Mohon tunggu...
Abdul Muis
Abdul Muis Mohon Tunggu... Guru - Guru

Guru yang suka menulis, belajar otodidak dari internet tentang inovasi pembelajaran, aktif sebagai narasumber berbagi praktik baik, fasilitator PGP, Praktisi Menggajar, pendiri penerbit Klik Media dan Pustaka Mahameru, Abinya Nada dan Emil.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Dalang Kehabisan Cerita, Semutpun Dibunuh dengan Cara Tak Terduga

6 Oktober 2024   07:44 Diperbarui: 6 Oktober 2024   08:53 332
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Berpose setelah belajar (dok. pribadi)

"Kebakaran ... Kebakaran ... Kebakaran ..."

"Ono opo, Cak?"

"Kamar di belakang masjid yang biasa digunakan Rusdi untuk tidur, terbakar,Ustadz"

"Saya yang membakarnya. Ada yang tidak terima?"

Santri junior, pengurus pondok, ustadz senior, dan beberapa orang santri yang ikut menyaksikan kebakaran, kompak terdiam seribu bahasa.

Kamar pun ludes tak tersisa, selain abu dan asap yang kian mengepul kecil.

***

Ustadz di pesantren, guru di sekolah, kiai di pondok, dosen di perguruan tinggi, kiai kampung, kiai langgar, semua adalah guru. Guru bagi santri, murid, siswa, mahasiswa. Dan, dari guru inilah semua santri tersebut belajar, bukan hanya belajar pengetahuan keseharian, pengetahuan baru bahkan pengetahuan yang belum pernah mereka pelajari sebelumnya, tapi juga belajar bagaimana cara bersikap, beradab, bertutur, bertindak dan memutuskan.

Kematangan (beberapa menyebut kedewasaan) seorang guru (kiai, ustadz, dosen, dan sejenisnya) bukan terlihat dari usianya, namun bagaimana cara bersikapnya, cara bicaranya, cara memutuskan, caranya bertindak dan caranya membuat kebijakan. Tentu pengalaman juga menjadi faktor penting dalam hal ini. 

Lain lubuk lain ikannya. Jika kita hidup di daerah A, maka belum tentu keputusan yang kita ambil dan terapkan di daerah tersebut akan sama dan dianggap biasa ketika kita berada di daerah B. Boleh jadi apa yang kita lakukan tidak sesuai misal dengan kebiasaan, adat istiadat, lingkungan bahkan orang-orang yang ada di daerah tersebut.

Sebagai seorang guru (kiai, ustadz, dosen, dan sejenisnya), tentu semua kita paham dan tahu bagaimana menerapkan ing ngarsa sung tuladha, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani, nilai-nilai luhur pendidikan dan pengajaran yang dibumikan oleh Ki Hajar Dewantara. Saya masih ingat betul, pertama kali mendengar 'kalimat sakti' tersebut saat masih bersekolah di Madrasah Ibtidaiyah (setingkat SD). Guru saya waktu itu meminta kita semua dalam satu kelas menghafalnya, bahkan harus hafal lengkap dengan artinya. Saya juga ingat betul bagaimana guru saya waktu itu dengan "berapi-api" menjelaskan "kalimat sakti" tersebut. Hasilnya, sampai detik ini pun saya hafal di luar kepala, lengkap dengan artinya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun