Penulis: Monica Azaria Hadi dan Arsi Extrani Larassakti
Pada masa pandemi seperti sekarang, cukup banyak masyarakat Indonesia yang mengalami burnout syndrome. Misalnya saja, tenaga kesehatan yang merupakan garda terdepan dalam penanganan pandemi COVID-19 sangat rentan mengalami burnout. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh tim peneliti dari Program Studi Magister Kedokteran Kerja, Fakultas Kedokteran, Universitas Indonesia, diketahui sebanyak 83% tenaga kesehatan mengalami burnout syndrome dengan derajat sedang dan berat. Burnout syndrome tidak hanya dialami oleh tenaga kesehatan, tetapi bisa dialami oleh siapa saja. Dari polling yang diadakan oleh CNNIndonesia.com, didapatkan bahwa sebanyak 77,3% orang pernah mengalami burnout syndrome. Pada penelitian yang dilakukan oleh Muflihah dan Savira ditemukan bahwa kebanyakan mahasiswa memiliki tingkat burnout sebesar 69,1% yang termasuk dalam tingkat sedang. Lalu, apa sebenarnya yang dimaksud dengan burnout syndrome?
Pengertian burnout syndrome
Pada tahun 1970-an, Herbert Freudenberger yang merupakan seorang psikolog Amerika menciptakan istilah “burnout”. Istilah ini digunakan untuk menggambarkan akibat dari stres yang berat. Burnout syndrome adalah kondisi psikologis yang merupakan respons dari stres kerja yang kronis. Burnout ditandai dengan kelelahan emosional, depersonalisasi (kondisi emosional seperti mudah marah, mengalami perasaan negatif, dan bersikap dingin pada lingkungannya), sinisme (sikap negatif kepada pekerjaan yang disertai dengan hilangnya idealisme dalam bekerja), menurunnya penghargaan pada diri sendiri, dan rasa tidak mampu (Maslach, dkk., 2007; Leiter, dkk., 2009 dalam Nelma, 2019; Leiter dkk., 2014 dalam Muflihah dkk., 2021).
Penyebab burnout syndrome
Penyebab burnout tidak berasal dari dalam diri penderita burnout itu sendiri. Penyebab utama dari burnout adalah lingkungan kerja disfungsional yang memungkinkan terjadinya tingkat stres, frustasi, dan tekanan-tekanan yang berat dalam jangka waktu yang panjang dengan imbalan yang tidak sebanding. Pines (dalam Schaufeli dkk., 1996) mengemukakan bahwa situasi kerja yang menuntut keterlibatan emosional dapat meningkatkan risiko burnout. Etzion (1984) menjelaskan burnout sebagai ketegangan psikologis yang secara spesifik berkaitan dengan stres kronis yang dialami seseorang dari hari ke hari dan ditandai dengan keadaan kelelahan fisik, emosional, dan mental. Proses terjadinya burnout ini berjalan dengan perlahan dan tanpa disadari, sehingga seseorang dapat merasakan burnout secara tiba-tiba. Burnout akan lebih mudah terjadi pada pekerjaan di bidang jasa (human service) karena pekerjaan seperti ini sering melakukan interaksi dengan banyak orang sehingga perlu untuk melibatkan emosi dalam pekerjaannya. Terjebak di dalam situasi yang menuntut keterlibatan emosional dalam jangka waktu yang lama dapat menyebabkan kelelahan fisik, emosi, dan mental dan mungkin akan menimbulkan stres kronis dan bahkan burnout pada pekerja tersebut.
Gejala burnout syndrome
Terdapat tiga gejala utama tanda seseorang mengalami burnout, yaitu:
Kelelahan
Orang yang mengalami burnout akan merasa lelah secara emosional, merasa sedih, tidak mampu mengatasi masalahnya, dan merasa tidak mempunyai energi. Gejala fisik dapat muncul seperti rasa nyeri dan masalah lambung.