Pada ulang tahunku yang kedua belas, aku mendapat hadiah kuda putih dari Romo Prabu. Kudaku yang gagah dan tampan ini kunamai "Kuda Spiritha." Nama yang bagus karena cocok dengan kudaku yang lari dengan penuh semangat. Matanya jernih memancarkan kesiapan ketika aku mengajaknya mengelilingi istana atau menyusuri desa-desa dan menembus hutan rimba.
Tak jarang aku pergi bersama dayang untuk berburu di hutan atau sekadar mengejar dan menangkap kupu-kupu dan capung, pergi sampai jauh meninggalkan istana dan lupa waktu makan dan istirahat. Kadang Romo dan ibunda jengkel, tapi entah bagaimana, mereka memaklumiku. Bahkan raut wajah mereka sangat bahagia ketika melihatku bahagia karena berhasil menangkap kupu-kupu atau capung. Syukurlah aku punya orangtua yang bijak.
Meski aku anak seorang raja, Ayahanda Prabu dan Ibunda Ratu tidak membiarkan aku bermanja-manja dalam kemalasan. Mereka memberiku kesempatan untuk belajar, berlatih, dan mencoba apa saja. Kehadiran Paman Narotama dan Bibi Sekar Tanjung sebagai patih dan istri patih di istana membantuku untuk belajar olah kanuragan.
Aku mempelajari seluk-beluk kegiatan kewanitaan seperti meramu jamu, lulur, bedak, dan membuat cem-ceman untuk rambut dari Bibi Sekar Tanjung. Beliau mengajariku dengan penuh kesabaran. Sementara untuk olah kanuragan, seperti pencak silat, memanah, dan semua bentuk latihan bela diri, aku belajar dari Paman Narotama.
 Aku masih ingat, bagaimana aku memegang gandewa yang terlalu besar untuk tubuh kecilku yang masih berumur enam tahun. Hampir sebulan penuh aku hanya berlatih menyesuaikan diri memegang gandewa dan mencari sasaran yang tepat untuk bidikanku. Aku masih kecil, terlalu kecil bahkan, untuk berlatih semua itu. Tapi karena kemauanku yang keras dan pantang menyerah, akhirnya mereka mengalah dan mengabulkan permintaanku.
 Dengan tangannya sendiri Paman Narotama melatih dan melemaskan tanganku sehingga terbiasa untuk memegang gandewa dan membidik. Dengan dorongan dari Paman Narotama yang penuh kesabaran, aku juga berhasil memanah tepat ke sasaran.
Kini setelah tiga tahun belajar memanah dan aku sudah cukup besar, aku berani memanah sendiri tanpa bimbingan Paman Narotama. Latihan-latihan kanuragan, olah karohanen, meditasi, refleksi senantiasa kulakukan karena semua itu mengolah jiwa ragaku untuk sigap, waspada, dan hanya tertuju pada hidup yang benar.
Didikan dari Romo Prabu dan Ibunda Ratu kurasakan dengan penuh kasih sayang yang tulus. Rasa tanggung jawab dalam setiap tugas ditanamkannya pada diriku. Meskipun aku seorang calon ratu, aku tetap diberi tugas untuk menyelesaikan urusan rumah tangga, antara lain membersihkan tempat tidur, menyapu keputren, dan mencuci tempat makanku sendiri.
Aku tidak boleh bergantung pada para dayang atau biyung emban. Namun, setiap kali aku melakukan pekerjaan rumah tangga, kalau sampai mereka melihat, mereka akan segera mengambil alih. Tapi setelah kujelaskan bahwa aku harus melakukan semua itu, akhirnya mereka mau mengerti. Ibunda Ratu pun menjelaskan kepada mereka, dan akhirnya mereka membiarkan aku melakukannya.
Keteladanan kerukunan, keadilan, dan sikap demokratis yang terjadi di lingkungan istana sungguh membuatku kagum. Romo Prabu Airlangga menanamkan sikap itu di kalangan keluarga dan seisi istana. Mungkin ini tidak terjadi di tempat lain.
 Tidak ada seorang ratu atau calon ratu yang boleh mengerjakan sendiri segala sesuatunya. Dia pasti selalu dilayani bahkan minta dilayani. Tapi tidak demikian di istana Romo Prabu. Semua harus bisa bekerja untuk memenuhi kebutuhannya sendiri, tak peduli itu raja, ratu, dan calon ratu. Ini semua bertujuan agar semua orang merasakan apa yang dilakukan oleh orang lain atau dalam hal ini rakyat jelata.