Pengalaman penglihatan itu mengesan begitu medalam, di lubuk nubariku. Bahwa di dalam hidup ini segala perbuatan kita begitu bermakna di hadapan Sang Murbeng Jagad. Perbuatan kitalah yang membuat kita dekat atau menjauhkan, bahkan memisahkan diri pada Tuhan, Allah Raja Semesta Alam. Sejatinya Sang Hyang Widhi ingin memeluk setiap jiwa dalam kedamaian dan kebahagiaan dalam kerajaan-Nya, namun dosa kita yang membuat kita menjauh dari Dia.
Dari pengalaman penglihatan itu aku banyak belajar mengenai kesejatian hidup, awal dan tujuan manusia, serta bagaimana mengisi kehidupan ini dengan 'pikiran perkataan, perbuatan yang jauh lebih dalam kebenaran, kebaikan dan kesempurnaan', agar jika jiwa berpisah dari raganya akan kembali ke citranya, dipeluk dalam kebahagiaan abadi di Nirwana, bersatu dengan Sang Khalik.
Setiap pikiran, perkataan, perbuatan yang baik bagi diri sendiri maupun sesama akan mendapat berkat dan keutamaan surgawi. Namun apabila yang terjadi adalah sebaliknya, itu akan mendatangkan kutuk yang mejauhkan diri kita dari Sang Khalik. Setiap orang bertanggung jawab penuh terhadap segala pikiran, perkataan, dan perbuatannya selama masih mengembara di dunia ini.
Pencerahan kudapat dalam laku tapaku bahwa hidup adalah sebuah perjuangan yang bermakna. Memang pengaruh buruk sering begitu cepat menyebar, dan memengaruhi orang lain dan lingkungan, sedangkan perbuatan baik seolah sulit berkembang. Akan tetapi, dengan kekuatan persatuan Sang Sumber Kebenaran, hal yang baik dan benar akan bertahan dan menyelamatkan diri sendiri maupun sesamanya.
Hari terakhir laku tapaku, rasanya Mpu Barada membawa aku ke tempat semula. Eyang Mpu berjanji akan mendampingi aku dan mengawasi kerja Lembu Suro. Setelah berpesan dan memberi wejangan padaku, Eyang Mpu menghilang dari hadapanku.
Setelah berpuasa pati geni, rasanya tubuhku segar, karena jiwaku merasa begitu lebih segar, meskipun aku tidak makan tujuh hari tujuh malam. Malam ini adalah malam ketika Lembu Suro akan melaksanakan permintaanku.
Aku kembali tersadar dan segera membersihkan diri dengan mandi kembang tujuh rupa. Setelah minum teh manis, barulah aku mencicipi kentang rebus sehingga perutku tidak terkejut untuk menerima makanan yang masuk. Juga pisang membuat perut dingin dan kenyang.
 Sore jam enam seturut permintaanku, Lembu Suro berangkat dari istana Romo menuju Gunung Kelud dengan kawalan 40 punggawa istana. Setiba di sana dia mendaki Gunung Kelud dengan kecepatan kilat, tentu saja kekuatannya bukan sembarangan. Para punggawa berpencar ke pos masing-masing untuk menunggu kerja Lembu Suro.
Sore menggayuh petang, petang pun merambat menyambut malam. Di tengah malam yang gelap gulita terasa menegangkan. Semoga Lembu Suro gagal dalam melaksanakan pekerjaannya dan batal untuk mempersuntingku, begitu doaku dalam hati. Rupanya bukan hanya aku yang merasakan hal itu. Romo Prabu, Ibunda Ratu, Paman Narotama, dan Bibi Sekar Tanjung juga merasakan hal yang sama.
Romo Prabu sendiri punya rencana, tak peduli usaha Lembu Suro itu berhasil atau gagal, secepatnya aku akan dikirim ke padepokan Eyang Mpu Barada. Itulah sebabnya, sejak aku bertapa mereka sudah mempersiapkan pakaian dan perbekalan untuk kepergianku.
Rasanya aku tidak sabar menunggu pagi. Malam itu aku memakai jubah dan cadar putih, memacu kudaku, Gagah Lintang, menuju Gunung Kelud. Gagah Lintang berderap menembus malam. Ajaibnya, kurang dari satu jam kami sudah sampai ke tujuan.