Lalu mengapa mediasi? Ketika sebuah peristiwa kejahatan terjadi, maka banyak pihak yang terluka, termasuk pelaku sendiri. Luka tersebut tidak akan sembuh dengan sendirinya, tapi memerlukan kerja sama dari pelbagai pihak. Melalui mediasi, pelaku diharapkan dapat memahami besar 'luka' yang ia timbulkan. Demikian juga sebaliknya, korban diharapkan dapat memahami kondisi pelaku dan membantu pelaku untuk pemahaman yang lebih baik untuk hidup kembali bersama dengan masyarakat.
Tidak dilupakan juga untuk melibatkan keluarga pelaku dalam proses mediasi, karena mereka juga adalah pihak yang terluka dalam hal ini. Dengan demikian, diharapkan juga dapat membantu mencegah terjadinya stigmatisasi terhadap keluarga pelaku yang dapat berujung pada "self fulfilling prophecy", yaitu penempatan diri sesuai dengan stigma yang diberikan. Memang kasus terorisme bukanlah hal yang mudah. Pelaku terorisme bisa dikatakan adalah orang-orang yang sudah 'termotivasi' untuk melakukan perjuangan hingga rela kehilangan nyawanya. Ditambah proses 'depersonality' yang mengakibatkan dirinya kehilangan jati diri. Selain itu, ada indoktrinasi rasa benci mendalam (culture of hatred) yang ditanamkan dalam dirinya. Oleh sebab itu, bisa dikatakan kejahatan terorisme memuat unsur kejahatan berbasis kebencian (hate crime). Jadi, tidaklah mudah untuk menemukan metode yang tepat. Ini 'PR” yang berat bagi Pemerintah dan kita semua, masyarakat.
Sepertinya, buku "The Hidden Battle Ground" akan menjadi bacaan yang penting dan perlu dibaca oleh semua pihak yang berkaitan dan menjadi bagian deradikalisasi di Indonesia. Buku ini akan membantu kita mengetahui dunia di balik hotel prodeo yang (nyatanya) belum ampuh mengikis paham radikal []
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H