Mohon tunggu...
Monica Ayu
Monica Ayu Mohon Tunggu... Jurnalis - journalist

inquiries : moniccaesar@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Baju Baru Birokrasi: Upaya Transformasi Birokrasi

15 Juli 2020   13:16 Diperbarui: 15 Juli 2020   13:18 102
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Birokrasi. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Karakteristik umum yang melekat pada birokrasi adalah keberadaannya sebagai salah satu lembaga pemerintah. Makna birokrasi sebagai suatu lembaga pemerintah muncul karena lembaga pemerintah pada umumnya selalu berbentuk birokrasi. Organisasi pemerintah yang pada umumnya berskala besar dan luas cakupannya, mendorong suatu Negara memiliki birokrasi yang berkarakteristik sebagai birokrasi Weberian.

Pada masanya, birokrasi yang disampaikan oleh max Weber merupakan salah satu model birokrasi yang ideal. Weber beranggapan bahwa adanya keterbatasan dalam birokrasi karena tidak memiliki seluruh aspek aspek yang ada dalam birokrasi dan keterbatasan informasi, dan lain-lain.

Salah satu tokoh yaitu David Beetham mengatakan bahwa politik sangat bisa memperngaruhi birokrasi, sehingga di zaman modern seperti sekarang ini dimana sebagian besar politik lebih mementingkan golongan atau kelompok tertentu maka birokrasi Weberian tidak dapat terwujud dengan baik. Birokrasi Weberian hanya terbatas pada bagaimana sistem administrasi dan organisasi diatur secara rasional. Dapat dikatakan juga Weber hanya melihat hal-hal yang ada di dalam organisasi sendiri (in word looking) tanpa melihat faktor-faktor luar (out word looking) yang dapat memberikan pengaruh terhadap sistem birokrasi.

Birokrasi makin dinilai tidak mampu lagi menciptakan hubungan yang manusiawi lantaran bentuk birokrasi tipe ideal tidak melihat masyarakat terdiri dari si miskin dan si bodoh serta si kaya dan si pintar. Sehingga tidak memahami si miskin dan si bodoh yang mungkin kemampuannya untuk berhubungan dengan birokrasi sangat berbeda dari si kaya dan si pintar.

Meskipun kesempatan yang diberikan untuk keduanya adalah sama, tetapi di sisi lain sebenarnya mereka memiliki akses yang berbeda. Kemiskinan dan kebodohan membuat sekelompok warga tidak dapat mengakses pelayanan birokrasi karena mereka tidak mendapatkan informasi yang cukup. Bahkan sebagian besar dari mereka merasa tidak membutuhkan pelayanan dari birokrat atau pemerintah, contohnya pelayanan kesehatan.

Dalam kehidupan birokrasi, akal sehat dan hati nurani seringkali tidak memiliki tempat yang sudah sewajarnya karena peran kedua hal ini sering tergeser oleh regulasi, standar, prosedur, petunjuk pelaksanaan, dan petunjuk tekhnis. Akal sehat dan hati nurani hanya berperan untuk mereka yang memiliki kedudukan pada hierarki yang tinggi dalam organisasi.

Kewenangan mengambil keputusan hanya dialokasikan kepada mereka yang memiliki kedudukan hierarkis. Konsentrasi kekuasaan untuk mengambil keputusan dalam birokrasi yang melekat pada hierarki kekuasaan sering membuat lambannya pengambilan keputusan dan hilangnya esensi untuk menyelesaikan masalah yang muncul dalam masyarakat dan internal birokrasi itu sendiri. Terlebih ketika kewenangan pengambilan keputusan terkonsentrasi pada pimpinan puncak birokrasi sementara aparat birokrasi yang berhadapan langsung dengan masyarakat atau frontline officials memiliki kewenangan minimal dalam pengambilan keputusan.

Teori Public Choice dan New Public Management (NPM) yang menjadi inspirasi adanya gerakan Reinventing Government. Gerakan Reinventing telah mendorong pengembangan birokrasi pemerintah yang memiliki karakteristik berbeda. Reinventing Government juga mendorong adanya desentralisasi kekuasaan kepada standar prosedur operasi yang lentur, kreatifitas dan inovasi, jenjang kekuasaan yang flat, serta sistem kepergawaian yang lebih terbuka dan kompetitif.

Adanya hierarki yang panjang pada birokrasi Indonesia saat ini juga membuat proses pengambilan keputusan dalam birokrasi menjadi terkotak-kotak atau terfragmentasi karena arus informasi hanya berjalan secara vertikal. Pada organisasi yang hierarkis cenderung hanya menyelesaikan urusan yang menjadi tanggung jawabnya tanpa melibatkan bagian lainnya. Hal seperti ini menyebabkan proses penyelesaian masalah dalam organisasi menjadi tidak maksimal. Dilihat dari pemberdayaan karyawan dan kepentingan untuk melakukan optimalisasi pemanfaatan sumber daya aparatur yang ada maka birokrasi yang hierarkis jelas tidak menguntungkan.

