Hijrah  ke  Blora  ( 2 )
Cerita  sebelumnya :
Sedangkan Ibunda Ratu memberikan nasihanya begini, "Kebijaksanaan adalah laku tapa terus-menerus dalam menerapkan setiap pengalaman hidup, seseorang harus bisa mengolahnya menjadi rasa syukur, yang selalu mengalir dari nurani menuju Sumber air Telaga Sejati Sang Hyang Widhi, sebagai penguasa kehidupan. Â ( Â Bersambung )
Oleh karena itu kebijaksanaan mahal harganya, Anakku, harus terus dicermati, dilatih, dan dilaksanakan sampai kita menghadap Yang Kuasa. Seperti Raja Salomo, putra Raja Daud yang terkenal dalam kebijaksanaan. Yah, lebih baik memiliki kebijaksanaan daripada harta benda.
 Kebijaksanaan akan membuat kita waspada, ingat akan hukum Tuhan, hukum alam semesta dan mampu menyimak serta menghidupi apa yang didengungkan nurani kita. Jangan asal bicara, bertindak tanpa dipikir dan direfleksikan dulu baik buruknya.
 Orang yang bijaksana tidak akan terantuk dua kali pada kesalahan yang sama. Kebijaksanaan mengharumkan hidup kita sebagai pujian akan segala keagungan Tuhan."
Pagi sampai siang kami kelililing istana, dan tepat pada pukul 12.00 kami berhenti di alun-alun utama yang berada tepat di tengah kerajaan. Di situ terdapat sepasang pohon beringin hijau dan putih yang menaungi orang-orang dan para prajurit yang berteduh setelah berjalan jauh atau gladi raga untuk olah kanuragan.
Pohon beringin itu juga memperindah suasana di alun-alun, kehadirannya seperti memberikan aura kewibawaan tersendiri. Setiap pukul 12 semua rakyat sudah menerapkan kebiasaan masuk dalam suasana hening dan mengucap doa, mensyukuri anugerah yang telah diterima dari Sang Hyang Widhi sampai tengah hari.
 Kira-kira lima belas menit Romo Prabu, mengumumkan sesuatu yang tak kuduga sebelumnya, bahwa siang itu aku diberi gelar baru. Demikian Romo Prabu bertitah kepada rakyat yang memenuhi alun-alun, "Rakyatku yang kukasihi, siang ini menjadi siang yang bersejarah, setelah dari pagi saya bersama permaisuri mengajak Sanggramawijaya Tungga Dewi berkeliling istana dan melihat bagaimana kehidupan masyarakat Kahuripan, siang ini saya akan memberi gelar baru pada putriku yang menjadi putri mahkota dan calon pewaris takhta Kerajaan Kahuripan. Gelarnya adalah Rakryan Mahamantri  I Hino Sanggramawijaya Dharmaprasada Uttunggadewi.
"Semoga kalian semua dapat menerimanya dan membantunya jika kelak dia menjadi ratumu. Dan hari ini nama ini akan kuukir prasasti Cane (tahun 1021)."
Suara sorak-sorai dan tepuk tangan bergemuruh seperti meruntuhkan jantungku, aku sungguh tidak menyangka Ayahanda Prabu mengumumkan hal ini. Bahkan, tanpa diumumkan pun rakyat sudah tahu bahwa aku putrinya.
"Aduh Gusti, penguasa Jagad Dewa Batara, sesungguhnya aku tidak ingin memangku jabatan ini. Bukannya aku tidak mau bertanggung jawab, tapi aku merasa ada panggilan lain yang mengusik hatiku, yang hendak kuturuti dan kuwujudkan entah kapan.
Keinginanku hanya ingin membantu tugas Ayahanda Prabu dan memjadi anak yang baik, serta menjaga adik kembarku tumbuh menjadi anak-anak berbudi, mereka sekarang masih kecil, sedang lucu-lucunya kuajak bermain, tapi dengan terpaksa nanti malam terpaksa kutinggalkan."