Mohon tunggu...
Abdul Muis
Abdul Muis Mohon Tunggu... Guru - Guru

Guru yang suka menulis, belajar otodidak dari internet tentang inovasi pembelajaran, aktif sebagai narasumber berbagi praktik baik, fasilitator PGP, Praktisi Menggajar, pendiri penerbit Klik Media dan Pustaka Mahameru, Abinya Nada dan Emil.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Dalang Kehabisan Cerita, Semutpun Dibunuh dengan Cara Tak Terduga

6 Oktober 2024   07:44 Diperbarui: 6 Oktober 2024   08:53 320
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Gus, ada santri yang hampir setiap hari tidak ikut jamaah subuh di masjid. Setiap kali dibangunkan, dia selalu pindah kamar"

"Berapa anak, kang?"

"Satu, Gus. Sebenarnya saya sudah menasihati saat pembelajaran pagi di kelas, bukan hanya kepada satu santri tapi semua santri, Gus. Saya sering menyampaikan betapa pentingnya salat subuh berjamaah, selain salat subuh sendiri sebagai kewajiban, nilai 'jamaah' dalam salat pun sering saya sampaikan kepada mereka. Tidak hanya sekali lho, Gus, tapi berkali-kali, berulang kali"

"Hasilnya?"

"Ya, seperti yang saya sampaikan tadi, Gus. Tetap saja"

"Terus apa rencana teman-teman pengurus pondok?"

"Belum ada, Gus. Sementara kami masih ingin evaluasi dulu, siapa tahu ada sistem ada peraturan atau tindakan kami yang salah".

"kesuwen, Kang"

"Lha, pripun, Gus?".

"Kita lihat saja besok".

Keesokan harinya ...

"Kebakaran ... Kebakaran ... Kebakaran ..."

"Ono opo, Cak?"

"Kamar di belakang masjid yang biasa digunakan Rusdi untuk tidur, terbakar,Ustadz"

"Saya yang membakarnya. Ada yang tidak terima?"

Santri junior, pengurus pondok, ustadz senior, dan beberapa orang santri yang ikut menyaksikan kebakaran, kompak terdiam seribu bahasa.

Kamar pun ludes tak tersisa, selain abu dan asap yang kian mengepul kecil.

***

Ustadz di pesantren, guru di sekolah, kiai di pondok, dosen di perguruan tinggi, kiai kampung, kiai langgar, semua adalah guru. Guru bagi santri, murid, siswa, mahasiswa. Dan, dari guru inilah semua santri tersebut belajar, bukan hanya belajar pengetahuan keseharian, pengetahuan baru bahkan pengetahuan yang belum pernah mereka pelajari sebelumnya, tapi juga belajar bagaimana cara bersikap, beradab, bertutur, bertindak dan memutuskan.

Kematangan (beberapa menyebut kedewasaan) seorang guru (kiai, ustadz, dosen, dan sejenisnya) bukan terlihat dari usianya, namun bagaimana cara bersikapnya, cara bicaranya, cara memutuskan, caranya bertindak dan caranya membuat kebijakan. Tentu pengalaman juga menjadi faktor penting dalam hal ini. 

Lain lubuk lain ikannya. Jika kita hidup di daerah A, maka belum tentu keputusan yang kita ambil dan terapkan di daerah tersebut akan sama dan dianggap biasa ketika kita berada di daerah B. Boleh jadi apa yang kita lakukan tidak sesuai misal dengan kebiasaan, adat istiadat, lingkungan bahkan orang-orang yang ada di daerah tersebut.

Sebagai seorang guru (kiai, ustadz, dosen, dan sejenisnya), tentu semua kita paham dan tahu bagaimana menerapkan ing ngarsa sung tuladha, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani, nilai-nilai luhur pendidikan dan pengajaran yang dibumikan oleh Ki Hajar Dewantara. Saya masih ingat betul, pertama kali mendengar 'kalimat sakti' tersebut saat masih bersekolah di Madrasah Ibtidaiyah (setingkat SD). Guru saya waktu itu meminta kita semua dalam satu kelas menghafalnya, bahkan harus hafal lengkap dengan artinya. Saya juga ingat betul bagaimana guru saya waktu itu dengan "berapi-api" menjelaskan "kalimat sakti" tersebut. Hasilnya, sampai detik ini pun saya hafal di luar kepala, lengkap dengan artinya.

Sebagai seorang 'dalang', guru sejatinya memiliki banyak cara bagaimana menghadapi pola tingkah laku santri (siswa, mahasiswa). Tentu 'cara' ini pun bergantung pada seberapa banyak pengalaman sang dalang memainkan lakon. Penonton akan sangat menikmati lakon yang dibawakan oleh dalang dengan apik, apapun lakonnya, jika dibawakan dengan penuh semangat, energi, pendalaman yang serius dan bahkan mengakar, lakon akan menjadi sangat menarik, dan bahkan menghipnotis. 

Sebagai seorang 'dalang', guru akan menjadi penentu cerita akhir pada setiap babak lakon yang dibawakan, apakah berakhir sedih, gembira, tragis atau berakhir dengan khusnul khatimah, semua bergantung pada lakon yang dibawakan oleh seorang dalang. Cerita tentang pesantren dan Gus-nya di awal tulisan ini menandakan bahwa kesalahan 'receh' berulang yang dilakukan oleh santri, diakhiri dengan cerita tragis oleh sang dalang. Semut seeokor yang ingin dibunuh, dihabisi dengan cara dibakar sarangnya. Selesaikah urusan itu? Tentu tidak.

Justru tindakan sang dalang adalah tindakan brutal, tindakan yang mencerminkan egoisme dan habisnya cara dalang memainkan lakon. Mengapa demikian? Sarang semut yang dibakar akan menyisakan abu dan asap yang mengepul, yang lama-kelamaan akan habis dan bahkan tak tersisa. Namun, cerita tentang terbakarnya sarang semut akan terus diingat, dan bahkan dikenang oleh semua 'semut' yang menyaksikannya. Mereka semua pasti akan hafal betul siapa yang membakar sarang tersebut, apa sebab yang kemudian menjadikan sarang tersebut habis luluh lantah tak tersisa. Dan, cerita-cerita itu pun akan terus menghiasai jagad pewayangan, yang boleh jadi menjadi cerita yang akan terus tersebar beredar dari satu santri ke santri yang lain.

Lalu, bagaimana sebaiknya dalang memainkan perannya dalam jagad pewayangan?

Pertama, untuk membunuh seekor semut, tidak perlu harus membakar sarangnya. Cukup ambil semutnya, jepit atau gunakan benda lainnya untuk membunuhnya, selesai. Artinya, untuk menyelesaikan satu masalah, cari akar masalahnya, selesaikan dengan cara yang baik, lakukan pendekatan persuasif, lakukan pendekatan humanis, pendekatan yang baik

Kedua, setiap masalah pasti ada solusi dan jalan keluarnya. Temukan, diskusikan, sampaikan. Saya pernah menulis dan seringkali menyampaikan di beberapa kesempatan saat pembekalan calon guru (mahasiswa PPL) di beberapa kampus, bahwa salah satu keterampilan yang penting dan dibutuhkan di abad 21 adalah kolaborasi. Kita tidak bisa bekerja sendiri, memutuskan sendiri, mendesain semuanya sendiri, karena kita tidak hidup di tengah hutan. Manusia seperti kita yang hidup saat ini, butuh manusia lainnya untuk bekerja sama, berkolaborasi. Mengapa? Karena kita hidup bukan di zaman Batu. Kolaborasi adalah kunci penting menghadirkan solusi atas setiap permasalahan yang dihadapi.

Ketiga, hindari logical fallacy. Salah satu kesalahan berpikir kita adalah cenderung mudah menafsirkan pikiran orang lain dengan cara berpikir kita sendiri. Padahal belum tentu yang kita pikirkan tentang orang lain terjadi dan sama persis dengan yang kita sangkakan. Misal yang paling sederhana adalah ketakutan berlebihan terhadap sesuatu, atau menyelesaikan masalah kecil dengan cara yang ekstrem, atau lagi menjadikan masalah yang sebenarnya 'receh' menjadi besar berlebihan. Contoh-contoh sederhana ini banyak terjadi dalam kehidupan kita, dan inilah sebenarnya yang termasuk ke dalam logical fallacy atau kesesatan dalam berpikir. Membunuh satu semut dengan cara membakar sarangnya adalah praktik nyata logical fallacy dalam kehidupan kita, miris.

Keempat, fungsikan manajemen dengan fungsi yang sebenarnya. Dulu saat kita di bangku kuliah, kita mengenal istilah POAC, yakni planning, organizing, actuating, controlling. Empat fungsi manajemen ini kita pelajari secara konseptual di kelas saat kuliah, namun praktiknya tidak demikian. Saat kita berkuasa, kita cenderung menggunakan kekuasaan dan kedudukan yang kita miliki untuk mengambil seluruh peran dalam manajemen, kepercayaan kita kepada orang lain di dalam unsur manajemen sangat tipis bahkan tidak ada sama sekali. Akhirnya bukan kepemimpinan demokratis yang lahir tapi otoriter yang dirasakan oleh seluruh unsur dalam manajemen.

Kelima, menjadi uswah hasanah. Dalang adalah sutradara dalam setiap lakon babak yang dimainkan, melalui dalang, audiens mengetahui dan juga memahami alur cerita bahkan pesan makna yang ingin disampaikan dalam cerita. Melalui dalang, kita bukan hanya belajar tentang nilai-nilai pendidikan di dalam cerita, namun juga belajar tentang kehidupan, bagaimana dalang dengan terampil memainkan wayang dengan melibatkan semua unsur yang ada di dalamnya. Dalang profesional tak pernah sama sekali mengabaikan satu wayangpun sampai ia tidak dimainkan sama sekali. Dalang yang baik akan memainkan dan membawakan cerita lakon yang sesuai dengan alurnya.

***

Murid kita di sekolah, santri di pesantren, dan mahasiswa di perguruan tinggi, adalah bagian vital dalam pendidikan dan pembelajaran. Mereka memainkan peran sebagai wayang dengan karakteristik dan gaya masing-masing. Sebagai seorang dalang, selayaknya kita menjadi dalang yang baik, yang memberikan kesempatan yang sama kepada semua wayang untuk belajar, berproses dan beradaptasi untuk menjadi tanpa tapi. Apa yang ingin dicapai oleh setiap 'wayang', dalang menjadi bagian penting dalam mewujudkannya. Mari, mainkan lakon dan babak pada setiap alur dengan bijak, bukan sebatas memainkan wayang dengan asal, tapi ada nilai yang kita titipkan untuk diwujudkan dalam perilaku dan tindakan. Tabik.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun