Perutusan,  Misi  Jiwa  Kelana(3)Â
Cerita  sebelumnya :
"Oh, dengan senang hati. Nanti aku akan bilang sama Pak Karmo, ya, atau Pak Lurah sekalian agar aku boleh mengajar anak-anak, baca tulis di desa ini."
"Hore ... hore," teriak mereka. "Apa saya juga boleh ikut?" sahut mbah Karto.
"Boleh, Mbah, tidak ada kata terlambat untuk belajar. Saya malah kagum Mbah Karto punya semangat muda. Luar biasa masih mau belajar.
 ( Bersambung )
Saya senang, nanti saya akan ajak Sekar Kinasih untuk bersama-sama mengajar anak-anak dan penduduk desa yang mau belajar."
"Siapa Sekar Kinasih itu?" sahut Warni.
"Temanku satu perguruan di Liman Seto, saya juga mengajari para cantrik yang belum bisa baca tulis dan kini mereka sudah bisa. Sekar dan aku sama-sama tinggal di rumah Pak Kirno."
"Wah, kami beruntung sekali karena kamu tinggal bersama kami di desa ini."
"Ya kita sama-sama saling menguntungkan, kita harus siap berbagi kepada siapa saja, terutama ilmu pengetahuan, karena ilmu tidak ada yang bisa mencuri. Kalau kita belajar, kita akan semakin pintar, semakin bijaksana dalam menghadapi situasi. Saya juga banyak belajar dari penduduk desa ini, dari keramah-tamahannya, kegotong royongannya, guyup rukun, tidak pernah membedakan siapa pun. Saya sungguh mengagumi penduduk desa ini yang rajin dan guyup rukun. Banyak sekali pelajaran yang bisa saya petik di sini."
"Kapan waktu belajar itu akan dimulai?"
"Secepatnya," jawabku, "begitu ada izin dari Pak Lurah, kita langsung mulai."
"Wah sungguh senang ... senang sekali hatiku, mau belajar baca tulis," ucap Warni berulang-ulang."
"Aku juga sudah tidak sabar," sahut Suti.
"Baik selesai makan siang ini kita bertiga menghadap dan mohon restu Pak Lurah, bagaimana?"
"Setuju!"
"Setuju! Ayo kita berkemas. Nanti kita lanjutkan lagi selepas jam tiga."
Kami bertiga bergegas pergi ke rumah Pak Lurah. Kebetulan Bu Lurah sendiri yang menyambut kedatangan kami.
"Selamat siang, Bu Lurah, perkenalkan saya Sanggra. Saya tinggal dirumah Pak Kirno."
"Oh, ayo masuk, silakan duduk. Oh, jadi ini, to, yang namanya Ning Sanggra? Ada perlu apa?"
"Mau berkenalan dengan Ibu Lurah sekalian ingin bertemu Bapak untuk mohon restu dan mohon izin agar saya diperkenankan untuk mengajar baca tulis kepada para penduduk, terutama kepada anak-anak perempuan."
"Oh begitu, saya pribadi sangat setuju Ning Sanggra. Jadi, kamu bisa membaca dan menulis, ya. Sungguh luar biasa, asalmu dari mana Ning, orangtuamu kerja di mana?"
"Saya berasal dari Daha, orangtua saya sebagai Demang."
"Oalah, beruntung sekali desa kami kedatangan dirimu, bisa belajar membaca dan menulis, Pak ... Bapak, ini ada tamu, Pak," panggil Bu Lurah kepada suaminya.
Pak Lurah keluar ke ruang tamu dan bergabung dengan kami.
"Oh, ada tamu, to, ada apa ini kok janur gunung. Ning Sanggra, Suti, dan
Warni datang kemari?"
"Ini, lho, Pak, Ning Sanggra minta restu agar Bapak mengizinkan dia untuk mengajar anak-anak perempuan dan penduduk desa. Kalau aku setuju saja. Bapak setuju juga, to?"
"Itu gitu to maksudnya, saya setuju sekali, syukur desa kita kedatangan Sanggra, ya, jadi penduduk kita bisa terbantu tidak buta huruf. Terima kasih, Ning Sanggra. Mau dimulai kapan?"
"Secepatnya, Pak Lurah. Jika sudah ada restu, besok pagi pun bisa. Pagi pukul 08.00-10.00 saya dan teman saya Sekar Kinasih akan mengajar anak-anak, dan malamnya pukul 19.00-21.00 saya akan mengajar orang dewasa. Apa Bapak Lurah setuju?"
"Yah aku sangat setuju, hari ini akan kuumumkan pada penduduk."
Tanpa kesulitan esok paginya aku dan Sekar Kinasih mengajar anak-anak pada pagi esok harinya ada seratus anak yang berkumpul di pendopo kelurahan. Ini pengalamanku yang pertama untuk mengajar anak-anak sebanyak ini.
Syukurlah anak-anak mudah diatur. Kami menggunakan papan kayu sebagai papan tulis. Anak-anak berpraktik menulis di atas tanah dengan ranting kayu yang didapat dengan mudah di sekitar halaman kelurahan.
Anak- anak bisa dibagi dalam kelompok dan berlatih. Mereka dengan cepat menangkap apa yang kami ajarkan, hal ini yang membuat kami berdua bahagia dan bersemangat karena anak-anak bersemangat dan senang belajar."
Malam harinya kami mengajari para remaja dan orangtua, jumlahnya kira-kira 80 orang. Sebagaimana kami mengajar anak-anak tentang pelajaran awal menulis dan membaca huruf, malam ini kami terapkan hal serupa kepada kepada. Hanya sayangnya, mereka tidak dapat mempraktikkan menulis, sehingga latihan menulisnya dilakukan di awang-awang. Atas kesepakan bersama untuk pelajaran orang tua diubah waktunya tidak pada malam hari, melainkan pukul 16.00-18.00 supaya bisa praktik menulis di tanah ketika hari masih terang.
Demikian hari demi hari pelajaran bagi anak-anak dan para remaja dan orang tua berjalan lancar mereka bergembira karena kemajuan sangat pesat dan penduduk desa bebas buta huruf. Bapak dan Ibu Lurah sangat senang melihat perkembangan ini. Aku dan Sekar Kinasih juga mengalami kebahagiaan luar biasa karena mereka sudah bisa membaca dan menulis dengan lancar. Semangat dan ketekunan mereka untuk belajar dan mengembangkan diri membuat mereka mengalami kemajuan yang pesat.
Suatu malam kami dikejutkan oleh suara gaduh orang berlari-lari, padahal saat itu tengah malam. Para penjaga ronda malam mengejar seseorang. Ternyata ada pencuri. Paginya berita tentang pencurian itu telah tersebar ke tengah warga desa, dan penjagaan pun diperketat.
Mereka menyebutnya "maling genthiri" rumah orang yang kecurian tidak ada tanda kalau mereka kecurian karena mereka disirep dan tertidur pulas, pintunya pun juga tidak ada yang terbuka. Konon ada cerita bahwa "maling genthiri" menggunakan "delu" (tanah gumpalan untuk bantal mayat) yang meninggal pada malam Jumat Kliwon sangat manjur untuk nyirep orang agar tertidur pulas.
Si pencuri cukup melewati "bias sinar lampu" untuk masuk ke rumah, sehingga meskipun pintu tertutup rapat, si maling tetap bisa masuk karena mereka menggunakan ajian "manyusup cahya". Kejadian pencurian ini sudah berkali-kali terjadi dan penduduk desa menjadi resah.
Aku harus membantu mereka dengan diam-diam. Kejadian semacam ini juga pernah membuat salah satu desa di wilayah Kerajaan Daha heboh. Romo Prabu memerintahkan Eyang Mpu Narotama untuk membereskan persoalan ini. Aku diberi tahu bahwa maling genthiri punya kelemahan jika dipukul batang daun kelor dan pelepah daun pisang.
Aku pun mulai melakukan tirakat supaya diberi petunjuk dan kewaspadaan lebih. Dan untunglah aku sudah menguasai ilmu halimun mawungkus, jadi aku bisa menyelimuti diriku dengan gumpalan awan sehingga tidak akan ada orang yang akan dapat melihat kalau aku pergi ke mana-mana. Aku akan menggunakan ajian ini agar bisa menolong warga desa untuk menangkap maling genthiri itu.
Siang ini aku mencari batang daun kelor dan pelepah pisang berikut daunnya, karena dalam meditasiku tadi pagi aku diberi petunjuk. Dan dalam penglihatan itu, maling genthiri akan beroperasi malam ini. ( Â Bersambung )
Â
Oleh  Sr. Maria  Monika  SND
13 Â Juli. 2021
Artikel  ke 436
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H