Perutusan,  Misi  Jiwa  Kelana (4)
Cerita  sebelumnya :
Aku pun mulai melakukan tirakat supaya diberi petunjuk dan kewaspadaan lebih. Dan untunglah aku sudah menguasai ilmu halimun mawungkus, jadi aku bisa menyelimuti diriku dengan gumpalan awan sehingga tidak akan ada orang yang akan dapat melihat kalau aku pergi ke mana-mana. Aku akan menggunakan ajian ini agar bisa menolong warga desa untuk menangkap maling genthiri itu.
Siang ini aku mencari batang daun kelor dan pelepah pisang berikut daunnya, karena dalam meditasiku tadi pagi aku diberi petunjuk. Dan dalam penglihatan itu, maling genthiri akan beroperasi malam ini. ( Â Bersambung )
Kuusahan supaya seisi rumah Pak Kirno tidak curiga padaku, juga Sekar Kinasih yang tidur sekamar denganku. Batang dan dedaunan kelor dan pelepah pisang itu kusimpan rapat-rapat di bawah kolong tempat tidur.
Di desa itu mencari barang-barang itu amat mudah karena hampir di setiap kebun ada. Tanaman kelor selain daunnya dapat disayur bening dan rasanya enak juga punya manfaat lain yaitu untuk menambah produksi air susu ibu yang baru melahirkan. Selain bermanfaat untuk menolak teluh atau guna-guna, dan menghilangkan susuk.
Itulah khasiat kelor yang kudengar dari Eyang Narotama dan Eyang Sekar Tanjung, juga Ayahanda Prabu Airlangga dan Ibunda Ratu. Ketika malam tiba, aku mulai memasuki keheningan batinku. Intuisiku merasa laksana radar yang menangkap adanya sesuatu yang terdeteksi, dan aku merasakan bahwa malam ini akan terjadi perampokan yang dipimpin maling genthiri.
Â
Sehabis makan malam aku masuk dalam meditasiku. Sengaja aku tidak makan nasi dan hanya makan ubi jalar sebagai bentuk ulah tapaku. Karena keluarga Pak Kirno sudah tahu dan paham, mereka tidak pernah memaksaku untuk makan nasi.
Aku pun masuk kamar dan mulai melakukan samadi. Benarlah apa yang kurasakan. Ketika malam benar-benar dipeluk keheningan yang dalam, rombongan maling genthiri mendekati rumah penduduk, mungkin berjarak 20 rumah dari rumah Pak Kirno.
Hal ini dapat kurasakan dari getaran kulitku yang memanas. Lalu aku pun menyelubungi diriku dengan aji halimun mawungkus, sehingga aku bebas ke mana pun aku pergi tanpa dilihat orang.
Kubawa lembaran daun pisang dan batang daun kelor yang masih rimbun daunnya, aku berjalan bagai terbang mendekati rumah itu, tidak sampai lima menit aku sudah berada di tempat. Ternyata ada tiga orang yang akan merampok rumah itu, dua orang yang punya aji-aji manyusup cahya, dan yang lain tidak, hanya punya keberanian saja dan dia membawa parang yang tajam.
Rupanya mereka sudah menyirep semua orang yang tinggal di rumah itu agar tidur lelap. Mereka meyebarkan delu, dan seisi rumah pun terbuai dalam nyenyak tidurnya. Rupanya kedua orang itu sudah mulai matak aji dengan duduk bersila dan memulai mengeluarkan ajinya. Kubiarkan saja mereka melakukan semua itu.
Aku berdiri tak jauh dari mereka. Aku ingin tahu bagaimana mereka menggunakan ajian itu. Ternyata cukup rumit bagaimana mereka sampai sempurna menggunakan ajian maling genthiri manyusup cahya. Kubiarkan mereka sempurna menggunakan ajian dan masuk rumah hanya melalui bias cahaya lampu teplok. Sungguh mengagumkan badannya menyusup begitu ringan seperti asap yang masuk menusuk sinar cahaya.
Apa yang pernah kudengar dari cerita kini dapat kusaksikan dengan mata kepalaku sendiri. Kubiarkan apa yang dilakukan sementara seorang yang tinggal di luar berdiri sambil menengok kanan kiri takut ketahuan, aku mencoba mendekatinya, menggoda menjewer telinganya, dia ketakutan kuulangi lagi yang sebelah kiri, dia mulai grogi tapi tak berani bersuara. Kucubit kakinya, dia mulai ketakutan karena dia tidak tidak bisa melihatku, tapi bisa merasakan cubitan itu.
Aku melihat dia mulai terkencing-kencing, dia benar-benar takut tapi tidak berani berteriak. Parang yang dibawanya terjatuh dan kuambil. Karena dia tidak bisa melihatku, semakin aku ingin menggodanya dengan menyentuhkan parang itu ke hidunganya, dia benar-benar ketakutan sampai pingsan.
Sekarang aku tinggal menunggu dua pencuri yang sedang beroperasi itu menyikat barang-barang yang ada di rumah Pak Marto. Dua pencuri itu keluar melalui pintu karena dia membawa barang-barang yang dibungkus kain, begitu mereka keluar, kusabet dengan dengan selendang yang kupakai.
Â
Mereka kebingungan mencari dari mana arah sabetan itu tapi dia tidak bisa melihat di mana aku berada. Satu per satu mereka kupermainkan sehingga semua barang yang mereka bawa diletakkan. Kudengar mereka saling berbisik pelan karena takut kalau menimbulkan kegaduhan.
Â
"Kamu merasakan sabetan selendang, tidak?" tanya maling genthiri yang
  jangkung.
 "Iya, Kang. Mukaku disabet keras sekali, tapi tidak ada orang di sini."
"Min, Sarmin, kami sudah di luar!" bisik yang jangkung, memanggil
 temannya yang menunggu di luar.
"Iya, ya, Sarmin di mana, kok tidak melihat kita sudah keluar."
Mereka menuju ke tempat Sarmin tadi berada.
"Lho, Min...." kata maling yang pendek ketika menemukan temannya
 tergeletak tak sadarkan diri.
"Sepertinya ada orang yang mengganggu kerja kita malam ini."
Kubesarkan suaraku untuk menjawab mereka.
"Ya, ini aku yang mengganggumu.
Kalian sudah membuat masyarakat desa ini susah dengan mencuri dan
 merampok harta benda mereka."
"Siapa kamu?!" tanya mereka.
"Aku dayang penjaga desa ini yang tidak setuju dengan caramu mencari
 makan. Ayo, sana, kembalikan barang-barang yang telah kamu ambil!"
"Tidak, aku tidak akan mengembalikan barang-barang itu."
"Baik, kalau tidak mau mengembalikan, kau akan rasakan akibatnya."
"Tunjukan jati dirimu."
"Tidak perlu, orang sepertimu tidak perlu melihat wajahku."
"Kamu kira aku takut padamu?!
Meski suaramu kau besarkan, aku tahu kamu seorang perempuan," kata si
 pencuri jangkung.
"Justru itu. Walau aku perempuan, aku akan menolong penduduk desa dan
melawan maling yang menyengsarakan rakyat seperti kalian."
"Akan aku tunjukkan ilmuku bahwa aku bisa melawan kamu, ayo dimas kita
 matakaji,"sahut satunya.
"Kalau kalian ingin menantangku oke aku ladeni," jawabku tegas, "meskipun aku seorang perempuan aku tidak takut menghadapimu walaupun kamu memiliki ilmu maling genthiri manyusup cahya."
Mereka tampak kaget mendengar suara asliku dan mengetahui bahwa aku tahu ilmu yang mereka pakai.
"Ayo, Di, kita bersemadi."
"Ayo," jawab si jangkung.
Begitu mereka duduk bersemadi cepat-cepat kusabet dengan batang daun kelor dan kulempar potongan tunas pisang. Roh mereka yang belum siap sempurna menjadi lemas, membuat mereka tidak bisa berpikir lagi dan jatuh pingsan. Lalu kusandarkan mereka di pohon pisang. Dengan cara itu mereka lemas tidak bergerak.
Pagi menjelang diselimuti kabut. Embun masih menempel di dedaunan bak mutiara yang berayun-ayun, begitu jernih bening cemerlang. Penduduk mulai desa mengawali kegiatannya ketika ayam jantan mulai berkokok. Mereka siap pergi ke pasar, sawah, dan ladang sebagai tempat kerjanya.
Mereka berhenti ketika melihat maling genthiri tergeletak lemas. Mereka mengerubungi para pencuri itu dan membawanya ke balai desa. Mereka menyerahkannya kepada aparat untuk diadili. Ketiga pencuri itu lumpuh karena kekuatannya telah musnah.
Dari pengakuannya mereka menceritakan bahwa telah bertemu seorang perempuan yang menghajar dan melumpuhkan mereka. Berita itu menjadi pembicaraan masyarakat Klopo Duwur, bahwa ada wanita yang melumpuhkan tiga pencuri sekaligus, tetapi mereka tidak kenal siapa wanita itu. Dengan demikian aku bebas bergerak, karena jati diriku tidak dikenali  (  Bersambung )
Â
Oleh  Sr. Maria  Monika  SND
 14  Agustus, 2021
Artikel  ke 438
 Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H