Kemudian menilik pada optimalitas birokrasi. Optimalitas birokrasi sangat dipengaruhi oleh profesionalitas aparat birokrasi. Birokrasi dengan anggota yang memiliki profesionalisme tinggi cenderung tidak toleran terhadap prosedural yang ketat karena mereka tidak memerlukan standar prosedur operasi rinci. Prosedur operasi yang rinci hanya akan menghambat mereka menggunakan akal sehat dan hati nurani serta membelenggu mereka dari kreativitas dan inovasi. Sebaliknya, ketika birokrasi beranggotakan aparatur yang memiliki tingkat profesionalisme yang rendah dan keberanian mengambil resiko yang rendah maka mereka akan mengembangkan standar prosedur operasi yang rinci dan ketat.

Pemberian ruang untuk berpikir kreatif dan inovatif justru akan membuat mereka gagap. Kemudian memberikan mereka otoritas untuk mengambil keputusan justru akan sangat beresiko dan tingkat kegagalannya tinggi. Sehingga aparat birokrasi yang memiliki tingkat profesionalisme yang rendah sebaiknya diawasi dengan lebih ketat dan dikendalikan oleh hierarki yang juga ketat.

Di samping itu, khususnya di Indonesia yang sudah kental akan maraknya korupsi, kolusi, dan nepotisme terlebih identik dengan pejabat pemerintah, tipe jenis yang kedua lebih cocok diterapkan. Dengan demikian maka upaya yang lebih tepat dilakukan adalah pengawasan harus lebih ketat dengan standar prosedur operasi yang tinggi. Untuk negara seperti Indonesia, jenis yang pertama yaitu melonggarkan prosedural bukannya akan mengembangkan kreativitas tetapi justru memberikan peluang untuk melakukan tindak pidana korupsi.

Kasus-kasus korupsi yang dilakukan para aparat birokrasi tampaknya sudah cukup menjadi bukti bahwa moral para birokrat sebagian besar masih kurang baik. Ditambah lagi dengan adanya penggemukan birokrasi. Birokrasi yang berukuran besar memiliki kegiatan yang kompleks, memiliki cakupan wilayah kerja yang luas dan jumlah anggota banyak. Hal ini tentu membutuhkan birokratisasi yang tinggi. Agar kegiatan yang kompleks dapat dikendalikan, maka birokrasi membutuhkan struktur yang memungkinkan supervisi agar kontrol dapat dilakukan secara lebih efektif. Upaya memperjelas dan memperketat prosedur juga agar mampu mengendalikan kegiatan birokrasi secara efektif.

Hal lain yang dapat dilakukan adalah pengembangan Tekhnologi Informasi dan Komunikasi. Pengembangan dan pemanfaatan teknologi digital (aplikasi dan mengubah baju lama sosial media menjadi baju baru bersosial media) dapat menggantikan sebagian dari fungsi hierarki dan membantu pimpinan dalam melakukan supervisi dan kontrol. Kontrol akan lebih mudah dilakukan dengan teknologi digital dibandingkan menggunakan hierarki struktur.

Hierarki struktur hanya dapat digunakan oleh atasan untuk mengontrol bawahan. Sedangkan teknologi digital dapat digunakan oleh semua aparatur dalam birokrasi, baik atasan kepada bawahan maupun sebaliknya untuk saling mengontrol. Teknologi digital juga akan membuat proses kerja lebih transparan sehingga kontrol baik dari dalam birokrasi maupun dari luar lebih mudah dilakukan.

Selain itu, Teknologi digital dapat mengurangi kebutuhan hierarki instrumen untuk mengatur lalu lintas informasi birokrasi. Kemudian apabila pemanfaatan dan pengembangan teknologi digital telah memadai maka tidak diperlukan lagi birokrasi gemuk. Dengan demikian, apabila transparansi dapat dilaksanakan, maka masyarakat akan mengembalikan kepercayaan kepada aparatur birokrasi dan kontrol pun mudah untuk mencegah adanya penyelewengan korupsi. Pemanfaatan teknologi digital ini pula lah yang mampu menjembatani aparat birokrat tetap kreatif dengan kontrol yang efektif.  

Referensi :

Dwiyanto, Agus. 2011. Mengembalikan Kepercayaan Publik Melalui Reformasi Birokrasi. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

Thoha, Miftah. 2003. Birokrasi dan Politik di Indonesia. Jakarta: Raja Grafindo Persada.

Azizy, Ahmad Qodri Abdillah. 2007. Change Management dalam Reformasi Birokrasi. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun