Itulah harkat Sang Khalik nan Maha Suci asal dan tujuan manusia yang telah mengatur gua garba secara unik sehingga mampu memeluk dan memelihara setiap kehidupan. Keluhuran dan kewenang-Mu memancarkan Mahakuasa-Mu. Sifat kasih-Mu dan kewenangan-Mu memunculkan sifat Maha Adil dan Mulia. Kerahiman-Mu dan kemahakuasaan-Mu memancarkan sifat Maha Melindungi, Menyelamatkan.
Maha Kuasa-Mu dan Maha Adil-Mu memancarkan Maha Bijaksana. Maha Mulia serta Maha Rahim-Mu memancarkan Maha Sabar. Oh betapa sempurna-Nya Dikau dalam segala sifat-sifat-Mu, yang semua dipenuhi kerinduan untuk menyelamatkan manusia agar kembali ke pangkuan-Mu sebagai Citra Tri Tunggal Yang Maha Kudus.
Manusia adalah titah, disabdakan untuk ada, meski harus menjalani kehidupan dan kehendak-Nya. Bukan sekadar takdir, karena Dia selalu memberi dan membebaskan setiap umat-Nya untuk membuat pilihan, untuk mengolah rahmat dan untuk meraih puncak kesucian hidup. Dia asal dan tujuan dari kebahagiaan. Manusia yang hidup di atas bumi ini melalui peziarahan untuk selalu menuju dan tertuju pada kebahagiaan Nirwana, yang menjadi keinginan para Bestari dan manusia untuk berada di sana.
Pertiwi ini adalah "gua garba" yang senantiasa melahirkan kehidupan baru, dan siap memangku serta memberi makan dan kehidupan kepada setiap makhluk yang dilahirkannya. Pertiwi adalah ibu bumi yang siap dibajak, digaru, diluku untuk menumbuhkan benih yang akan membuahkan rezeki dan santapan bagi anak-anaknya.
Pertiwi yang siap menumbuhkan kesetiaan pada setiap pohon seperti sifatnya, yang menghasilkan bunga dan buah sesuai jenisnya. Pertiwi adalah ibu yang selalu memberi dan tak berharap kembali yang senantiasa bermurah hati kepada anak-anaknya, yang menunjukkan dan memberi pelajaran tentang kesetian alam yang murah hati, ketaatan pada hakikat hidup dan pertumbuhannya.
Pertiwi adalah ibu, yang memberi keharuman dari bunga-bunga yang ditumbuhkannya, yang mendidik anak-anaknya untuk menjadi bijak mencintai dan mengolah alam, agar Pertiwi tetap lestari mengidungkan "harmoni kehidupan." Pertiwi senantiasa membimbing anak-anaknya bersama angin sabda yang memberi hawa kehidupan. Yang membuat segala isi bumi serta makhluk hidup, bergerak, bertumbuh menuju keindahan. Untuk dapat dinikmati setiap insan yang berhati penuh syukur. Membawa jiwa untuk memuji kebesaran Sang Khalik, asal dan tujuan keabadian.
Pertiwi ... oh, pertiwi merengkuh hijau kesuburan, yang dipeluk Bapa langit membiru cinta. Dalam ketinggian angkasa yang mengajak jiwa meraih dan menuju ketinggian keabadian. Di sana ada biru cinta yang tidak pernah pudar. Menawarkan cinta tanpa syarat dari Bapa Surgawi, yang tidak bisa dimengerti oleh hati dan iman serta budi yang jauh dari Terang Roh Suci.
Pertiwi senantiasa memberi dengan murah hati untuk berbagi, setia melayani dan menghidupi anak-anaknya. Pertiwi selalu membuka dan menunjukan dengan tanda-tandanya, agar anak-anaknya menemukan jalan kehidupan dan kebenaran. Asalkan setiap makhluk mau membuka nurani membaca sabda lewat jagat raya ini. Yah ... Pertiwi selalu memberi dengan murah hati. Tapi mengapa banyak anaknya sering menyakiti, menguras habis isi bumi, merajah dan menjarah Pertiwi sepuas hati demi keuntungan pribadi tak ada belas kasih pada Pertiwi ibu bumi sejati?
Pertiwi sering menangis, karena dikuras sampai habis. Meskipun tanda-tanda alam telah memberi peringatan, di mana-mana tanah longsor, banjir bandang, gempa bumi, gunung meletus, Tsunami, adalah tanda Pertiwi menderita ingin mengingatkan anak-anaknya yang menghuni bumi. Tapi sadar sejenak, kemudian merusak lagi.
Pertiwi hanya bisa menangis, menangis, dan menangis. Apalagi jika banyak kehidupan dirusak karena aborsi. Mereka tidak menghormati arti anugerah kehidupan lagi. Aborsi adalah puncak kekezaman insani karena membunuh janin yang belum bisa membela diri. Mengapa ... wanita dan pria tega berbuat nista kemudian membunuh benihnya, anaknya sendiri dengan penuh kekezaman dan membekukan nurani untuk menguakkan dosa. Dosa, dosa dan dosa yang selalu jauh dari KEHIDUPAN.
Kehidupan di alam fana dan baka, kehidupan insani dan yang ilahi. Karena nurani putus dari sumbernya yakni Sang Khalik pusat kesejatian cinta yang melihat semuanya dengan penuh kesedihan. Karena setiap dosa adalah kematian yang menusuk dan mendera kesucian-Nya. ( Â Bersambung )