Mohon tunggu...
Monica JR
Monica JR Mohon Tunggu... Konsultan - Strategic PR in Lingkaran Survei Indonesia Denny JA

Amor Fati and Interbeing

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Muslim Feminis Pentingkah?

1 Juni 2022   11:10 Diperbarui: 1 Juni 2022   11:24 324
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Penulis: Monica JR

Dalam diskusi Esoterika Forum Spiritualitas, 31 Mei 2022, Denny JA memaparkan peran penting Muslim feminis di Indonesia. Ia mulai dengan kutipan Fatimah Mernesi, seorang aktivis feminis Maroko: 

"Jika hak-hak kaum perempuan mengganggu kaum lelaki Muslim itu bukan karena Quran, bukan karena Nabi Muhammad, namun semata-mata karena hak-hak kaum perempuan itu berkonflik dengan kepentingan mereka, kaum lelaki Muslim."

Ketimpangan gender – Gender Inequality Index (GII) Indonesia tertinggi di ASEAN (2019). Apa itu ketimpangan gender? Semakin tinggi nilai GII, maka semakin buruk tingkat kesetaraan itu.

BAGAIMANA CARA MENGUKURNYA?
PBB di tahun 2010 melalui Human Development Report sudah merumuskan Indeks Ketimpangan Gender. Sebuah formula untuk mengukur ketimpangan gender yang selama ini dibicarakan kualitatif dan konsep saja. Kini sudah bisa dibandingkan dari satu negara dengan negara lain, termasuk perbandingan tiap tahunnya. Karena itu dibutuhkan data kuantitatif untuk dapat diukur secara lebih akurat.

Tiga variabel yang diukur dalam Indeks Ketimpangan Gender ini:

  • Pemberdayaan perempuan di sebuah negara. Salah satu contohnya adalah dengan mengukur jumlah keterwakilan perempuan di parlemen. Apakah masih di bawah 30 persen atau sudah mendekati 50 persen? Semakin angka itu membesar ke 50 persen, maka semakin bagus karena berarti telah seimbang antara jumlah keterwakilan laki-laki dan perempuan.
  • Labour market. Kondisi kesetaraan di bidang ekonomi. Bagaimana kesetaraan kondisi kerja. Apakah kesempatan kerja itu masih sama antara laki-laki dan perempuan? Apakah juga posisinya memberi benefitnya sama?
  • Reproductive health. Mengenai maternal mortality. Dilihat juga berapa banyak kematian perempuan yang berhubungan dengan kehamilan dan kelahirannya. Ini isu yang penting karena bagi negara-negara yang masih berkembang, tingkat maternal mortality masih tinggi,

Tiga variabel ini yang membuat kita dapat mengukur betapa tinggi atau rendahnya ketimpangan gender.

Hasilnya di tahun 2019.  Tingkat kesetaraan gender tertinggi ada di negara-negara Eropa. Di negara-negara tersebut, hak laki-laki dan perempuan di bidang politik, ekonomi, dan budaya begitu kuatnya dan hampir setara. Korea Selatan masuk dalam 10 besar. Benchmark-nya ada, kita bisa melihat referensinya.

FENOMENA GII DI NEGARA MAYORITAS MUSLIM

Fenomena lain, bahwa dalam top 25 negara-negara yang tinggi kesetaraan gendernya, tidak ada negara yang penduduknya mayoritas Muslim. Sebuah renungan, mengapa kesetaraan gender yang mayoritas Muslimnya paling banyak hanya di UAE yang berada di ranking 31? Sedangkan Indonesia ada di ranking 103 dari 161 negara yang diukur, tingkat kesetaraan gender kita dapat dikatakann buruk dan di bawah rata-rata. Dari fakta ini, kita menjadi tahu betapa pentingnya peran feminism Muslim.

Buruknya Gender Inequality Index di banyak negara Muslim menimbulkan pertanyaan. Satu pertanyaan yang paling mencolok dari sekian banyak isu adalah “Mengapa hanya laki-laki yang mempunyai hak untuk menafsir Quran?”

Tidak heran dari fenomena ini, lahirlah gerakan Muslim feminis yang intinya mereka ingin merebut tafsir Quran, hadis, dan sejarah Islam. Karena selama ini yang berkembang di masyarakat adalah tafsir yang kuat budaya patriarkal. Tafsir-tafsir ini sudah bias sepanjang sejarah karena dipimpin oleh ulama-ulama yang tidak pro pada kesetaraan gender. Itulah agenda utama gerakan Muslim feminis ini. Mereka ingin menafsir ulang Quran, hadis, dan sejarah Islam untuk mempromosikan kesetaraan gender.

LAHIRNYA GERAKAN MUSLIM FEMINIS

Tahun 1982, lahirlah seorang Muslim feminis pertama di Iran bernama Tahiri. Ia seorang penyair, pemikir, dan seorang aktivis. Saat itu ia sudah mulai mengkritik keras sekali begitu banyak paham-paham tafsir yang merendahkan kaum perempuan. Akhirnya nyawanya terancam karena ia melawan elit yang berkuasa saat itu .Dari Tahiri ini lahirlah sebuah kutipan yang terkenal. “Kalian dapat membunuh saya, tapi kalian tak bisa menghentikan emansipasi wanita.”

Tiga metodologi cara menafsir ulang Quran yang lebih pro pada kesetaraan gender.

  • Kontekstualisasi historik

Mereka menafsir ulang Quran atau hadis berdasarkan konteks sejarahnya. Mereka pisahkan dari subjek ayat-ayat yang diteliti, yang mana yang esensial dan yang mana sangat melekat dengan konteks sosial, ekonomi, dan budaya di abad ke 7 atau 8 itu. Padahal kehidupan terus berjalan dan banyak nilai-nilai peradaban yang belum dikenal di era itu . Maka reintepretasi dilakukan. Mereka meyakini bahwa di era 7 dan 8, begitu banyak bias budaya patriarkal dalam pemahaman Islam yang beredar.

  • Tafsir intertekstual

Mereka meneliti keterhubungan satu ayat dengan ayat lainnya, satu hadis dihubungkan dengan hadis lainnya. Mereka meyakini untuk memahami Quran sepenuhnya, tak bisa kita melakukannya dengan hanya beberapa ayat saja, tapi perlu dikaitkan dengan paradigma besar yang terwakili oleh keterhubungan. Paradigma besar dalam tafsir intertekstual ini adalah keadilan dan kesetaraan gender.

  •  Mencari pesan utama sebagai perspektif

Dari kegiatan menafsir ulang semua teks Islam ini, mereka meyakini bahwa Islam memiliki inti pesan bahwa manusia dinilai dari ketakwaannya, kompetensinya, bukan dari gender maupun jenis kelaminnya. Oleh karena itu, semua tafsir yang merendahkan kaum perempuan perlu ditafsir ulang.

Di Indonesia, gerakan Muslim mulai meluas. Adanya Kongres Ulama Perempuan Indonesia yang semakin aktif. Pada tahun 2017, mereka melakukan menghasilkan 3 fatwa yang melindungi hak-hak perempuan. Kongres ini dihadiri oleh 1.280 Ulama perempuan dari Aceh hingga Papua. Salah satu produk dari kongres itu adalah mereka mengharamkan kekerasan seksual di luar dan di dalam perkawinan.

Sudah kokoh sekali feminis Islam di Indonesia. Kita percaya bahwa ini langkah awal saja karena ke depan, gerakan kesetaraan perempuan tak hanya akan diramaikan oleh para feminis Muslim yang menafsir ulang teks Islam pihak masyarakat lain yang mempromosikan hak asasi manusia. Denny JA menutup pemaparannya dengan memberi catatan pada Fatimah Mernesi:

"Bahkan yang menentang kesetaraan gender ini tidak hanya lelaki Muslim, tetapi juga perempuan Muslim, dan bahkan di luar Muslim. Oleh karena itu kesetaraan perempuan ini harus menajdi gerakan bersama."

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun