Permesta menulis sebuah reaksi terhadap wacana bentuk negara federasi yang muncul dalam berita-berita pers Amerika Serikat. Henk Rondonuwu menyebut, "jang menggambarkan seakan² daerah² di luar Djawa sedang bergerak menudju negara federal"."Djikalau jang dimaksud bahwa djuga gerakan daerah jang hidup dalam rangka `Permesta' selaku satu usaha ke arah negara federal maka tafsiran jang demikian adalah keliru. Patokan serta dasar perdjuangan 'Permesta' tetap berlandaskan pada negara Republik Indonesia jang diproklamasikan pada tanggal 17 Agustus 1945. Dalam ruang gerak dari 'Permesta' adalah di dalam djiwa ini, tidak berkisar". 

Nantilah soal Permesta ini saya tulis lebih jauh dalam tulisan terpisah. Kali ini kita merayakan Kebebasan Pers. Meski Opa Henk dipenjara karena tulisannya, ia tetap setia pada idealismenya sebagai wartawan dan terus bekerja sebagai wartawan hingga ia meninggal pada tahun 1974. Pada tahun 2014, mantan Presiden BJ.Habibie sempat ziarah bersama adik saya Hezron Rheza Rondonuwu ke makam Opa Henk di Makassar. Semoga tulisan ini memberi nuansa baru pada sejarah pers Indonesia.[]

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun