Sementara suasana batin dan nuraniku masih berkecamuk dengan berbagai pertanyaan dan permasalahan, tiba-tiba Ayahanda Prabu melanjutkan titahnya, "Tataplah wajah calon ratumu, wahai rakyatku, sekarang puaskanlah kalian melihatnya, karena untuk beberapa tahun ini, putriku akan pergi jauh untuk membekali dirinya dalam olah kanuragan dan olah kerohanian.
Meskipun putriku seorang perempuan dan tetap dibalut kelembutan sebagai perempuan, namun dia akan tahan banting dalam segala situasi dan punya keperkasaan seperti seorang laki-laki. Besok putriku akan pergi, sertailah dengan restu kalian agar selamat sampai tujuan dan jauh dari marabahaya."
"Sendika dawuh, Gusti Prabu, sendika dawuh, Gusti Prabu," teriakan rakyat menggelegar menyambut titah tuannya. Masih dilanjutkan lagi, "Hidup Tuan Putri Mahkota Rakryan Mahamantri I Hino Sanggramawijaya Dharmaprasada Uttunggadewi!" kata-kata itu diteriakkan berkali-kali.
Aku sangat terharu dan kagum menyaksikan semua itu, rakyat yang tulus, apa adanya. Seruan itu karena luapan sukacita dan cinta kepada junjungan yang mencintainya, bukan karena paksaan.
Sesungguhnya keinginan rakyat hanya satu, hidup damai tenteram, cukup sandang pangan, dan terlindungi. Hal-hal lain yang diperjuangkan dalam hidup ini seperti saling percaya, hidup bergotong-royong, rasa sosial, saling memberi dan menerima, guyup rukun, hidup seperti saudara akan terwujud manakala mereka sadar untuk hidup sebaik mungkin. Hidup ini hanyalahsekadar mampir minum, jadi kebajikan meski dijalankan."
Tak terasa waktu sudah menunjukkan jam 3 sore, rombongan warga kerajaan kembali ke istana, lambaian tangan romo Prabu dan Ibunda ratu tak- putus-putus, juga kulambaikan tanganku sambil menahan air mata haru, meninggalkan rakyat yang kukasihi dan mengasihiku.
Sesampai dirumah, kami minum teh bersama, kemudian membasuh diri. Aku mandi bunga setaman untuk membersihkan diri sekaligus ruwatan. Karena hari itu aku resmi menyandang gelar Rakryan Mahamantri I Hino Sanggramawijaya Dharmaprasada Uttunggadewi.
Sebagai putri mahkota yang membantu tugas Romo Prabu sekaligus belajar tentang ketatanegaraan. Tugas yang berat, tapi aku memohon izin kepada Romo dan ibundaku supaya hidup bersama rakyat kecil di suatu tempat, dan romo mengizinkan aku untuk ke tempat Maha Mpu Baradha.
Seusai ruwatan Ibunda memberikan tiga kain bermotifkan sido mukti, kawung, dan parang kusumo, dan tujuh selendang untuk kemben atau penutup bahu, tidak lebih. Semua telah diatur di dalam tas lontar oleh Eyang Sekar Tanjung. Aku hanya boleh memakai barang itu dan tidak boleh meminta kepada siapa pun untuk busanaku.
"Supaya awet, cucilah pakaianmu itu dengan buah klerak, dan simpan di tas lontarmu bersama bunga-bunga kering," demikian nasihat Ibundaku.
Romo Prabu juga berpesan bahwa aku tidak boleh menampakkan diri sebagai putri raja, harus hidup sederhana, makan apa adanya, dan berpuasa.