Shalom para  pembaca  yang  budiman  dan  rekan  Kompasianer salam  sehat  dan  berkat  Tuhan. Mulai  hari  ini  saya  akan  menghadirkan  cuplikan  dari  Novel  saya  yang  berjudul  "  Semburat Putih  Pelangi  Kasih "  semoga  berkenan  membaca  dan semoga  terinspirasi.  Salam  sehat  dan  doaku, berkat  Tuhan  melimpah  selalu.Â
Â
Â
Gua  Garba  1
Kutatap pelangi, indah melengkung membelah cakrawala. Setiap kehadiran pelangi memberi rasa damai di hatiku, goresan kenangan yang penuh makna,warna pelangi nan indah, lambang warna-warninya gerak kehidupan yang meski dihidupi dan dijalani setiap insan. Warna pelangi adalah bias mentari yang terurai oleh rintik gerimis. Sebagaimana Mentari cinta Sang Hyang Widi yang terahmati hujan rahmat-Nya senantiasa memberi keindahan dalam setiap anugerah kehidupan pada setiap insan.
Warna pelangi warna-warni, apabila diputar begitu cepat warna-warni itu akan menjadi putih. Itulah tujuan hidup; meski penuh warna, hendaknya menjadi putih tertuju dan terpaku pada tujuan putih suci sang Ilahi.
Kesejatian warna sebenarnya berasal dari satu warna yakni BENING dari cahaya Matahari, dan menjadi tujuh warna pelangi itu. Jika dirinci menurut teori warna dalam seni rupa akan terdapat dua jenis warna yang bersifat terang cenderung putih dan gelap cenderung hitam yang disebut juga hue, dan intensitas warna dingin dan warna panas.
Jika seluruh warna dikelompokkan akan menjadi tiga warna pokok, yaitu warna primer yang terdiri dari kuning, merah, dan biru. Percampuran warna pokok menjadi warna sekunder jika kuning dan merah dicampur akan menjadi warna jingga, biru dan kuning menjadi hijau, biru, dan merah menjadi nila (purple), jika birunya lebih banyak akan menjadi ungu (violet). Warna sekunder masih bisa dicampur lagi menjadi warna tersier.
Jingga dan hijau akan menjadi cokelat kuning, nila dan hijau akan menjadi cokelat biru, jingga dan ungu akan menjadi cokelat merah. Dari warna tersebut masih ada warna pengikat atau penyekat yakni warna putih dan hitam sehingga seluruh warna ada dua belas warna jika ungu dan nila menjadi satu warna. Betapa mengagumkan warna-warni itu dalam semesta memiliki arti, namun bersumber pada satu warna yakni warna Bening.
Hidup adalah prasasti kasih yang penuh warna yang ditorehkan oleh Sang Hyang Widhi, selaku pelukis sejati, penguasa alam semesta dan bumi ini yang telah menganugerahkan kesuburan, tanah dan kerajaan yang gemah ripah loh jinawi. Dianugerahkan kepada segala makhluk, juga kepada Sang Maha Raja Ayahanda Prabu Airlangga.
Oh Gusti penguasa jagad raya Dewa Bathara, sembahan junjungan hamba, pelangi begitu indah melambangkan warna-warninya kehidupan yang harus disyukuri dan diperjuangkan. Agar persatuan raga dan sukma jadi selaras untuk memuji dan menyembah-Mu dalam setiap alunan dan tarikan napas. Tarian jiwaku selalu menarik dan menuju kepada-Mu, karena Dikaulah asal dan sumber segala keabadian. Penguasa Gua Garba yang melahirkan manusia-manusia yang punya nurani untuk mengembangkan kebenaran dan kebaikan yang berasal dari-Mu sendiri.
 Dia adalah Sabda Yang Mengadakan dan Meniadakan, yang Maha Mengatur dan Maha Melayani, Maha Awal dan Maha Akhir, Maha Kasih, Maha Agung, dan Maha Wenang Sifat Kasih-Mu memancarkan Maha Rahim, Maha Pengampun, yang selalu membuka pintu maaf bagi setiap insan yang rindu perdamaian kembali kepada-Mu. Dia Maha Pengampun yang selalu membuka hati dan astanya untuk memeluk setiap anak-anak-Nya untuk pulang kembali meskipun banyak dosa dan kesalahan.
Itulah harkat Sang Khalik nan Maha Suci asal dan tujuan manusia yang telah mengatur gua garba secara unik sehingga mampu memeluk dan memelihara setiap kehidupan. Keluhuran dan kewenang-Mu memancarkan Mahakuasa-Mu. Sifat kasih-Mu dan kewenangan-Mu memunculkan sifat Maha Adil dan Mulia. Kerahiman-Mu dan kemahakuasaan-Mu memancarkan sifat Maha Melindungi, Menyelamatkan.
Maha Kuasa-Mu dan Maha Adil-Mu memancarkan Maha Bijaksana. Maha Mulia serta Maha Rahim-Mu memancarkan Maha Sabar. Oh betapa sempurna-Nya Dikau dalam segala sifat-sifat-Mu, yang semua dipenuhi kerinduan untuk menyelamatkan manusia agar kembali ke pangkuan-Mu sebagai Citra Tri Tunggal Yang Maha Kudus.
Manusia adalah titah, disabdakan untuk ada, meski harus menjalani kehidupan dan kehendak-Nya. Bukan sekadar takdir, karena Dia selalu memberi dan membebaskan setiap umat-Nya untuk membuat pilihan, untuk mengolah rahmat dan untuk meraih puncak kesucian hidup. Dia asal dan tujuan dari kebahagiaan. Manusia yang hidup di atas bumi ini melalui peziarahan untuk selalu menuju dan tertuju pada kebahagiaan Nirwana, yang menjadi keinginan para Bestari dan manusia untuk berada di sana.
Pertiwi ini adalah "gua garba" yang senantiasa melahirkan kehidupan baru, dan siap memangku serta memberi makan dan kehidupan kepada setiap makhluk yang dilahirkannya. Pertiwi adalah ibu bumi yang siap dibajak, digaru, diluku untuk menumbuhkan benih yang akan membuahkan rezeki dan santapan bagi anak-anaknya.
Pertiwi yang siap menumbuhkan kesetiaan pada setiap pohon seperti sifatnya, yang menghasilkan bunga dan buah sesuai jenisnya. Pertiwi adalah ibu yang selalu memberi dan tak berharap kembali yang senantiasa bermurah hati kepada anak-anaknya, yang menunjukkan dan memberi pelajaran tentang kesetian alam yang murah hati, ketaatan pada hakikat hidup dan pertumbuhannya.
Pertiwi adalah ibu, yang memberi keharuman dari bunga-bunga yang ditumbuhkannya, yang mendidik anak-anaknya untuk menjadi bijak mencintai dan mengolah alam, agar Pertiwi tetap lestari mengidungkan "harmoni kehidupan." Pertiwi senantiasa membimbing anak-anaknya bersama angin sabda yang memberi hawa kehidupan. Yang membuat segala isi bumi serta makhluk hidup, bergerak, bertumbuh menuju keindahan. Untuk dapat dinikmati setiap insan yang berhati penuh syukur. Membawa jiwa untuk memuji kebesaran Sang Khalik, asal dan tujuan keabadian.
Pertiwi ... oh, pertiwi merengkuh hijau kesuburan, yang dipeluk Bapa langit membiru cinta. Dalam ketinggian angkasa yang mengajak jiwa meraih dan menuju ketinggian keabadian. Di sana ada biru cinta yang tidak pernah pudar. Menawarkan cinta tanpa syarat dari Bapa Surgawi, yang tidak bisa dimengerti oleh hati dan iman serta budi yang jauh dari Terang Roh Suci.
Pertiwi senantiasa memberi dengan murah hati untuk berbagi, setia melayani dan menghidupi anak-anaknya. Pertiwi selalu membuka dan menunjukan dengan tanda-tandanya, agar anak-anaknya menemukan jalan kehidupan dan kebenaran. Asalkan setiap makhluk mau membuka nurani membaca sabda lewat jagat raya ini. Yah ... Pertiwi selalu memberi dengan murah hati. Tapi mengapa banyak anaknya sering menyakiti, menguras habis isi bumi, merajah dan menjarah Pertiwi sepuas hati demi keuntungan pribadi tak ada belas kasih pada Pertiwi ibu bumi sejati?
Pertiwi sering menangis, karena dikuras sampai habis. Meskipun tanda-tanda alam telah memberi peringatan, di mana-mana tanah longsor, banjir bandang, gempa bumi, gunung meletus, Tsunami, adalah tanda Pertiwi menderita ingin mengingatkan anak-anaknya yang menghuni bumi. Tapi sadar sejenak, kemudian merusak lagi.
Pertiwi hanya bisa menangis, menangis, dan menangis. Apalagi jika banyak kehidupan dirusak karena aborsi. Mereka tidak menghormati arti anugerah kehidupan lagi. Aborsi adalah puncak kekezaman insani karena membunuh janin yang belum bisa membela diri. Mengapa ... wanita dan pria tega berbuat nista kemudian membunuh benihnya, anaknya sendiri dengan penuh kekezaman dan membekukan nurani untuk menguakkan dosa. Dosa, dosa dan dosa yang selalu jauh dari KEHIDUPAN.
Kehidupan di alam fana dan baka, kehidupan insani dan yang ilahi. Karena nurani putus dari sumbernya yakni Sang Khalik pusat kesejatian cinta yang melihat semuanya dengan penuh kesedihan. Karena setiap dosa adalah kematian yang menusuk dan mendera kesucian-Nya. ( Â Bersambung )
Oleh :  Sr. Maria  Monika  SND
12 Â Juli, 2021
Artikel ke : 399
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H