Mohon tunggu...
Monique Rijkers
Monique Rijkers Mohon Tunggu... profesional -

only by His grace, only for His glory| Founder Hadassah of Indonesia |Inisiator Tolerance Film Festival |Freelance Journalist |Ghostwriter |Traveler

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Alfred Münzer, Bayi Yahudi yang Disembunyikan Orang Indonesia dari Nazi

30 Oktober 2015   16:07 Diperbarui: 4 April 2017   17:28 49833
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bayi mungil yang duduk di tengah-tengah pada foto di atas itu dipanggil Bobby. Orang tuanya, Simcha dan Gisele memberi nama Alfred Münzer untuk bayi laki-laki yang lahir pada 23 November 1941, kala Jerman telah menaklukkan Belanda selama 19 bulan dan kekejaman Nazi menimpa banyak orang Yahudi. Di tengah ancaman kematian, naluri seorang ibu untuk melindungi anak-anaknya menjadi sebuah kisah cinta yang mengharukan. Di tengah ketakutan terhadap tentara Jerman “Gestapo”, ternyata masih ada orang baik yang berani mempertaruhkan keselamatan diri sendiri dan bahkan keluarganya. Dibalik perubahan nama panggilan dari Alfred menjadi Bobby inilah, terekam sebuah kisah kemanusiaan yang langka.

Keterangan Foto: Mima Saima menggendong Alfred. 

Sejarah Indonesia mungkin belum pernah mencatat bagaimana satu keluarga orang Indonesia menyelamatkan seorang bayi Yahudi dari ancaman kamp konsentrasi Nazi dengan cara menyembunyikan bayi Yahudi itu di rumah mereka. Para pemberani yang sungguh patut dipuji ini adalah Tolé Madna, seorang pria Indonesia yang tinggal di Den Haag, Belanda. Adalah mantan istri Tolé Madna, Annie yang pertama-tama dititipi tugas menyembunyikan Alfred oleh Gisele, ibu Alfred. Namun karena mantan istri Alfred kesulitan menyembunyikan Alfred di rumahnya, maka si kecil Alfred pun berpindah tangan ke rumah keluarga Madna. Saat itu Papa Tolé merawat ketiga anaknya: Willie, Dewi dan Robby. Bersama keluarga ini tinggal seorang pengasuh anak dari Indonesia yang tidak bisa Bahasa Belanda, Mima Saïna, seorang perempuan Jawa beragama Islam. Dari hari menjadi bulan, bulan berganti tahun sampai tiga tahun lamanya, Alfred menjadi bagian sebuah keluarga Indonesia di Den Haag, Belanda. Dalam persembunyian bersama keluarga Madna, si bayi Alfred dipanggil “Bobby.”

Keterangan Foto: Keluarga Madna dan Mima Saina memangku Alfred

Dalam wawancara tertulis dengan Alfred, ia mengaku tidak ingat persis kapan ia mulai menyadari bahwa Papa Tolé dan Mima Saïna sudah menyelamatkan hidupnya.“Pemahaman pertama saya tentang resiko yang dihadapi Papa Tolé dan Mima Saïna datang ketika saya mengetahui apa yang terjadi pada dua saudara perempuan saya, Eva dan Leah. Keduanya disembunyikan oleh seorang perempuan Katolik yang taat namun suami perempuan itu mengadu kepada Nazi yang mengakibatkan perempuan ini ditangkap dan dibawa ke kamp konsentrasi, setelah perang usai si perempuan itu bebas. Namun sungguh malang, kedua saudara perempuan saya (Alfred) dibawa ke kamp konsentrasi di Auschwitz, Polandia dan terbunuh dalam usia 6 dan 8 tahun.”  

