Mohon tunggu...
Abdul Muis
Abdul Muis Mohon Tunggu... Guru - Guru

Guru yang suka menulis, belajar otodidak dari internet tentang inovasi pembelajaran, aktif sebagai narasumber berbagi praktik baik, fasilitator PGP, Praktisi Menggajar, pendiri penerbit Klik Media dan Pustaka Mahameru, Abinya Nada dan Emil.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Anda Guru? Hindari 3 Hal Ini

16 Juli 2024   05:53 Diperbarui: 16 Juli 2024   07:19 262
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Role Model dalam Pembelajarna PAI (dok. pribadi)

"Bagaimana hari pertama putrinya sekolah kemarin, Bu?"

"Alhamdulilah, anaknya seneng banget, Pak. Padahal saya sudah khawatir sekali, saya sudah membayangkan dia di sekolah rewel, merajuk, dan yang ekstrim saya membayangkan dia diganggu teman barunya, Pak"

"Tapi itu semua tidak terjadi kan, Bu?. Orang tua amatiran seperti kita ini memang seringkali khawatir berlebihan padahal yang terjadi jauh dari apa yang kita khawatirkan, ya, buktinya semua baik-baik saja, ya, Bu".

"Iya, Pak. Lega rasanya. Dia seneng banget sekolahnya"

***

Kekhawatiran berlebihan seseorang terhadap kondisi atau situasi baru, lumrah dan biasa terjadi, termasuk mereka yang baru mengalami sesuatu, baru melakukan sesuatu, baru terjadi sesuatu kepada dirinya dan bahkan baru menduduki jabatan baru. Yang terakhir ini biasanya disebut demam panggung, sensitif dan mudah tersinggung atau perasa.

Obrolan saya di atas dengan salah satu wali murid yang anaknya baru masuk sekolah, menjadi bukti sahih bahwa sebagai orang tua 'amatiran', rasa khawatir itu ada dan bahkan sangat parah. Kekhawatiran berlebihan terhadap kondisi anaknya yang baru pertama kali masuk sekolah, mengenal sekolah, mengenal lingkungan baru, bertemu dengan orang baru, guru baru, posisi baru dan keadaan yang baru. Sebagai orang tua, tentu rasa khawatir itu wajar, karena selama ini anaknya selalu bersamanya, ada di rumahnya, tidak ke sekolah, bermain dan menghabiskan banyak waktu dengannya. Namun kini, semua itu berubah.

Rasa khawatir yang berlebihan tersebut sebaiknya pelan-pelan mulai dikikis. Apa yang dialami dan dilakukan anak saat ini adalah bagian dari proses, prosesnya belajar, prosesnya menjadi anak yang sesungguhnya, proses mengenal lingkungan, teman dan bahkan budaya dan kebiasaan baru. Kita semua tentu sepakat dengan ungkapan "hasil tidak akan mengkhianati proses". Ungkapan ini sejatinya hanya pelecut semangat bagi kita untuk terus bergerak, berubah dan kemudian berdampak. Namun yang perlu dicatat dan ditebalkan adalah, hasil yang baik tentu dilakukan dengan proses yang baik pula, begitupun sebaliknya. Jangan pernah berharap hasil sempurna jika proses yang dilalui curang atau bahkan instan. Mustahil.

Sekolah dan lingkungan baru bagi anak adalah bagian dari itu semua, bagian dari cara anak dan orang tua berproses. Anak belajar, mengenal lingkungan dan teman baru, begitu pula orang tua, belajar berproses melepas anak belajar di luar rumah, di lingkungan baru dan merelakan anak dididik oleh orang baru. Toh, proses itu pun hanya berjalan beberapa jam. Jika dibandingkan dengan orang tua 'profesional' yang mengirimkan anaknya ke pondok, yang rela melepas anaknya untuk waktu yang lama, bukan hitungan jam, namun hitungan hari dan bahkan bulan, sungguh luar biasa. Kita? tak ada apa-apanya dibanding mereka. Perlu banyak belajar kepada mereka, para orang tua 'profesional'.

Sebagai guru pun saya rasa juga demikian. Ada beberapa sifat atau perilaku yang boleh jadi tidak mesti ada pada diri guru. Cerita saya dengan salah seorang teman di atas, relate dengan beberapa sikap, hal, kondisi dan keadaan berikut, yang mestinya dihindari dan jika ingin lebih ekstrim, sifat berikut 'haram' ada pada diri seorang guru, hehe. Apa saja sifat itu?

  • Caper

Caper atau cari perhatian. Sebagai seorang guru profesional, cari perhatian ini sejatinya wajib ada pada diri guru ketika mereka berada di depan peserta didik. Cari perhatian peserta didik ini diwujudkan dalam ragam aktivitas pembelajaran yang menyenangkan, menghadirkan pembelajaran yang membahagiakan peserta didik, sehingga kehadiran kita sebagai guru selalu dirindukan. Akan ada masa dan waktu di mana peserta didik kelak akan bertanya, "Pak X ke mana ya, kok ga masuk?". Peserta didik rindu dengan kehadiran kita, karena kesan pertama telah mampu menghipnotis peserta didik, guru telah mampu mencuri perhatian peserta didik dengan pembelajaran menyenangkan saat pertemuan pertam.

Nah, yang haram atau jika tidak ingin ekstrim menyebut haram, yang tidak boleh dilakukan oleh guru adalah caper kepada rekan sejawat, dan mungkin caper kepada atasan. Ini sungguh berbahaya. Cari perhatian rekan sejawat ini seringkali bermakna negatid, bahkan cari perhatian kepada atasan dimaknai sebagia cara guru mendekati atasan (kepala sekolah) karena menginginkan jabatan atau posisi tertentu. Profesionalisme guru pada tahap ini dipertaruhkan. Semua kita tentu sepakat bahwa urusan hati dan rasa tak ada yang tahu kecuali diri sendiri dan Tuhan. Namun, saya yakin, semua kita tentu sepakat dan sepaket, bahwa orang yang caper kepada orang lain (rekan sejawat atau atasan) dapat dibaca dari caranya bersikap, berkata, bertingkah dan berpola dalam kesehariannya Yang seperti ini amat sangat mudah sekali terbaca karena nampak dari casing. 

  • Kuper

"Mainlah yang jauh, jangan hanya muter-muter di Kebonsari, Yosowilangun, atau Lumajang saja. Dunia ini luas, indah dan penuh dengan kejutan, kalian harus belajar itu semua".

Narasi ini selalu saya sampaikan kepada peserta didik, sebagai motivasi dan pelecut semangat agar mereka memiliki cita-cita dan mimpi yang besar dan tinggi. Sekolah boleh di pinggiran, tapi pikiran dan mimpi harus tetap melambung tinggi setinggi langit dan seluas samudera. Begitu pula dengan kita sebagai guru. Teknologi, informasi, zaman dan alam terus berubah dan berkembang. Meminjam istilah guru penggerak, kewajiban bagi kita untuk menghadirkan pembelajaran yang sesuai dengan 'kodrat alam dan kodrat zaman'. Jika dahulu kita mengirim pesan dengan sms, maka kini sudah berganti dengan WA, Telegram dan ragam fasilitas lainnya, yang bukan hanya pesan, bahkan gambar dan video pun dapat kita kirimkan dengan seklai klik.

Kuper atau kurang pergaulan menandakan bahwa circle kita hanya terbatas pada lingkup tertentu. Bermainlah yang jauh, bergaullah dengan banyak orang, jalinlah komunikasi dan bangun jaringan yang luas, agar kita tahu bahwa mengajar itu tidak hanya hadir di kelas tapi juga dari mana saja, agar kita paham bahwa keterampilan bertanya dan memberikan umpan balik itu penting bukan hanya dalam pembelajaran namun juga pada bagaimana cara kita merespon dan menganggapi orang lain.

Mainlah yang jauh, agar kita tidak mudah tersinggung (ini berkaitan dengan sifat berikutnya) terhadap segala sesuatu yang sebenarnya itu adalah konfirmasi namun kemudian dimaknai dengan introgasi dan bahkan dimaknai destruksi karena sudah terlanjur merasa diri sebagai pribadi yang terdzolimi. Jika sudah seperti ini, maka fix kita berada di circle sempit dan terbatas.

  • Baper

Baper atau bawa perasaan. Dalam satu kesempatan seorang peserta didik bercerita kepada saya bahwa setiap kali Bu X masuk kelas, selalu diawali dengan marah-marah, mencari kesalahan teman-temannya di kelas, bahkan kesalahan receh dan kecil menjadi besar dan berakibat fatal. Ini bukan sekali dua kali dilakukan Bu X di kelas tersebut, dan yang bercerita pun bukan hanya satu atau dua peserta didik tapi sebagian besar peserta didik di kelas tersebut mengamini cerita itu. Miris.

Menjadi guru ibarat pemain musik. Apapun alat musiknya, seorang seniman musik harus pandai memainkannya. Bagaimana pun kondisi dan keadaannya, ia harus tampil prima, tampil dengan penuh senyum bahagia di depan semua orang, tampil dengan wajah berseri-seri tanpa sedikitpun menunjukkan kesedihannya di depan khalayak.

Begitu pula dengan guru. Jika kita punya masalah di rumah, jangan di bawa ke sekolah. Jika kita membenci seseorang, jangan tunjukkan rasa benci itu apalagi melampiaskannya kepada orang lain. Jangan baper. Jika ada yang bertanya kepada kita, mengkonfirmasi karena ketidak tahuannya pada satu hal, jangan lantas menganggap diri sebagai orang yang tidak tahu apa-apa kemudian merasa menjadi orang yang terdzolimi, itu baper namanya. 

Jangan lantas setelah pertanyaan terjawab kemudian diiringi dengan kata-kata "saya memang tidak tahu apa-apa, tapi itulah yang saya dapatkan dan pelajari". Narasi seperti ini sebenarnya sederhana, namun dari narasi ini menandakan bahwa kita baper, merasa ditegur atau dikritik padahal sebaliknya. Jangan baper. Sikap seperti ini tidak baik bagi guru, bahkan bagi semua, tidak baik bagi kesehatan. Kita akan mudah menjadi orang yang perasa, dan dampaknya dalam waktu yang panjang adalah stress.

***

Sampai saat ini saya masih meyakini bahwa profesi kita sebagai guru adalah profesi paling mulia. Dari tangan seorang guru lahir ragam profesi lainnya. Mari terus bersemangat menjadi guru apapun dan bagaimana pun kondisi kita, jangan tampakkan jika kita baper, kuper apalagi caper. Jadilah guru yang baik, guru profesional dan guru yang terus bergerak dan berdampak baik pada banyak orang dan lingkungan sekitar.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun