Mohon tunggu...
Abdul Muis
Abdul Muis Mohon Tunggu... Guru - Guru

Guru yang suka menulis, belajar otodidak dari internet tentang inovasi pembelajaran, aktif sebagai narasumber berbagi praktik baik, fasilitator PGP, Praktisi Menggajar, pendiri penerbit Klik Media dan Pustaka Mahameru, Abinya Nada dan Emil.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Ingin Anak Anda Sukses? Ajarkan Lima Hal Ini

26 Juli 2024   10:53 Diperbarui: 26 Juli 2024   10:57 135
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Pak, saya mohon maaf atas apa yang telah saya lakukan di kelas tadi saat pelajaran. Saya sadar telah melanggar kesepakatan yang telah dibuat. Tolong beri saya kesempatan, Pak. Maafkan saya"

Dengan mata berkaca-kaca seorang murid datang menemui gurunya di kantor. Nampak dari raut wajah yang ditampilkan, dia merasa menyesal dan mungkin juga merasa kehilangan sesuatu. Siang itu seolah menjadi hari yang paling menyedihkan dan menakutkan baginya. Karena ulahnya sendiri, maka si murid pun harus menanggung akibatnya, berhadapan dengan tim tata tertib, mempertanggung jawabkan perbuatannya dan boleh jadi hari-hari berikutnya akan dilaluinya dengan kecemasan yang amat sangat. Ponsel pintar yang menjadi bagian tak terpisahkan darinya (dan mungkin juga kita semua), diambil oleh guru kemudian diserahkan kepada tim tata tertib. Ini dilakukan karena murid yang bersangkutan melanggar kesepakatan kelas yang telah dibuat sebelumnya.

Alhasil, sifat dasar manusia dimana penyesalan selalu datang di akhir, kemudian muncul dan secara naluri mendorong murid untuk segera bergegas menemui guru. Meminta maaf, berjanji tidak akan mengulangi, meminta agar diberi kesempatan dan lain sebagainya. Secara logika, apa yang dilakukan murid tersebut sangat wajar. Ada dua kemungkinan yang mendorongnya melakukan itu. Pertama karena merasa bersalah dan ingin bertobat, atau kedua karena perasaan takut.

***

Jika profesi kita adalah guru, maka dua kewajiban yang melekat pada diri berkaitan dengan pendidikan anak. Kewajiban mendidik anak sendiri karena orang tua adalah madrasah pertama bagi anak, dan kewajiban mendidik anak orang lain (murid) karena profesi yang melekat.

Pertama, mendidik anak sendiri bagi orang tua adalah kewajiban utama. Orang tua adalah madrasah pertama bagi anak. Apa yang dilakukan orang tua akan tercermin secara langsung pada diri anak. Bagi anak, orang tua adalah cermin yang memantulkan sifat, perilaku, tingkah laku, adab, akhlak dan bahkan pola pikir anak itu sendiri. Semua akan terbentuk dengan mudah pada diri anak sesuai dengan apa yang diterimanya dari orang tua.

Cara paling mudah mendidik anak adalah melalui tindakan, contoh atau perilaku keseharian. Misal, orang tua ingin mengajari anak solat sejak dini, maka orang tua wajib menampilkan perilaku taat beribadah (solat) dalam kehidupan, istiqomah melaksanakan solat lima waktu, ke masjid mengikuti solat berjamaah. Ini harus dilakukan orang tua setiap hari, setiap masuk waktu solat, terus menerus tanpa terkecuali, mengajak anak ikut ke masjid sejak dini, bukan untuk solat (jika anak belum genap usia wajib solat), namun untuk mengenalkan bahwa masjid adalah tempat orang tua beribadah, solat, menghadap Allah, berdoa, belajar, berinteraksi dengan banyak orang, dengan jamaah lainnya. Jika ini dilakukan terus menerus hingga anak dewasa, maka tidak berlaku emosi atau marah-marah dalam mendidik anak, meminta anak untuk solat. Apa yang dilakukan orang tua akan langsung dilihat oleh anak dan anakpun akan dengan mudah menirunya tanpa dinasihati.

Misal lagi yang lain, orang tua ingin anaknya sukses akademik, mahir dalam ragam mata pelajaran, sukses non akademik, terampil dalam mempraktikkan dan memperagakan ragam gerakan olahraga, dan lain sebagainya, maka orang tua harus melakukan hal yang sama. Sukses secara akademik, maka orang tua harus banyak membaca, belajar, memanfaatkan waktu luang untuk membaca buku dan ragam pengetahuan, mengajak anak menulis, membaca, menganalisis, mengajak anak bermain dengan ragam permainan kreatif dan mendidik, melibatkan anak dalam proyek sederhana misal membungkus kado, membuat kerajinan sederhana, mewarnai, bermain bola, dan lain sebagainya. Keterampilan dan aktivitas sederhana ini akan menumbuhkan gaya belajar yang dominan pada diri anak. Apa yang dilakukannya dalam keseharian bersama orang tua, akan tercermin pada anak dalam kehidupannya sehari-hari. Karena anak adalah cerminan orang tua itu sendiri.

Kedua, mendidik anak orang lain karena profesi kita sebagai guru. Sekolah tempat anak belajar adalah rumah kedua baginya. Interaksi anak dengan banyak orang terjadi di sekolah, dengan sesama murid, dengan guru, dengan karyawan sekolah, dengan penjaga kantin dan lain sebagainya. Interaksi ini adalah praktik nyata kehidupan anak setelah ia belajar bersama orang tuanya di rumah. Bagaimana cara anak berinteraksi dengan orang lain, bersikap, bergaul dan menampilkan dirinya di depan orang lain, semua adalah cerminan pendidikan yang anak terima dari orang tuanya di rumah.

Sebagai guru, kita berkewajiban mendidik anak dengan cara yang baik, pendidikan yang baik, pendidikan yang berpihak pada murid, pendidikan yang membahagiakan, pendidikan yang berdampak, pendidikan yang kelak akan mengantarkan murid pada kesuksesan masa depan sesuai yang dicita-citakan, pendidikan yang sesuai dengan kodrat alam dan kodrat zaman.

Bagi kita yang berporfesi sebagai guru, mendidik murid bukan sekadar transfer of knowledge, namun juga transfer of value. Selain mengajarkan ilmu pengetahuan baru kepada murid, kita juga berkewajiban menanamkan nilai-nilai kemanusiaan, nilai-nilai kehidupan, nilai-nilai masa depan, nilai karakter, nilai kebangsaan, nilai agama, dan nilai-nilai lainnya yang dibutuhkan dan bermanfaat bagi kehidupan murid di masa depan.

Jika saat ini kita dikenalkan dengan kurikulum merdeka, diberi kebebasan untuk berinovasi dengan ragam cara dalam menyampaikan materi, maka ini menjadi kesempatan terbaik bagi kita sebagai guru untuk menanamkan nilai-nilai karakter kepada peserta didik dengan ragam cara. Jika materi disampaikan dengan ragam metode, maka penanaman nilai karakter kepada peserta didik pun juga demikian, kita dapat menyampaikan nilai-nilai ini dengan cara kreatif dan menarik.

Saya jadi teringat pada cerita seorang teman saat awal Juli lalu saya berkunjung ke SMK Negeri 2 Balikpapan. Ia bercerita bahwa selama pembelajaran di kelas, anak hanya belajar 3 hal, membaca, menghafal dan mempraktikkan. Membaca ayat-ayat dalam Al-Qur'an, menghafal surat dan ayat tertentu serta bacaan tertentu, mempraktikkan aktivitas dan ibadah harian, termasuk praktik nilai-nilai karakter yang berkaitan dengan kehidupannya. Semua dilakukan setiap kali aktivitas pembelajaran dan terus menerus. Hasilnya bagaimana? Lulusan yang dihasilkan ternyata telah banyak berkiprah di masyarakat, mereka banyak terlibat terutama dalam kegiatan keagamaan, jadi imam solat di musola dan masjid, memimpin doa kenduri, memimpin tahlil, dan banyak lagi. "mereka berguna dan manfaat banget di masyarakat, Pak". Ujarnya.

Jane kita sebagai guru pun tidak perlu ndakik-ndakik mengajarkan banyak pengetahuan baru dengan banyak bab kepada peserta didik untuk dikuasai dalam waktu singkat, jika pada akhirnya tuntutan untuk memberikan nilai yang tinggi atas nama reputasi sekolah harus kita penuhi. Cerita yang disampaikan oleh teman di Balikpapan di atas, bagi saya logis dan lebih luas manfaat akan terasa, bukan hanya bagi diri murid namun juga bagi lingkungan sekitar, lingkungan masyarakat di mana mereka tinggal, hidup dan berinteraksi. Apa yang dilakukan oleh teman di Balikpapan itu menurut saya logis dan keren.

***

Pendidikan anak merupakan pondasi penting masa depan. Bagi kita sebagai orang tua, anak adalah harapan dan tumpuan, kepada anak kita berharap, kepada anak pula kita menitipkan cinta dan cita di masa depan. Tidak ada di dunia ini orang tua yang tidak menginginkan anaknya sukses di masa depan. Semua kita pasti memiliki muara yang sama, kesuksesan dan kebahagiaan. Untuk mewujudkan keduanya, kita dapat melakukan banyak hal dengan banyak cara. Cara inilah yang dapat kita pilih dalam mendidik anak, dengan cara apa, bagaimana dan kapan serta berapa lama cara itu diterapkan.

Lukman al-Hakim, dikenal sebagai hamba yang bijaksana semasa hidupnya. Kisah kebijaksanaan Lukman diabadikan oleh Allah dalam Al-Qur'an. Pendidikan anak 'ala Lukman' ini dapat menjadi pilihan bagi kita untuk menanamkan nilai-nilai dasar kehidupan kepada anak. Lima pendidikan 'ala Lukman' ini pun hingga detik ini masih relevan untuk diterapkan.

Pendidikan tauhid

Ajaran pertama yang disampaikan Lukman kepada anaknya adalah larangan menyekutukan Allah. Lukman dengan tegas menyampaikan bahwa menyekutukan Allah dengan yang lain adalah kezaliman yang amat besar. 

"Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah, sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar."

Mengapa nilai Tauhid menjadi nilai pertama yang diajarkan? Di awal tulisan ini saya menyebut bahwa orang tua terutama ibu adalah madrasah pertama bagi anak. Melalui madrasah tersebut anak belajar banyak hal, dan hal pertama yang harus dipelajari anak adalah ketauhidan, bagaimana anak mengenal Tuhannya. Pendidikan Tauhid ini pula menjadi pondasi dasar bagi anak untuk melangkah, menuju proses belajar berikutnya, bertemu dan belajar dengan materi berikutnya dengan ragam cara. Mengenal Tuhan lalu memujanya dan tidak menyekutukannya dengan apapun, diajarkan Lukman kepada anaknya dengan disertai penjelasan bahwa menyekutukan Tuhan (Allah) merupakan perbuatan zalim yang besar.

Birrul Walidain

Berbakti atau berbuat baik kepada kedua orang tua atau dikenal dengan istilah birrul walidain adalah pelajaran kedua yang diberikan Lukman kepada anaknya. Tentu pelajaran ini bukan tanpa alasan. Orang tua adalah mereka yang mendidik, merawat dan membesarkan anak, mendoakannya menjadi orang yang sukses dunia juga sukses akhirat. Berbuat baik kepada orang tua boleh jadi merupakan ikhtiar bagi anak untuk membalas jasa keduanya. Ibunya yang mengandung selama sembilan bulan yang oleh Al-Quran digambarkan dalam keadaan lemah yang terus bertambah. Lukman menjelaskan bahwa berbakti kepada kedua orang tua bukan tanpa dasar, terutama ibu yang telah mengandungnya selama sembilan bulan dalam keadaan lemah. Maka salah satu bentuk balas jasa anak kepada orang tua adalah berbuat baik kepadanya, bersyukur kepada Allah juga kepada kedua orang tua.

"Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibu-bapaknya; ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada dua orang ibu bapakmu, hanya kepada-Kulah kembalimu"

Merasa selalu diawasi

Apapun yang kita lakukan di dunia ini, tanpa terkecuali, semua diawasi dan berada dalam kendali Allah. Lukman pun mengajarkan demikian. Setiap perbuatan, besar atau kecil, selama ia berada di langit dan di bumi, maka Allah akan membalasnya, apapun jenis dan bentuknya. Ini mengindikasikan kepada kita bahwa Allah selalu mengawasi setiap gerak langkah kita. Pemahaman seperti inilah yang ditanamkan oleh Lukman kepada anaknya, bahwa perbuatan yang dilakukan meskipun ia hanya sebesar biji sawi, Allah akan memberikan balasan.

Merasa selalu diawasi oleh Allah ini mengajarkan kepada anak bahwa selama ia tidak berada dalam pengawasan orang tua, selalu ada Allah yang mengawasi, sehingga perbuatan apapun yang dilakukannya akan terekam jelas dan pasti akan ada balasannya. Dengan demikian anak akan selalu berhati-hati, dalam berkata, berbuat, bertindak dan bahkan memutuskan.

"Hai anakku, sesungguhnya jika ada (sesuatu perbuatan) seberat biji sawi, dan berada dalam batu atau di langit atau di dalam bumi, niscaya Allah akan mendatangkannya (membalasinya). Sesungguhnya Allah Maha Halus lagi Maha Mengetahui."

Solatlah

Ibadah ini merupakan ibadah inti yang harus ditunaikan oleh setiap kita yang beragama Islam. Melalui solat, kita semua berkomunikasi dengan Allah sesuai dengan cara yang disyariatkan. Komunikasi dengan Allah melalui solat juga bentuk tanggung jawab kita sebagai makhluk, bahwa tujuan kita diciptakan adalah untuk beribadah kepada-Nya.

Lukman pun demikian. Ia meminta anaknya untuk mendirikan solat, mengerjakan kebaikan dan menjauhi kemungkaran serta bersabar terhadap apa yang sedang menimpanya. Kesabaran ini pula yang kadang kita semua sulit mengendalikannya, cenderung tidak sabar dan mudah emosi. Pelajaran untuk senantiasa bersabar ini adalah materi penting kehidupan yang diberikan Lukman kepada anaknya. Bukan hanya urusan sabar pada diri sendiri, bahkan sabar dalam belajar menggapai cita-cita, membutuhkan proses yang panjang dan lama. Ini pula yang patut kita tanamkan kepada anak-anak kita.

"Hai anakku, dirikanlah shalat dan suruhlah (manusia) mengerjakan yang baik dan cegahlah (mereka) dari perbuatan yang mungkar dan bersabarlah terhadap apa yang menimpa kamu. Sesungguhnya yang demikian itu termasuk hal-hal yang diwajibkan (oleh Allah)"

Rendah hati

Pelajaran yang juga tak kalah penting yang disampaikan Lukman kepada anak-anaknya adalah larangan sombong. Kesombongan hanya akan melahirkan kesengsaraan dan penderitaan.

"Dan janganlah kamu memalingkan mukamu dari manusia (karena sombong) dan janganlah kamu berjalan di muka bumi dengan angkuh. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong lagi membanggakan diri".

Lukman juga mengajarkan kepada anaknya agar senantiasa hidup sederhana. Sederhana di sini bukan berarti menderita. Keserderhanaan yang diajarkan Lukman masih berkaitan dengan pelajaran sebelumnya yakni rendah hati atau larangan sombong. Lukman juga meminta anak-anaknya untuk melunakkan suara, dengan kata lain, memelankan suara saat berinteraksi dengan orang lain.

***

Pendidikan dan masa depan anak bermuara pada jalan yang sama, yakni kebaikan dan kebahagiaan. Ragam cara yang dilakukan orang tua kepada anak tentu tujuannya baik. Namun, yang perlu diketahiui adalah, bukan berarti apa yang menurut orang tua baik juga baik bagi anak, pun demikian sebaliknya. Oleh karenanya, sebagai orang tua wajib bagi kita untuk terus belajar. Demikian pula sebagai guru, kewajiban kita untuk terus dan tidak pernah merasa lelah untuk belajar, adalah kodrat yang harus dijalani demi menghadirkan pendidikan terbaik bagi anak, anak sendiri juga anak kita sebagai murid di sekolah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun