Teman sebaya akan mempengaruhi perilaku temannya hanya saja kembali kepada persepsi masing-masing individu. Sehingga sikap dan perilaku dapat terpengaruh dari tekanan teman sebaya yang merupakan suatu dorongan individu untuk melakukan tindakan yang memaksa. Teman sebaya memiliki kesamaan baik dari psikologis dan perilaku (Putri et al., n.d.). Dalam konteks hubungan teman sebaya dan persahabatan, hubungan intim pasangan pertama muncul pada masa remaja. Banyak dari hubungan ini bersifat prososial dan diinginkan (Rodrguez-Hidalgo et al., 2015), tetapi beberapa pasangan remaja menunjukkan perilaku agresif satu sama lain. Kekerasan dalam pacaran didefinisikan sebagai perilaku agresif seksual, fisik, atau emosional yang dilakukan dalam hubungan intim (stabil atau tidak stabil) (Zych et al., 2021).
Kekerasan yang terjadi seperti kekerasan psikologis yakni pengucilan, terdapat juga kekerasan verbal atau mengejek dan selanjutnya ada kekerasan fisik atau memukul. Adapun bentuk dari perilaku bullying dapat berubah sejalan dengan usia yang dilalui mulai dari bullying penyerangan berkelompok, kekerasan seksual, bullying di taman bermain, kekerasan ditempat kerja, marital violence, violence dan child abuse. Pada umumnya sangat banyak sekali individu maupun sekelompok orang membully temannya yang memiliki kekurangan fisik dan ekonomi (Permata & Nasution, 2022).
Dampak negatif pada korban bullying antara lain, mereka merasa tidak berharga, pemalu, tidak melakukan perlawanan ketika dihina, diam cemas, dan tidak mampu membela diri, tertekan, harga diri rendah, menjadi pemalu, dan bahkan dapat mengakibatkan prestasi akademik menurun (Amnda et al., 2020). Perkembangan pada remaja itu salah satunya yaitu kebutuhan teman sebaya, dengan adanya teman sebaya dapat memberikan dukungan terkait kejadian bullying. Sehingga remaja sangat membutuhkan dukungan dari temannya, khususnya teman sebaya. Jadi, dengan adanya kelompok teman sebaya remaja dapat mengatasi masalah perilaku bullying yang terjadi (Putri et al., n.d.).
Teman sebaya merupakan interaksi penting terhadap perkembangan sosial peserta didik. Peserta didik yang mengalami bullying memiliki hubungan kedekatan dengan teman sebaya yang memiliki emosional yang rendah. sesuai study yang di kembangkan Elliott, Huizinga & Menard, 1989 (Ika & Destiyanti, 2022).Â
Kesehatan mental pelaku bully tidak diperiksa dengan baik; studi telah menunjukkan sedikit peningkatan risiko bunuh diri atau menyakiti diri sendiri, dan peningkatan prevalensi pengalaman psikotik selama masa remaja Di sisi lain, remaja korban bullying tradisional dan cyberbullying memiliki kerentanan yang lebih tinggi terhadap gangguan somatik (misalnya flu), psikosomatis (misalnya gangguan tidur), dan gangguan psikologis (misalnya kecemasan, depresi) Mereka juga lebih cenderung memiliki risiko menyakiti diri dan bunuh diri yang lebih tinggi, keterampilan internalisasi yang lebih buruk, prestasi akademik yang buruk, dan ketidakhadiran di sekolah (Ng et al., 2022).
Perubahan perkembangan termasuk perubahan hormonal terkait pubertas dan pematangan otak. Peningkatan kadar testosteron, misalnya, telah dikaitkan dengan aktivasi yang lebih tinggi dari sistem saraf yang mengatur penghargaan dan motivasi sosial. Area otak yang memproses pengalaman emosional berubah lebih cepat daripada yang memediasi regulasi kognitif. Semua perubahan ini dapat berkontribusi pada fokus diri remaja, pengambilan risiko, dan kepekaan terhadap umpan balik teman sebaya, serta kebutuhan status dan perilaku dominan sosial mereka (Salmivalli et al., 2021).
Remaja rentan akan terganggunya kesehatan mental, perlu adanya intervensi berkelanjutan bagi remaja yang memiliki kecenderungan berperilaku agresif serta remaja yang memiliki perilaku asertif rendah. Dalam system saraf remaja telah mengatur perilakunya dalam segi motivasi sosial serta memproses pengalaman emosional sehingga setiap remaja memiliki kepekaan sosial serta kebutuhan diri yang berbeda-beda. Kondisi remaja yang rentan akan mempengaruhi kinerja system saraf sehingga berakibat memiliki gangguan psikologis seperti, tidak bisa tidur, depresi, menyakiti diri sendiri hingga bunuh diri. Sehingga dengan adanya intervensi dan perang orang terdekat seperti orang tua dan teman sebaya yang akan mendukung terkait terjadinya perundungan atau bullying.
Masa remaja sangat populer akan sifat labil dan sesitifnya serta mengambil keputusan tanpa berpikir resiko kedepan. Permsalahan yang sering terjadi pada remaja mulai dari emosi, kognitif serta hubungan sosial, dalam penelitian ini salah satunya adalah fenomena bullying yang terjadi pada remaja Indonesia. Perilaku bullying yang sering terjadi dalam lingkungan pertemanan sebaya dengan memiliki kesamaan dalam kondisi psikologi, sosial dan keinginan.
Teman sebaya saling mempengaruhi sehingga memungkinkan dalam bertindak sesuai keinginan dan menjadi peluang munculnya perilaku agresif yang menuju pada bullying. Remaja yang mengalami bullying memiliki hubungan kedekatan dengan teman sebaya yang memiliki emosional yang rendah. Remaja dan pelajar ditugaskan ke peran di mana mereka dapat memenuhi tujuan status mereka dengan cara prososial, mengambil tanggung jawab sosial sehingga diharapkan dapat mengurangi perilaku agresif yang berakibat pada bullying sehingga perlu adanya intervensi bagi remaja serta peningkatan peran sosial antar individu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H