Pendidikan Indonesia mengalami sejarah dan perjalanan yang panjang mulai dari sebelum kemerdekaan, setelah kemerdekaan, hingga pendidikan abad-21 atau yang disebut dengan pendidikan paradigma baru. Pendidikan pada setiap zaman memiliki kebijakan dan ciri masing-masing, namun tentunya terdapat transformasi pendidikan sebagai perbaikan.Â
Pendidikan pada zaman kolonial merupakan pendidikan yang tidak memerdekakan peserta didik, dan merupakan salah satu wujud diskriminasi yang terjadi pada masa kolonialisme, dimana pendidikan diselenggarakan berdasarkan garis warna, golongan masyarakat, dan status sosial masyarakat.Â
Sekolah pada zaman tersebut hanya bertujuan untuk mendidik calon-calon pegawai negeri dan pembantu perusahaan Belanda. Hal ini diperkuat oleh pendapat Moestoko Soemarsono  (1985:47) bahwa pendidikan yang diberikan pemerintah kolonial belanda membentuk masyarakat feodal dan elite baru untuk taat kepada pemerintah kolonial Belanda.
Pendidikan pada zaman kolonial membelenggu peserta didik karena hanya berfokus pada pengajaran intelektualitas, materialistis, dan tidak memperhatikan soal pendidikan kebudayaan. Peninggalan sistem pendidikan kolonial ini masih berdampak pada pendidikan setelah kemerdekaan, dimana generasi muda dituntut untuk mendapatkan nilai-nilai yang tinggi tanpa memperhatikan perkembangan hidup kejiwaan peserta didik.Â
Pendidikan berpatokan pada sistem penilaian dan penghargaan intelektualitas melalui ujian yang disebut sebagai examen cultus. Hal tersebut merupakan salah satu praktik pendidikan yang membelenggu karena pendidikan yang dilakukan hanya mentransfer pengetahuan, dan menanamkan pemahaman yang kesadaran yang keliru pada peserta didik sehingga mereka hanya mengikuti saja alur kehidupan ini. Pendidikan pada zaman tersebut diselenggarakan bukan karena pendidikan itu hal yang penting, kebutuhan, dan keharusan bagi seluruh rakyat Indonesia, namun bertujuan untuk membentuk calon pegawai dan pembantu perusahaan Belanda.
Oleh karena itu, Ki Hajar Dewantara melakukan suatu gerakan transformasi pendidikan setelah kemerdekaan Indonesia, dimana pendidikan nasional dilaksanakan berdasarkan garis-garis bangsa dan kultural nasional. Pendidikan bukan sebagai pengetahuan saja namun untuk mendidik pikiran anak-anak sehingga dapat memajukan kecerdasan batin dan melancarkan hidup pada umumnya.Â
Hal tersebut juga berkaitan erat dengan Pidato Sambutan Ki Hajar Dewantara pada penganugerahan Honoris Causa oleh Universitas Gajah Mada pada 7 November 1956, bahwa pendidikan merupakan tempat persemaian segala benih kebudayaan yang hidup dalam masyarakat kebangsaan. Pendidikan bukan hanya soal kecerdasan pikiran tetapi harus ada pendidikan kultural dan nasional yang semua ditujukan ke arah keluhuran manusia, nusa, dan bangsa, dengan tidak memisahkan diri dari kesatuan manusia. Transformasi pendidikan ini merupakan salah satu praktik pendidikan yang memerdekakan dan berpihak pada peserta didik.
Ki Hajar Dewantara  menjelaskan bahwa tujuan pendidikan yaitu: menuntun segala kodrat yang ada pada anak-anak, agar mereka dapat mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang setinggi-tingginya baik sebagai manusia maupun sebagai anggota masyarakat. Jadi seorang anak sudah memiliki kemampuan dan potensi bawaan sejak lahir, dimana tugas pendidik hanya menuntun agar peserta didik dapat mengembangkan diri mereka sesuai dengan karakteristik yang mereka miliki. Pendidik tidak boleh mendidik peserta didiknya untuk menjadi sama, karena peserta didik memiliki kodrat masing-masing yang beragam. Oleh karena itu, pendidikan harus dirancang sesuai dengan kondisi, kemampuan, potensi, dan karakteristik yang beragam. Tujuan pendidikan yaitu memajukan bangsa secara keseluruhan yang didalamnya terdapat perbedaan-perbedaan dan dalam pelaksanaan pendidikan tersebut tidak boleh membeda-bedakan agama, etnis, suku, budaya, adat, kebiasan, status sosial. dsb, serta harus didasarkan kepada nilai-nilai kemerdekaan yang asasi (Sugihartono, dkk, 2013:124).
Pada Pendidikan abad ke-21 yang disebut sebagai pendidikan paradigma baru juga disusun untuk memerdekakan dan berpihak pada peserta didik. Pendidikan dilaksanakan dengan berpusat pada peserta didik atau student center, dan berdasarkan kebutuhan serta karakteristik peserta didik, Pendidikan paradigma baru, dalam satu siklus dimulai dari pemetaan standar kompetensi, perencanaan proses pembelajaran, dan pelaksanaan asesmen yang digunakan untuk memperbaiki pembelajaran sehingga mencapai kompetensi yang diharapkan (Tim Penyusun Panduan Pembelajaran dan Asesmen, 2021:1). Penuntun arah dalam paradigma pembelajaran baru adalah Profil Pelajar Pancasila yang memandu segala kebijakan dan pembaharuan dalam sistem pendidikan Indonesia, termasuk pembelajaran dan asesmen. Pembelajaran tidak berfokus pada hasil belajar namun pada proses pembelajaran. Perencanaan pembelajaran juga dilaksanakan setelah asesmen diagnostik sehingga pembelajaran benar-benar sesuai dengan kebutuhan, kemampuan, potensi, dan karakteristik peserta didik untuk mewujudkan pembelajaran yang menyenangkan, bermakna, dan pembelajar sepanjang hayat.
Pendidikan yang memerdekakan peserta didik merupakan pendidikan dimana dalam prosesnya pendidik mengkondisikan siswa untuk mengenal dan mengungkapkan kehidupan yang senyatanya secara kritis, dan merupakan upaya untuk memperoleh pengetahuan dan menjadi proses transformasi yang diuji dalam kehidupan nyata. Setiap peserta didik harus memiliki kemerdekaan belajar karena manusia pada dasarnya mempunyai kemampuan belajar secara alami (Sugihartono, dkk, 2013:120). Oleh karena itu pada pendidikan paradigma baru pembelajaran dan asesmen disusun dengan pendekatan yang berpihak pada peserta didik, yaitu karakteristik, kebutuhan, dan juga tingkat capaian peserta didik. Hal ini dilakukan karena setiap individu lahir dengan kodrat masing-masing, setiap individu memiliki cara berpikir, berperasaan, dan bertindak yang berbeda-beda.
Setiap individu unik dan berbeda dengan yang lain, hal ini terjadi karena faktor bawaan atau biologis yang diturunkan melalui pewarisan genetic orang tua, dan juga faktor lingkungan seperti status sosial orang tua, pola asuh orang tua, budaya, dan juga urutan kelahiran. Perbedaan atau kodrat yang ada dalam setiap individu seharusnya dapat terfasilitasi dalam pembelajaran melalui pembelajaran yang berpihak pada peserta didik dan memerdekakan peserta didik.Pendidikan yang berpihak pada peserta didik merupakan pendidikan yang diselenggarakan dengan cara menuntun tumbuh atau hidupnya kekuatan kodrat yang ada dalam peserta didik, agar dapat memperbaiki lakunya (bukan dasarnya) hidup dan tumbuhnya kekuatan kodrat anak. Pendidik merupakan pamong dalam memberikan tuntunan dan arahan agar anak menemukan kemerdekaanya dalam belajar.