Mohon tunggu...
monique firsty
monique firsty Mohon Tunggu... -

:)

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Notaris, Suatu Profesi Atau Cita-cita Mulia

11 September 2013   14:20 Diperbarui: 24 Juni 2015   08:02 886
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Jumlah notaris terus bertambah setiap tahun. Pada awal 2010 Menteri Hukum dan HAM sudah melantik dua ribuan notaris baru yang akan ditempatkan di seluruh Indonesia. Peluang penyebaran notaris semakin terbuka seiring dinamika pemekaran wilayah. Kini ada 500-an kabupaten/kota di seluruh Indonesia.

Namun dalam praktik, formasi notaris telah menjadi salah satu problem yang mungkin paling memusingkan Kementerian Hukum dan HAM. Sebagian notaris enggan untuk bertugas di daerah yang masuk kategori kering; sebagian besar lebih suka bertugas di kota-kota besar. Keinginan untuk tetap bertugas di kawasan basah itu sudah tertanam sejak awal di benak calon notaris. Tentunya saya berharap bisa praktik di Surabaya nanti, kata Rizki, seorang teman saat sama-sama menjadi mahasiswa magister kenotariatan.

Inilah yang menyebabkan formasi notaris di Indonesia tidak merata. Ada daerah tertentu yang kekurangan notaris khususnya di luar Pulau Jawa, sebaliknya ada daerah yang kelebihan. Seharusnya notaris bersedia ditempatkan dimana saja. Seharusnya!! semua tergantung seseorang memandang notaris sebagai profesi dengan harapan uang semata atau lebih kepada kepuasan pelayanan jasa kepada masyarakat.

Adalah seorang notaris di Tembilahan Riau tak terlalu ambil pusing soal penempatan dirinya ke kawasan itu. Sebab, jika semua notaris berpikiran sama ingin bertugas di kota besar niscaya tak akan bisa melayani kepentingan masyarakat luas. Itu pula sebabnya, Pemerintah menetapkan sistem buka tutup dalam formasi notaris. Daerah seperti Jakarta sudah sering dinyatakan sebagai zona tertutup untuk pengangkatan notaris baru.

Pengaturan formasi yang amburadul membuat jumlah notaris di suatu tempat menumpuk. Jika kita lihat di sepanjang Jalan Margonda Raya Depok, Jawa Barat, dan ibukota provinsi. Jarak antara satu kantor notaris dengan notaris lain hanya puluhan meter. Sementara di banyak ibukota kabupaten, hanya ada satu dua notaris seperti kabupaten Pacitan, misalnya. Bahkan, masih ada ibukota kabupaten yang nihil notaris.

Payung hukum
Undang-Undang No. 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris (UUJN) termasuk yang sering dipersoalkan ke Mahkamah Konstitusi. Bahkan kalangan notaris pun sempat mempersoalkannya. Payung hukum jabatan notaris ini dinilai mengandung kelemahan. Apapun pandangan tentang kelemahan itu, yang jelas hingga kini UU No. 30 Tahun 2004 masih menjadi pijakan bagi semua notaris dalam menjalankan tugas dan wewenangnya.

Sebelum 2004, notaris berpayung pada peraturan peninggalan Belanda. Ada Reglement op het Notaris Ambt in Indonesie (Stbl 1860 No. 3) dan Ordonansi 16 September 1931 tentang Honorarium Notaris. Setelah merdeka, ada Undang-Undang No. 33 Tahun 1954 tentang Wakil Notaris dan Wakil Notaris Sementara. Payung hukum lain tersebar di Undang-Undang bidang peradilan lantaran notaris diawasi oleh Ketua Pengadilan Negeri setempat.

Baru pada 2004, kalangan notaris memiliki payung hukum baru, yakni UU No. 30. Wet ini dianggap lebih memberikan kepastian bagi kalangan notaris, baik dalam berorganisasi maupun dalam penyelesaian kasus pelanggaran kode etik. Namun tak semua notaris menyepakati materi UU Jabatan Notaris. Selama enam tahun perjalanan Undang-Undang Jabatan Notaris itu, tercatat beberapa kali dibawa ke Mahkamah Konstitusi.

Notaris pertama yang diangkat di Indonesia dalah Melchior Kerchem. Diangkat pada 27 Agustus 1620, Kerchem bertugas di Batavia (Jakarta). Pada awalnya notaris seperti Kerchem dan notaris sesudahnya selama sepuluh tahun kemudian bekerja pada VOC. Baru pada 1650, notaris diberikan kebebasan menjalankan tugas.

Hingga kini, notaris tetap independen menjalankan jabatannya. Tetapi bukan berarti notaris kebal hukum. Mereka tetap terikat pada kode etik dan hukum. Jika bersalah mereka bisa dilaporkan ke MPN, organisasi pengawas yang melibatkan pengurus organisasi notaris dan akademisi. Untuk menegakkan kode etik itu, menurut Martua Batubara, MPN Daerah pada dasarnya bisa jemput bola melalui pengawasan rutin setiap tahun.

Gagasan untuk memperbaiki UUJN bukan tidak pernah diajukan. Menurut notaris MJ Widijatmoko, regulasi mengenai pengawasan belum sepenuhnya bisa berjalan. Sebab, ada daerah tertentu yang tidak memungkinkan dibentuk MPN. Widijatmoko mengusulkan pentingnya peradilan jabatan notaris.

Mengenai syarat pengangkatan Notaris saat ini terus menerus diperbaharui, mulai dari adanya pelatihan SABH, fidusia online bahkan terdengar kabar ujian kode etik notaris yang biasanya diselenggarakan oleh Ditjen AHU Kemenkum HAM bersinergi dengan INI diganti dgn Pendidikan Integritas Kode Etik Notaris yg diselenggarakan oleh Ditjen AHU bekerja sama dgn 11 Prodi MKn Negeri. Manakah yang akan meningkatkan kualitas moral beretika dan integritas seorang calon notaris?? Semoga saja perubahan-perubahan yang ada ke depan membawa kebaikan bagi semua.

Viva Notarius

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun