Watak Kedaulatan Energi Migas Presiden Sukarno
Tak ada yang lebih bisa menjelaskan kedaulatan migas Indonesia, kecuali kebijakan Presiden Sukarno di tahun 1960. Kebijakan yang berpotensi membuat Indonesia Kaya Raya atas sektor migas dan membuat kalang kabut para kapitalis migas dunia serta negara negara imperialis barat yang melakukan penjarahan dengan aturan manipulatif yang menguntungkan secara sepihak bagi kekayaan asing.
Pihak negara hanya mengandalkan tax saja tapi kendali tidak ditangan negara. Oleh Presiden Sukarno semua itu direbut dengan aturan kebijakan Kontrak Karya No.44/PRP/1960 dimana negara menguasai secara penuh sektor migas Indonesia.
Disinilah kemudian masa keemasan migas Indonesia dimulai namun juga berakibat pada banyak permainan intelijen asing yang menjatuhkan Presiden Sukarno karena kebijakan ini dan berujung pada Gestok 1965 serta dihancurkannya hidup Bung Karno yang berakhir tragis di internir Wisma Yaso karena membela kedaulatan kekayaan negara salah satunya di sektor Migas.
Di tengah perjalanan waktu dan dinamika politik juga soal kesadaran sejarah kapital di Indonesia, kebijakan Energi dan Sumber Daya Minyak (ESDM) harusnya mengacu pada kebijakan politik Bung Karno yang menempatkan kendali negara atas kekayaan negara sepenuh penuhnya kemudian dimanfaatkan pada rakyat banyak, bukan kemudian diserahkan secara total pada kendali asing dengan alasan pragmatis dan sangat jangka pendek seperti "Gross Split" ala Archandra itu.
Menurut pandangan saya, kontroversi soal "Gross Split" yang terbesar adalah "pengkhianatan konstitusi UUD 1945", Jiwa dari aturan Migas 1960 adalah pasal 33 dengan konsepsi utamanya "Kemandirian Bangsa". Dengan adanya Gross Split, justru malah memberikan lahan lahan produktif migas pada investor asing tanpa kendali negara, sementara di sisi lain kebijakan ini juga membuat investor banyak melarikan diri karena merugikan mereka.Â
Jadi ini kebijakan konyol dan jauh lebih lucu daripada Srimulat, di sisi lain membuat negara melepaskan kendali atas sektor migas, di sisi lain investor kelabakan karena tidak bisa memastikan berapa gross split atas perkiraan harga minyak, sehingga main ambil mudahnya saja yaitu menggarap ladang ladang yang sudah jadi, dan ini menjauhkan dari semangat 'eksplorasi' atau mencari ladang ladang minyak baru, padahal 'eksplorasi minyak bumi di Indonesia' menjadi perhatian utama Presiden Jokowi.
Terang saja aturan baru ini menimbulkan semacam kemarahan dari banyak pihak terutama mereka yang berpengalaman dalam sektor migas. Seperti Arifin Panigoro, John Karamoy dan mantan menteri minyak legendaris jaman Orde Baru, Subroto yang mengerti sekali soal bisnis migas di Indonesia.Â
Intinya bila kebijakan Gross Split ala Archandra ini tidak dievaluasi akan terjadi dampak yang amat buruk terhadap industri migas di Indonesia, seperti kutipan Arifin Panigoro di Tempo.co pada kamis (10/10):
"Saya kira sistem ini harus dievaluasi, keadaan dunia juga berubah. Kalau diam saja orang tidak akan tertarik.Bagaimana bisa menaikkan produksi?".