Saat Jerman masih menguasai Belanda, praktis Alfred tidak pernah dibawa keluar rumah keluarga Madna karena terlalu berbahaya. Kulit putih, rambut pirang dan mata biru Alfred tentu sangat berbeda dengan keluarga Madna. Hanya orang-orang Indonesia yang datang ke rumah saja yang mengetahui bahwa keluarga Madna menyembunyikan seorang bayi Yahudi. Jika Gestapo datang ke rumah, Alfred akan disembunyikan di loteng rumah. Ketika perang berakhir, Alfred kembali tinggal bersama ibunya yang selamat dari Holocaust dan Mima Saïna pun turut pindah untuk merawat Alfred. Meski sudah pisah rumah, kedekatan dengan Papa Tolé masih berlanjut. Suatu kali Papa Tolé mengajak Alfred ke sebuah toko kebutuhan sehari-hari dan si penjual langsung mengenalnya sebagai “Bobby.” Kali lain Papa Tolé akan mengajak Alfred pergi ke “Warong Djava”, sebuah rumah makan orang Indonesia tempat Papa Tolé bekerja. “Di sana, semua perempuan yang bekerja di dapur akan mendatangi saya dan membawa makanan untuk saya.” Saat lain yang diingat Alfred adalah ketika Papa Tolé datang ke rumah Alfred untuk merayakan kelahiran Dewa, anak dari istri keduanya.

Alfred masih berhubungan baik dengan Papa Tolé meski Alfred dan keluarganya berimigrasi ke Amerika Serikat pada tahun 1958. Dua bulan sebelum kematian Papa Tolé di usia 97 tahun, Alfred masih sempat bertemu “ayah angkatnya” itu. “Orang-orang bilang, ia menjaga kesehatannya agar dapat berjumpa kembali dengan anaknya yang di Amerika.” Hubungan baik dengan enam anak-anak Papa Tolé (tiga dari istri pertama dan tiga dari istri kedua) terus berlanjut meski Papa Tolé telah tiada. Alfred yang tidak memiliki anak ini menganggap anak-anak, cucu dan cicit keluarga Madna adalah keluarganya sendiri.  Kedekatan Alfred dengan Mima Saïna berlangsung ketika Alfred bayi sehingga praktis sangat sedikit kenangan yang ia ingat. Sekitar bulan Oktober 1945, Mima Saïna meninggal akibat pendarahan di kepalanya. Alfred bersama Papa Tolé beberapa kali ziarah di makam ibu pengasuh yang telah merawat dan turut melindungi Alfred.

Keterangan Foto:Papa Tolé                  

Alfred Münzer, bocah Yahudi yang diselamatkan itu kini telah menjadi seorang ahli penyakit dalam dan spesialis paru yang tinggal di Washington DC, Amerika Serikat. Alfred sempat menjabat sebagai Presiden Asosiasi Ahli Paru Amerika Serikat. Di tahun 1998, Alfred adalah aktivis antirokok yang ngotot menghendaki zona bebas rokok di ruang publik karena efek buruk nikotin pada perokok pasif. Motivasi Alfred menjadi dokter datang dari pengalaman masa lalunya. Saat Gisele mengandung Alfred, dokter kandungan menyarankan agar Gisele melakukan aborsi namun sang ibu menolak karena mengingat kisah Hana di Alkitab. Hana adalah seorang perempuan mandul yang berdoa meminta anak dan berjanji menyerahkan anaknya untuk TUHAN. Doa yang sama pun diucapkan oleh ibu Alfred, “Jika TUHAN memberikan seorang anak, saya akan menyerahkan anak itu untuk melayani TUHAN seumur hidupnya.” Alfred menyebutkan, “Inilah yang memotivasi saya untuk menjadi dokter dan membagikan kisah hidup saya dengan harapan menolong dunia menjadi lebih baik.”

Di tengah kesibukannya sebagai dokter, Alfred menjadi sukarelawan di Museum Holocaust di Washington DC dan berbicara kepada banyak orang tentang pengalaman hidupnya. Bahkan dia-lah yang mengusulkan agar situs Museum Holocaust di Washington DC, Amerika Serikat mempunyai laman khusus berbahasa Indonesia. Ketika saya menanyakan, apa hikmah yang bisa diambil dari kisah hidupnya, Alfred menjawab, “Even in a sea of evil, it is possible for people to stand up and do what is right” atau jika diterjemahkan menjadi ”meski di tengah lautan kejahatan, adalah mungkin untuk orang-orang berdiri dan melakukan apa yang benar.” Alfred menyadari ia bisa hidup berkat kebaikan dan keberanian orang lain untuk mengambil resiko menyembunyikan dirinya. Alfred mengatakan, “Papa Tolé tidak merasa dirinya pahlawan. Itulah sebabnya ia tidak pernah membicarakan dengan Alfred resiko atas perbuatannya. Ia merasa (menyembunyikan Alfred) sangat normal untuk dilakukan.” Penghargaan untuk keberanian Papa Tolé baru diberikan pada tahun 2000 yaitu dengan memahat namanya di tembok yang berisi daftar nama “Righteous Among the Nations” atau “Orang-orang Benar di Antara Bangsa-bangsa” yang dianugerahkan oleh Yad Vashem, Museum Mengenang Holocaust di Yerusalem, Israel.

Menyadari peran orang Indonesia yang telah menyelamatkannya, Alfred berupaya menjalin hubungan dengan orang-orang Indonesia. Impian Alfred tercapai saat Alfred diundang oleh Kedutaan Besar Indonesia di Amerika Serikat untuk menceritakan kisah hidupnya di depan sejumlah mahasiswa asal Indonesia. Alfred juga pernah berbicara di depan anak-anak muda Indonesia dalam sebuah program toleransi agama yang diadakan oleh Racelle Weiman, Phd dari Dialogue Institute, Temple University, USA. Saat itu anak-anak muda dari Indonesia ini tidak tahu tentang kisah hidup Alfred. Ketika Alfred menunjukkan fotonya digendong oleh seorang perempuan Indonesia, mereka yang melihat foto itu heran. Keheranan mereka berubah menjadi keharuan saat Alfred menceritakan tentang lagu “Nina Bobo” yang kerap dinyanyikan Mima Saïna untuk “Bobby.” Alfred mengaku menitikkan air mata ketika anak muda Indonesia itu beramai-ramai menyanyi dan mendatangi dirinya serta memberikan pelukan hangat. Bahkan seorang perempuan muda berkerudung membisikkan “kita semua adalah keluarga” di telinga Alfred. “Pengalaman itu mengajarkan kepada kami kekuatan sebuah kesaksian hidup yang dapat menyatukan orang-orang dari latar belakang dan agama yang berbeda.” Tak heran, Alfred bersemangat ketika datang ke Indonesia bulan April 2014 silam dan kembali bercerita di depan anak-anak muda Indonesia.

Alfred berharap melalui kisah hidupnya, generasi muda di Indonesia dapat mengambil pelajaran dari Holocaust. Ia berharap kelak sejarah Holocaust bisa dimasukkan dalam kurikulum di Indonesia. “Sejarah kelam Holocaust adalah sejarah universal. Holocaust bukan saja tentang penyiksaan dan pembunuhan orang Yahudi selama Nazi berkuasa, tetapi juga berisi pelajaran agar manusia tidak membedakan-bedakan manusia lain.” Atas dasar itulah, Alfred memegang teguh ungkapan favoritnya, “Kita semua adalah anggota dari satu keluarga umat manusia dan kita semua bertanggung jawab satu sama lain.” Kini Racelle Weiman sedang menyiapkan sebuah dokumenter yang diangkat dari kisah hidup Alfred Münzer. Kelak film dokumenter ini akan diboyong ke Indonesia untuk disaksikan oleh generasi muda di Indonesia. Sedangkan Alfred Münzer ingin menulis buku cerita anak-anak dalam Bahasa Indonesia.

Sepekan lalu, Dokter Al (saya menyapanya demikian) mengabarkan ia diundang untuk makan malam dengan Presiden Jokowi saat Jokowi ke Washington DC. Ia berkata, "Saya akan menunjukkan foto Papa Tolé dan Mima Saina kepada Jokowi." Beberapa hari kemudian, sebuah foto muncul di email saya. Dokter Al berhasil bersalaman dengan Jokowi dan menceritakan sedikit kepahlawanan keluarga Indonesia itu, meski ada begitu banyak orang yang berebut bersalaman dengan Jokowi. Semoga di Indonesia sekarang, masih banyak orang-orang seperti Papa Tolé dan Mima Saina yang mengutamakan kemanusiaan jauh melebihi diri, keluarga dan kehidupan mereka sendiri. Buat keluarga besar Papa Tolé Madna dan Mima Saina, saya ucapkan terima kasih. Luar biasa keberanian kakek Anda.[]

*) Keterangan Gambar Utama: Alfred dan kedua saudarinya yang tewas di Auschwitz

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun