Dia tidak merasa malu, sebab dalam keluarganya dia tidak pernah dididik kesopanan ataupun budi pekerti. Dia tidak pernah mau tahu apa itu tatakrama. Sebenarnya aku merasa kasihan padanya. Karena begitu berambisi untuk menaikkan derajat, dia menghalalkan segala cara untuk dapat meraih kedudukan di padepokan.
Bahkan sedapat mungkin dia bisa menduduki posisi pimpinan. Gejolak hati dan ambisi itu mengiringi setiap tarikan napasnya. Betapa dia ingin membebaskan diri dan keluarganya dari belenggu kemiskinan. Tapi karena salah langkah, dia menjadikan jiwanya terbelah. Tidak hanya mengabdi pada dua tuan, melainkan banyak tuan.
Bukankah telah tertulis dalam Kitab Injil, "Manusia tidak bisa hidup mengabdi dengan dua tuan." Tapi orang ini malah berbagi cinta dan nafsunya dengan banyak tuan. Sudah barang tentu dia tidak bisa hidup damai. Jiwanya terbelah dan nuraninya dimatikan oleh nafsunya sendiri.
 Dia tidak bisa membedakan antara cinta dan nafsu. Baginya kesenangan adalah cinta, nafsu juga cinta, demikian pula kepuasan. Sebagai akibatnya, hidupnya tidak bisa mengarah pada tujuan hidup dan kesejatian diri.
Sebenarnya dia sudah mendapat bimbingan dari Eyang Ambar Kenanga. Sebenarnya teladan yang diberikan oleh para cantrik dan semua penghuni padepokan di sini sudah cukup banyak, namun hatinya keras dan tertutup dari segala budi baik, dan kesadarannya dimatikan oleh permainannya sendiri dengan kuasa kegelapan.
 Dia selalu merasa bahwa apa yang dilakukannya sudah benar, dan ini sungguh cara hidup yang keliru. Namun dia tetap menjalaninya karena dia merasakan kenikmatan, dan dia menganggap semua itu adalah cinta.
Kucoba mendekati rohnya dengan aji rogoh sukma yang telah kuasai. Namun rohnya menolak, karena jiwanya sudah hitam legam oleh segala kebusukan yang telah dirancangnya. Aku hanya bisa memohon kepada Sang Hyang Widhi yang memiliki kuasa untuk mengubah dia, agar membukakan pintu hatinya untuk menerima rahmat Ilahi. Seandainya kesadarannya putih untuk memeluk kebaikan dan kebajikan, segalanya akan kembali bergantung pada pertobatan yang lahir dari kesadaran diri sendiri.
Setelah kututup kontemplelasiku dengan doa spontan permohonanku kepada Sang Hyang Widhi, kuhela napas panjang untuk menarik sukmaku dari lalang perjalanannya ke alam di luar kesadaran dan wadak diriku.
 Kembalilah jiwaku menyatu kembali pada budimu, dengan badanmu dan menginjak kembali nuranimu yang ada di pusat tubuhmu, dan kembalilah rohku pada badan menjadikan aku bergerak kembali. Seperti biasa, setelah berkontemplasi kugosok tanganku sampai hangat dan kuusapkan pada wajahku. Aliran panas energi itu memberikan kehangatan ke seluruh wajahku.