Mohon tunggu...
Monique Rijkers
Monique Rijkers Mohon Tunggu... profesional -

only by His grace, only for His glory| Founder Hadassah of Indonesia |Inisiator Tolerance Film Festival |Freelance Journalist |Ghostwriter |Traveler

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Yuyun, Bertahan 12 Tahun Dikurung di Kamar, Meninggal setelah 3 Minggu di RSJ

14 Oktober 2015   13:12 Diperbarui: 14 Oktober 2015   17:37 5155
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Saya diberi tahu namanya adalah Yuyun, pria yang mulai berhalusinasi sejak kehilangan ibunya. Usianya sudah 20 tahunan ketika terpisah dari ibu, orang terdekat Yuyun. Selain halusinasi, Yuyun sering bertindak agresif, beberapa kali keluar rumah dalam keadaan ngamuk. Takut membahayakan tetangga, kakak Yuyun memutuskan mengunci adiknya di dalam kamar ketika ia bekerja memulung karton bekas. Seiring berjalannya waktu, Yuyun semakin dibiarkan di dalam kamar yang semakin penuh dengan tumpukan karton dan barang bekas. 

Yuyun berada di dalam kamar terkunci selama 12 tahun. Menurut ipar Yuyun, Yuyun diberi cukup makan dua kali sehari, biasanya nasi bungkus atau nasi di piring kaleng. Ketika saya masuk ke kamar Yuyun selama dikurung, bau busuk segera tercium. Meski siang hari, kamar gelap tanpa jendela. Ada lampu dengan watt kecil menyala yang segera memunculkan pemandangan yang memilukan. Kasur sangat kotor. Sampah tergeletak di lantai. Tumpukan barang bekas dan kardus-kardus membuat kamar sesak. Ada kamar mandi di dalam kamar namun saya tidak berani melihat. 

Kontrakan kakak Yuyun terletak di sebelah ruangan yang menjadi gudang sekaligus tempat pengurungan Yuyun. Kamar Yuyun dikunci dari luar begitu si kakak selesai menaruh atau mengambil kardus-kardus bekas yang ia kumpulkan. Kebanyakan orang di kota akan mengurung anggota keluarganya yang menderita kelainan jiwa, sedangkan di desa pasung menjadi pilihan. Kedua cara ini tidak manusiawi dan bukan solusi bagi pasien dan juga keluarga pasien itu sendiri. 
Hari demi hari berlalu tanpa perawatan sama sekali terhadap Yuyun, hingga akhirnya Yuyun ditemukan oleh Novi Pangemanan yang sedang meneliti tentang pasung. Atas inisiatif Novi Pangemanan, keluarga Yuyun bersedia membebaskan Yuyun dan mengizinkan Yuyun dibawa ke RSJ di Bogor. Sehari sebelum dipindahkan, Yuyun dimandikan sebersih mungkin, rambut gondrongnya dipangkas, kuku digunting dan dikenakan pakaian bersih. Foto yang Anda lihat ini adalah versi bersih seorang Yuyun, bukan keseharian ketika masih diisolasi.

September tahun lalu, saya ingin menengok Yuyun. Namun saya mendapat kabar dari Novi Pangemanan, Yuyun meninggal tiga pekan setelah dibawa ke RSJ. Menurut dokter, Yuyun mengalami malnutrisi parah. Sungguh sebuah ironi. Mengapa Yuyun bisa bertahan hidup selama 12 tahun di sebuah kamar gelap, kecil dan terisolasi namun ia hanya dapat bertahan hidup selama tiga minggu di rumah sakit jiwa? Apakah selama di rumah sakit jiwa, Yuyun tidak mendapat perawatan terbaik? Kok malah bisa malnutrisi terjadi ketika dia berada di rumah sakit yang memiliki ahli gizi? Atau, apakah jauh dari rumah membuat Yuyun lemah secara mental? Entahlah. Saya tidak habis pikir. Jika membiarkan Yuyun di dalam kurungan kamar akan membuatnya tetap hidup, saya rasa saya akan memilih membiarkannya di kurungan.

Tentu saja, keputusan merawat pasien kejiwaan di rumah sakit jiwa adalah keputusan terbaik daripada memasung, mengikat atau mengurung. Memasung, mengikat atau mengurung adalah cara paling tidak manusiawi yang bisa dilakukan keluarga kepada anggota keluarganya yang mengalami gangguan perilaku akibat problem kejiwaan. Dukungan keluarga tentu sangat berarti bagi para penderita kejiwaan. Saya pernah berjumpa dengan seorang ayah yang sangat suportif, Pak X. Ia membantu memulihkan anaknya dengan mendampingi setiap ada pertemuan dengan psikiater dan kelompok pendukung. Pak X berkata kepada saya, "Coba Anda bayangkan kalau Anda bertemu orang sakit, Anda pasti iba, kasihan. Tapi kalau Anda melihat orang sakit jiwa, malah pada takut.....!

Saya tercekat. Iya, benar juga. Ketika saya datang ke pertemuan skizofrenia, saya menyimpan rasa takut. Takut salah omong yang akan memicu agresivitas, takut duduk sebelahan. Namun setelah berada selama lebih dari satu jam dan ngobrol dengan mereka, ketakutan saya memudar. Sesungguhnya saya tidak melakukan apa pun ketika itu selain berada di antara mereka dan mendengar cerita mereka. Namun dengan kehadiran, sepotong kebersamaan... saya berharap, semoga membuat sedikit perbedaan pada satu hari biasa di dalam kehidupan beberapa orang skizofrenia[]

Rest in peace, Yuyun..

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun