Mohon tunggu...
Monika Ekowati
Monika Ekowati Mohon Tunggu... Guru - Seorang biarawati Tarekat SND--> ARTIKEL yang kutulis ini khusus untuk KOMPASIANA Jika muncul di SITUS lain berarti telah DIJIPLAK tanpa IJIN PENULIS !

Betapa indahnya hidup ini, betapa saya mencintai hidup ini, namun hanya DIA yang paling indah dalam Surga-Nya dan dalam hidupku ini, saya akan mencintai dan mengabdi DIA dalam hidupku ini ARTIKEL yang kutulis ini khusus untuk KOMPASIANA Jika muncul di SITUS lain berarti telah DIJIPLAK tanpa IJIN PENULIS !

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Mengulik Peninggalan Kolonial Belanda di Blora

20 Agustus 2022   14:34 Diperbarui: 5 September 2022   20:06 3062
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Loji Kluntung di Cepu (foto Helo Blora.com)

Keindahan Nusantara yang kaya akan rempah-rempah, serta hasil bumi dan keanekaragaman hayati sangat menarik para penjajah untuk datang di Bumi Pertiwi ini, Portugis, Belanda, Inggris dan Jepang.

Belanda yang menguasai Indonesia selama 350 Tahun dan Jepang yang sering disebut seumur Jagung , 3, 5 tahun menjajah Indonesia. Tentu banyak pengaruh dan meninggalkan jejak sejarah. 

Misalnya Lubang Jepang “ yang ada di Bukit Tinggi yang sekarang dijadikan tempat wisata adalah saksi bisu kekejaman Jepang dalam mempekerjakan rakyat Indonesia, konon siapa yang sudah dipekerjakan disitu tidak akan kembali lagi. 

Ada Benteng Marlborough di Bengkulu yang masih berdiri megah hingga sekarang,tentunya masih banyak lagi peniggalan kolonial di tempat lain.

Kali ini saya mengajak para pembaca yang budiman untuk mengulik peninggalan kolonial di Kota Blora. Meskipun Blora boleh dibilang kota kecil, namun Kabupaten ini sudah melekat di hati Ratu Wihelmina (ratu Belanda waktu itu), bahkan jauh sebelum itu banyak orang Belanda bermukim di Blora. 

Hal ini terbukti adanya “ Bong Londo “ (Makam Belanda) yang ada di desa Kunden berbatasan dengan desa Tegal Gunung.

Gudang Banyu yang sekarang menjadi Ikon desa Tegal Gunung (foto Wisnu 706)
Gudang Banyu yang sekarang menjadi Ikon desa Tegal Gunung (foto Wisnu 706)

Sejak Pemerintah Kolonial Hindia Belanda yang telah menguasai pelabuhan Sunda Kelapa berkisar awal abad XVIII besar keinginan untuk menaklukkan seluruh pulau Jawa.

Maklum pulau Jawa yang terkenal dengan sebutan “Jawa Dwipa“ merupakan pulau utama di Nusantara. Blora yang masuk dalam wilayah Jawa Tengah, Kota yang dikelilingi oleh hutan Jati, sebelah timur dibatasi Kota Bojonegoro, selatan daerah Randu Blatung, sebelah barat,desa Kunduran dan utara desa Ngampel. Dari seluruh penjuru mata angin, Blora dikelilingi hutan Jati yang sangat lebat hingga saat ini.

Tak mengherankan jika hasil alam berupa kayu jati dan sumber daya manusia berupa budak – budak hasil perdagangan di nusantara berada di Pulau jawa, termasuk di Blora juga. 

Kabupaten Blora yang kaya akan kayu jati dan hasil pertanian membuat pemerintah kolonial Hindia Belanda berkeinginan untuk menguasai wilayah ini.

Menurut catatan resmi sejarah Blora berdiri sejak tahun 1749. Sebagai peringatan atas berdirinya Kabupaten Blora, tahun keramat tersebut diukirkan pada lengkung gapura Pendopo Kabupaten Blora.

Dapat disaksikan hingga saat ini, sebagai kantor Bupati Blora yang letaknya di sebelah Alun-alun yang mempunyai bentuk seperti tempurung, sehingga Alun- alun merupakan tempat paling tinggi di kota Blora.

Sebagaimana Prasasti selalu ditulis dengan Candra Sengkala, maka untuk menandai tahun berdirinya Kabupaten Blora maka candra sengkalanya tertulis “ Trus Kawarna Sabdaning Aji “ bertepatan dengan tanggal 2 Sura tahun Alib tahun 1675 saka. Tanggal 11 desember 1749 Masehi.Kota Blora resmi menjadi kabupaten.

Gapura kediaman Bupati Blora tempo dulu (foto helo.Blora.com)
Gapura kediaman Bupati Blora tempo dulu (foto helo.Blora.com)

Jika kita melintasi jalan Pemuda disitu terdapat banyak bangunan Belanda yang masih berdiri megah, (termasuk kediaman Bupati) juga di beberapa anak jalan Pemuda yaitu jalan Gunung Sindoro, Gunung Sumbing masih banyak bangunan Belanda ini membuktikan banyak orang Belanda yang tinggal di Tlatah Blora waktu jaman penjajah. Cerita ini dilengkapi dengan kisah nenekku yang mempunyai banyak teman noni Belanda ketika sekolah di SD Darmorini, di desa Tempelan.

Gudang Banyu yang menjadi Ikon Desa Tegal Gunung

Di desa Tegal Gunung, disamping Taman makam Pahlawan Blora, tidak jauh dari Bong Londo, berdiri bangungan menjulang tinggi yang masih berfungsi sampai sekarang. Gudang Banyu, demikian masyarakat Blora menyebutnya. Bangunan itu adalah Gudang tempat penampungan Air bersih untuk minum warga Blora.

Konon dibangun pada tahun 1920 –an dengan gaya arsitektur Belanda. Gudang Bayu ini berkapasitas menampung air 400m3,dengan menggunakan cara alami, gravitasi bumi dari sumber Mata Air Kajar, yang mengalir hingga sampai ke Gudang Banyu.

Yang menarik dari Gudang Banyu ini, bentuknya segi delapan, bergaya seperti benteng Belanda berkonstruksi beton cor-coran dengan ukuran bangunan 5m x 8m x 7 m dan yang mempunyai ruang –ruang di bawahnya untuk penampungan air. 

Saat itu Gudang Banyu dikelola oleh orang Belanda yang bernama Mr Barnas dan Mr Johan. Saat ini Gudang Banyu dikelola oleh Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) setempat.

Pernah juga sebelumnya dikelola oleh Dinas Pekerjaan Umum dan Kawasan Permukiman (DPUK). Untuk memenuhi kebutuhan masyarakat Blora bangunan ini diperbaiki dan menaranya dibuat semakin tinggi 20 m, dengan daya tampung yang lebih banyak. 

Tidak hanya perbaikan menara saja namun keseluruhan tubuh bangunan Gudang Banyu, dicat cemerlang terang menjadi ikon Desa Tegal Gunung serta menjadi tempat/pusat kuliner Blora yang memang terkenal lezat, murah dan “ngangeni” dirindukan oleh penduduk Blora dan para pendatang.

Sirene di Kantor Bupati

Sirene yang oleh masyarakat Blora disebut “ Nguuk “ itu menjadi daya tarik tersendiri, terutama bagi anak-anak kecil dan remaja terutama disaat bulan Ramadhan. 

Sirene itu dijadikan tanda berbuka puasa diiringi letusan mercon yang dibunyikan di Alun-alun tepat di depan Masjid Agung Bitunnur. Setiap menjelang Magrib, alun-alun dipenuhi banyak orang untuk mendengarkan suara Sirene juga lentusan mercon.

Sirene (Nguuk) sejak jaman Belanda (Foto Helo Blora. com)
Sirene (Nguuk) sejak jaman Belanda (Foto Helo Blora. com)

Sirine itu sudah ada sejak jaman kolonial Belanda dan masih berfungsi hingga sekarang, untuk menggemakan suaranya hingga radius 15 km, maka ditempatkan pada tiang yang tinggi. Sirene dibangun di Komplek Kantor Bupati, berada di sebelah pojok kiri, dulu tempatnya tepat di belakang “Depot Gajah” (warung kuliner yang terkenal di Blora) bersebelahan dengan Radio Siaran Pemerintah Daerah (RSPD) Gagak Rimang. Namun kedua tempat ini sudah pindah lokasi. 

Sehingga tiang Sirine dapat terlihat di balik pagar. Konon di zaman Belanda Sirine digunakan sebagai penanda adanya bahaya semisal ada musuh yang datang.

Tapi sekarang dijadikan tanda berbuka puasa juga jika ada upacara bendera di Alun-alun, teristimewa disaat Upacara memperingati HUT Republik Indonesia, serta hari besar Nasional yang lain..

Loji Kluntung Perumahan Belanda

Kabupaten Blora tidak hanya terkenal kayu jatinya yang sudah mendunia tapi juga terkenal menyimpan kekayaan Gas bumi dan Minyak. 

Tak mengherankan kalau di wilayah Kecamatan Cepu, termasuk Kabupaten Blora menjadi incaran Belanda, dan banyak orang Belanda tinggal disana. Peninggalan yang masih bisa kita lihat adalah Rumah Loji yang disebut Loji Kluntung.

Loji Kluntung di Cepu (foto Helo Blora.com)
Loji Kluntung di Cepu (foto Helo Blora.com)

Waktu itu berkisar tahun 1886 – 1942, banyak berdatangan orang dari Belanda dan menempati perumahan loji ini," Mulailah perusahaan migas Belanda beroperasi di Cepu yang disebut Dordtsche Petroleum Maatschappij (DPM)

Bangunan Loji Kluntung ada di Komplek perumahan Pusat Pengembangan Sumber Daya Manusia (PPSDM) Migas di Kelurahan Ngelo, kota Cepu, sangking terkenalnya kota Cepu karena minyak dan Gas buminya, banyak orang mengetahui tentang Cepu dari pada Kabupaten Blora.

Bangunan Loji yang atapnya dibuat melengkung setengah lingkaran membentuk dinding rumah (seperti model rumah di Jepang yang anti Gempa) Loji inipun dikenal anti peluru dan bom. Bahkan konon di saat peperangan terjadi ada perjanjian dalam peperangan Rumah yang berada di Wilayah penghasil minyak tidak boleh di Bom dari udara pun diserang di darat.

Terjadi ketika perebutan kekuasaan antara Belanda dan Jepang di Indonesia, warga Belanda yang masih berada di Blora menggunakan rumah loji tersebut sebagai tempat perlindungan perang karena mereka yakin berada di rumah loji akan aman dari serangan bom udara..

Bentuknya yang unik seperti kertas yang di Klutung (digulung) itulah sehingga dinamakan Loji Kluntung, sedangkan kata Loji menunjukkan Rumah dengan bangunan besar. Loji yang semula berjajar hingga 7-8 Rumah kini hanya beberapa saja, karena yang lain tidak terawat lagi.

Bruk Brosot

Tidak jauh dari Cepu tepatnya di Kecamatan Sambong Kabupaten Blora terdapat juga peninggalan pemerintah Hindia Belanda berupa jembatan kereta api yang dapat naik - turun Keberadaan lokomotif tua pada masa pemerintahan kolonial Hindia Belanda sangatlah penting, maka pembangunan jembatan itu berfungsi untuk lewat kereta api yang mengangkut para pekerja kehutanan pada masa itu, juga untuk mengangkut kayu – kayu jati terbaik dari Blora ke Cepu dan sekitarnya.

Oleh masyarakat Kecamatan Sambong jembatan kereta api ini dinamakan Bruk Brosot. Saat ini pengelolaan Bruk Brosot dilakukan oleh Perhutani Kesatuan Pengelola Hutan (KPH) Cepu. Stasiun awal untuk lokomotif tua ini berada di desa Ngelo Kecamatan Cepu.

Waduk sebagai sumber dan Penampungan Air

Ada dua waduk yang di bangun pada saat pemerintah Belanda, ditempat yang berlainan yaitu Waduk Tempuran berada di sebelah timur kota Blora, dibangun oleh pemerintah Belanda pada tahun 1918. Dan waduk Greneng yang berada di sebelah barat Blora tepatnya di desa Tunjungan dibangun pada tahun 1919.

Waduk Tempuran (Tribunnews.com)
Waduk Tempuran (Tribunnews.com)

Ke dua waduk itu untuk irigasi dan kebutuhan air pertanian masyarakat, dua waduk besar itu sungguh membantu masyarakat sehingga bisa bercocok tanam dan panen tepat pada waktunya. 

Saat ini ke 2 waduk tersebut dibudidayakan sebagai penghasil ikan air tawar dan tempat wisata yang mengasyikkan, dengan pemandangan alam nan indah, para wisatawan bisa menikmati kuliner aneka Ikan dan lalapan yang disajikan di pondok –pondok pinggir waduk atau di perahu kecil yang berjalan mengelilingi waduk.

Waduk Tempuran dengan Kuliner aneka ikan (Foto Tribunnews.com)
Waduk Tempuran dengan Kuliner aneka ikan (Foto Tribunnews.com)

Waduk Greneng di Desa Tunjungan (foto : Tribunnews.com)
Waduk Greneng di Desa Tunjungan (foto : Tribunnews.com)

Kantor Pegadaian di Ngawen dan Blora

Ngawen merupakan Kecamatan yang masuk wilayah Kabupaten Blora. Pada tahun yang sama Pemerintah Belanda mendirikan Kantor Pegadaian di Ngawen (yang kebanyakan penduduknya berdagang dan bertani, juga didirikan kantor yang sama di Blora tepatnya di desa Mlangsen). 

Ke dua kantor Pegadaian ini pada tahun 1911. Gaya bangungan Indisch Empire, terlihat dari sisi atap bangunan yang berbentuk runcing dan menjorok kedepan (tuitgevel) sangat kokoh .

Ciri khas bangunan gudang (pakhuizen) yang terkenal di masa itu biasanya pada bagian atasnya dicantumkan tahun pembuatan bangunan tersebut. Adanya Pegadaian untuk memenuhi kebutuhan keuangan masyarakat Kabupaten Blora dan Ngawen pada pemerintahan Kolonial Hindia Belanda saat itu.

Belanda juga memperhatikan Sektor Pendidikan maka dibangunlah beberapa sekolah di negeri jajahan, termasuk Kabupaten Blora yang masih ada hingga saat ini yaitu Sekolah Darmorini (dulu merupakan sekolah khusus wanita anak keturunan Belanda dan Pribumi yang termasuk golongan Priyayi). Juga di Kecamatan Banjarejo terdapat salah satu sekolah peninggalan pemerintah Kolonial Hindia Belanda yang sekarang menjadi SD Negeri 1 Banjarejo.

Kiranya masih banyak peninggalan dari Kolonial Belanda yang ada di Blora, adanya “Bong Londo” (Makam para Belanda) yang ada di desa Kunden menjadi saksi bisu yang menjadi bukti banyak orang Belanda yang tinggal di Tlatah Blora, yang masih sering dikunjungi oleh keluarganya.

Oleh Sr. Maria Monika SND

Penulis asli Blora 

20 Agustus 2022 Artikel ke-475

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun