"Oh, Cah Ayu, aku tahu kau adalah Sangrama Tungga Dewi, ratu tunggal anak dari Maha Raja Airlangga. Aku mengenal Romo Prabu dan ibundamu. Di padepokan ini kau bisa menyempurnakan olah kanuragan dan olah kerohanian."
Kutatap wajah Nyi Ambar Kenanga yang sangat halus sumringah memancarkan aura ramah penuh kewibawaan namun sederhana, tulus, dan penuh rasa persaudaraan.
Sebelum sempat aku bicara, Nyi Ambar berkata, "Sanggra, kau boleh
 memanggilku Eyang."
"Eyang?" tanyaku ragu.
"Ya, eyang. Mengapa kamu ragu? Aku seumuran dengan Mpu Baradha dan
 Dimas Sekar Tanjung. Bukankah lebih pantas dipanggil eyang?"
"Ya ampun, kukira aku harus memanggil bibi, sebab Eyang masih sangat
muda."
"Oh, iya to, Ngger? Memangnya Eyang kelihatan masih muda? Sebenarnya ini karena latihan, dan latihannya seperti yang dilakukan oleh romomu dan Kakang Baradha. Coba perhatikan apa yang mereka lakukan?"
"Sepertinya memandang bulan purnama dan berkidung, atau enggar-enggar