Mohon tunggu...
Monika NurvitaPuspaningrum
Monika NurvitaPuspaningrum Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswi Pendidikan

Menyukai konten pendidikan dan budaya

Selanjutnya

Tutup

Parenting

Fatherless Akibat Budaya Patriarki di Indonesia: Pengaruhnya bagi Perkembangan Sosioemosional Anak

15 Juni 2023   20:50 Diperbarui: 15 Juni 2023   21:00 978
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Parenting. Sumber ilustrasi: Freepik

Fenomena Fatherless di Indonesia

Apakah Anda pernah merasa panik ketika mendengar suara batuk ayah Anda? Atau pernahkah Anda menginginkan sesuatu dan harus meminta izin kepada ayah Anda, tetapi Anda memilih untuk berbicara dengan ibu Anda agar ibu Anda yang menyampaikannya kepada ayah Anda? 

Mungkin hampir setiap anak pernah mengalami hal tersebut. Menjadi realita kehidupan anak-anak di Indonesia pada umumnya.

Belum lama ini, menjadi topik perbincangan hangat publik mengenai fatherless atau ketidakhadiran sosok ayah di dalam keluarga. Indonesia menjadi negara ke-3 dengan tingkat fatherless tertinggi di dunia.

Dilansir dari Narasi, Edward Elmer Smith seorang psikolog Amerika mengatakan bahwa fatherless country memiliki kecenderungan tidak merasakan kehadiran dan keterlibatan sosok ayah dalam kehidupan anak, baik secara fisik maupun psikologis. Jadi, fatherless bukan terkait dengan sosok ayah yang telah meninggal dunia atau bercerai dengan ibu, melainkan tidakadanya keterlibatan ayah dalam proses pertumbuhan dan perkembangan anaknya.  

Dilansir dari Kompasiana, fenomena fatherless disebabkan oleh budaya turun-menurun, yang mana sosok ayah hanya berperan dan bertanggung jawab untuk mencari nafkah, bukan untuk mengasuh anak. Mengasuh anak di rumah adalah tugas dan kewajiban seorang wanita yang sudah menjadi ibu. Diana Setiyawati, seorang psikolog UGM mengungkapkan bahwa dalam pengasuhan anak, diperlukan keterlibatan seimbang antara ayah dan ibu sebagai orang tua (Kompas.com, 2023).

Budaya Patriarki di Indonesia

Penyebab dari munculnya fatherless di Indonesia khususnya, dikarenakan adanya budaya patriarki yang melekat pada diri masyarakat Indonesia. Budaya patriarki adalah budaya yang menempatkan sosok pria sebagai sosok otoritas utama yang sentral dalam suatu organisasi sosial (Bressler dalam Susanto, 2015). Padahal antara pria dan wanita memiliki peran yang sama dalam suatu organisasi sosial, termasuk dalam keluarga. Dalam hal ini pula, seorang pria yang sudah menjadi ayah juga memiliki kewajiban dan tanggung jawab untuk mengasuh anak, tidak hanya diserahkan kepada pihak wanita.

Beberapa orang menyetujui mengenai sosok pria dalam keluarga juga turut andil dalam pengasuhan anak. Melihat zaman sekarang ini, banyak wanita juga berperan sebagai wanita karir. Dari hal tersebut, jika di dalam suatu keluarga antara ayah dan ibu sama-sama bekerja, lantas siapa yang memantau dan membantu anak dalam perkembangannya? Apakah tugas pengasuhan orang tua terhadap anaknya secara penuh diserahkan pada babysitter? Atau ibu saja yang harus berperan ganda secara penuh di dalam kelurga, yakni bekerja dan mengasuh anak?

Perkembangan Sosioemosional Anak Dampak Fatherless Akibat Budaya Patriarki di Indonesia

Munculnya fenomena fatherless akibat melekatnya budaya patriarki di Indonesia, memberikan pengaruh bagi perkembangan anak. Tak sedikit yang mengungkapkan di sosial media mengenai perasaan sedih mereka tidak berani berkomunikasi dengan ayahnya, bahkan ada yang merasa hadirnya ayah mereka di rumah hanya sekadar datang dan pulang saja. Padahal kehadiran dan keterlibatan ayah dapat memberikan dampak positif bagi perkembangan anak, baik secara kognitif, prestasi, sosial, emosi, dan moralnya (Septiani & Nasution, 2017).

Dalam teori ekologinya, Bronfenbrenner mengemukakan bahwa perkembangan suatu individu dipengaruhi oleh konteks lingkungan. Ada lima tingkatan pada teori ekologi Brofenbrenner, meliputi microsystem, mesosytem, exosystem, macrosystem, dan chronosystem (Bronfenbrenner dalam Mujahidah, 2015). Pada permasalahan ini, difokuskan pada tingkatan pertama yaitu microsystem.

Mycrosystem adalah lingkungan yang membantu perkembangan individu melalui interaksinya dengan keluarga, teman sebaya, dan guru. Dalam tingkatan ini dijelaskan bahwa peran keluarga, terutama orang tua sangat penting bagi perkembangan sang anak. Bukan hanya sebatas ibu saja, melainkan kehadiran dan keterlibatan sosok ayah dalam perkembangan fisik maupun psikologis anak juga diperlukan agar perkembangannya dapat berjalan secara optimal.

Dilansir dari Kompasiana, peran dan tanggung jawab orang tua dalam mengasuh anak pada realitanya hanya dititikberatkan kepada pihak wanita (ibu). Hal ini memberikan dampak bagi perkembangan anak, khususnya perkembangan sosioemosional anak. Ketidakhadiran sosok ayah dalam keluarga dan hanya menitikberatkan pengasuhan kepada ibu, maka dapat memungkinkan memengaruhi pola pikir anak mengenai bias gender (ketidaksetaraan gender).

Patriarki menjadi akar masalah terjadinya fatherless di Indonesia. Mengutip dari Kompasiana, hal tersebut diungkapkan karena kita hanya terbiasa mengklasifikasikan tugas seorang wanita dan pria dilakukan secara terpisah, seakan tidak ada pekerjaan yang dapat dilakukan secara bersama-sama. Maka dari itulah, muncul stereotype yang mengharuskan sosok pria bertanggung jawab menafkahi dan wanita bertanggung jawab dalam urusan rumah tangga serta mengasuh anak. Hal ini disebabkan karena sedari dini kita tidak terbiasa mempelajari serta memahami peran dan tanggung jawab orang tua seutuhnya.

Tak jarang kita melihat di dalam suatu kelompok sosial, ketika sang anak melakukan tindakan tak terpuji atau bermasalah dengan temannya, orang pertama yang disalahkan adalah sosok ibu. Hal ini terjadi karena seolah-olah sang ibu tidak mampu mengasuh dan mendidik anaknya dengan baik. Padahal, ayah juga berperan dalam pengasuhan dan mendidik anak.

Dalam kajiannya, dikemukakan bahwa ada beberapa dampak fenomena fatherless yang tentu merusak psikologis anak. Tanpa figur dan peran ayah, anak akan cenderung minder serta sulit beradaptasi dengan dunia luar. Selain itu, kematangan psikologis anak akan tumbuh secara serta anak akan memiliki sifat childish. Tanpa figur ayah, tak jarang dari mereka yang cenderung lari dari masalah dan bersikap emosional saat menghadapi masalah. Figur dan peran ayah pun memengaruhi mereka dalam mengambil keputusan. Anak yang mengalami permasalahan fatherless biasanya kurang atau ragu-ragu dalam mengambil keputusan dengan berbagai situasi yang membutuhkan keputusan cepat dan tegas (Munjiat, 2017).

Dalam penelitiannya, dikemukakan bahwa ketika masih balita ayah melaksanakan peran instrumental dan ekspresif. Sementara itu ketika anak memasuki usia remaja, sosok ayah dibutuhkan untuk lebih komunikatif, memberikan perhatian, mendengarkan kegelisahan dan keluhan, serta panutan dalam memegang kendali (Wulan, dkk., 2018).

Melihat banyaknya dampak dari fenomena fatherless akibat budaya patriarki terhadap perkembangan sosioemosional anak, Anda sebagai orang tua dapat mencegah dan mengatasi permasalahan tersebut. Misalnya, dengan menjelaskan bahwa ketika mereka diminta melakukan pekerjaan rumah seperti menyapu, mengepel, dan sebagainya, tidak dibatasi mana yang menjadi tugas dan kewajiban wanita dan pria. Anda juga perlu menjadikan diri Anda sebagai panutan mereka, mengingat keluarga menjadi tempat pendidikan pertama bagi anak. Sebagai orang tua khususnya Ayah, juga mampu meluangkan waktu untuk sekadar minum teh atau menonton tv bersama sang anak. Tentu, ayah perlu memperhatikan kualitas waktu bersama sang anak dengan baik.

Daftar Referensi

Caesaria, S. D. 2023. "Indonesia Urutan Ke-3 "Fatherless Country", Psikolog UGM Sebut 5 Dampaknya", https://www.kompas.com/edu/read/2023/05/25/090000371/indonesia-urutan-ke-3-fatherless-country-psikolog-ugm-sebut-5-dampaknya?page=all, diakses pada 14 Juni 2023 pukul 14.05.

Dian, R. 2023. "Indonesia Peringkat 3 Fatherless Country di Dunia, Mempertanyakan Keberadaan 'Ayah' dalam Kehidupan Anak", https://narasi.tv/read/narasi-daily/indonesia-peringkat-3-fatherless-country-di-dunia-mempertanyakan-keberadaan-ayah-dalam-kehidupan-anak, diakses pada 13 Juni 2023 pukul 23.05.

Mujahidah, M. (2015). Implementasi Teori Ekologi Bronfenbrenner dalam Membangun Pendidikan Karakter yang Berkualitas. Lentera: Jurnal Ilmu Dakwah Dan Komunikasi, 17(2).

Munjiat, S. M. (2017). PENGARUH FATHERLESS TERHADAP KARAKTER ANAK DALAM PRESPEKTIF ISLAM. In Jurnal Pendidikan Islam (Vol. 2, Issue 1).

Putri, R.A. 2023. "Yuk Kenali Pentingnya Peran Ayah Agar Indonesia Tidak Menjadi Fatherless Country Lagi", https://www.kompasiana.com/ra92883/646c03a908a8b54ab84f5182/yuk-kenali-pentingnya-peran-ayah-agar-indonesia-tidak-menjadi-fatherless-country-lagi?page=2&page_images=1, diakses pada 14 Juni 2023 pukul 08.30.

Putri, S. A. 2023. "Fatherless, Warisan Budaya Patriarki Indonesia" , https://www.kompasiana.com/shalikaap/63cd01ffc83512677d5c6553/fatherless-warisan-budaya-patriarki-indonesia, diakses pada 14 Juni 2023 pukul 08.13.

Septiani, D., & Nasution, I. N. (2017). Peran Keterlibatan Ayah dalam Pengasuhan Bagi Perkembangan Kecerdasan Moral Anak. Jurnal Psikologi, 13(2), 120.

Susanto, N. H. (2015). TANTANGAN MEWUJUDKAN KESETARAAN GENDER DALAM BUDAYA PATRIARKI. https://phierda.

Wulan, T. R., Shodiq, D., Wijayanti, S., Lestari, D. W. D., Hapsari, A. T., Wahyuningsih, E., & Restuadhi, H. (2018). Ayah Tangguh, Keluarga Utuh: Pola Asuh Ayah pada Keluarga Buruh Migran Perempuan di Kabupaten Banyumas. Jurnal Ilmu Keluarga Dan Konsumen, 11(2), 84--95. https://doi.org/10.24156/jikk.2018.11.2.84.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Parenting Selengkapnya
Lihat Parenting Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun